Perhatian dan Dedikasi Tanpa Lelah Bob Hasan
Separuh usia Bob Hasan (89) didedikasikan untuk dunia olahraga, terutama atletik. Bob, Ketua Umum PASI yang berpulang Selasa, menunjukkan perhatian dan dedikasinya yang tanpa lelah demi prestasi ”Merah Putih” di Asia.
JAKARTA, KOMPAS — Dunia olahraga Indonesia berduka menyusul kepergian Mohamad ”Bob” Hasan (89), Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI). Mantan Menteri Perdagangan dan Perindustrian itu mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa (31/3/2020), akibat kanker stadium akhir.
Separuh usia Bob didedikasikan untuk dunia olahraga, terutama atletik. Tak heran, ia dijuluki ”Bapak Atletik Indonesia” di luar profesinya sebagai pengusaha kayu di era Orde Baru.
Salah satu gebrakan Bob untuk membangun atletik Indonesia adalah dengan mengambil alih pengelolaan Stadion Madya Senayan pada awal 1980-an. Seusai digunakan untuk Asian Games Jakarta 1962, stadion itu berubah fungsi menjadi arena judi balap anjing. Bermodal kedekatan dengan Presiden ke-2 RI, Soeharto, Bob mengambil alih dan merevitalisasi arena itu.
Stadion Madya pun berfungsi sebagai ”rumah besar” atletik Indonesia hingga kini. ”Awalnya, saya tidak tertarik mengurus olahraga ini. Tapi, lama-lama, saya tertantang. Saya tertantang. Masak iya, kita (Indonesia) kalah dengan negara lain. Padahal, sumber daya manusia kita seabrek-abrek,” tutur Bob dalam wawancara akhir 2019 lalu.
Awalnya, saya tidak tertarik mengurus olahraga ini. Tapi, lama-lama, saya tertantang. Saya tertantang. Masak iya, kita (Indonesia) kalah dengan negara lain. Padahal, sumber daya manusia kita seabrek-abrek.
Berkat sentuhan Bob, selama 44 tahun, atletik Indonesia pun menggeliat dan disegani di Asia. Dunia atletik ibarat ”penebusan” pendiri majalah Gatra yang sempat diadili pascalengsernya Soeharto pada 1998 dan kemudian divonis penjara dua tahun pada 2001 dalam kasus korupsi pemetaan hutan itu.
Sejumlah nama besar atlet atletik nasional pun silih berganti lahir dari tempaannya, seperti Purnomo M Yudhi (peraih medali emas lari 100 meter putra di Kejuaraan Atletik Asia 1985), Mardi Lestari (semifinalis lari Olimpiade Seoul 1988), dan Maria Londa (peraih emas Asian Games 2014 Incheon). Mereka semua berkibar di dunia internasional.
Bak orangtua atlet
Sebagai Ketua Umum PB PASI sejak 1976 sampai sekarang atau selama 44 tahun terakhir, Bob tidak menempatkan dirinya sebagai ”bos” bagi pengurus, pelatih, dan atlet. Justru dia menempatkan dirinya sebagai orangtua untuk mengayomi semua orang di tubuh PB PASI.
Dia ingat dengan nama dan asal hampir semua atlet dari tingkat remaja, yunior, hingga senior. Demikian pula dengan para pelatih. Di tiap lawatannya, dia pun aktif menanyakan pelatih bagaimana perkembangan latihan dan apa hal-hal yang patut ditingkatkan untuk perkembangan atlet.
Bob juga orang yang detail dan paham betul dengan kebutuhan para atlet. Dia mencari dengan rinci hal-hal yang dibutuhkan atlet dan tak segan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan itu lewat konsultasi kepada ahlinya. Pernah, dia memperhatikan kostum yang dipakai atlet.
Belakangan, Bob menyuruh semua atlet diberi tambahan asupan bubuk protein amino pada pagi dan sore hari. Para atlet pun diminta selalu diberi lauk ayam atau ikan untuk mencukupi kebutuhan gizi atau protein mereka.
Menjelang akhir hayatnya, ia masih menaruh perhatian besar pada pembinaan atlet atletik, khususnya yunior. Ratusan atlet muda dari berbagai daerah dikumpulkan dan diasuhnya di Jakarta, mayoritas dengan dana pribadinya. Muhammad Zohri (19) adalah salah satu atlet muda hasil binaannya.
”Pesan terakhir Pak Bob adalah dia ingin lihat saya lari di bawah 10 detik. Saya akan berusaha mewujudkan mimpinya,” ungkap Zohri yang meraih gelar juara dunia lari 100 meter yunior putra pada 2018 lalu.
Menurut Suryopratomo, juru bicara keluarga almarhum, Bob memang sangat peduli dengan atlet-atletnya. ”Pak Bob setiap bulan menemani semua atlet belanja kebutuhan harian di Lotte Ratu Plaza. Seluruh atlet dan pelatih boleh beli apa saja, selain junk food dan mi instan. Dan, tidak boleh ada yang bayar, kecuali dia sendiri (Bob). Yang ia tahu, anak-anak harus latihan dan fasilitasnya (serta kebutuhan harian) dipenuhi,” ujarnya.
Suryopratomo bercerita, Bob sebetulnya menderita kanker sejak tujuh tahun lalu. Namun, penyakit kanker tulang stadium akhir atau 4B itu nyaris tidak diketahui orang-orang lain, termasuk keluarga besarnya di PASI. Sebab, ia nyaris selalu terlihat energik di lapangan, memantau para atlet, hingga menjelang akhir hayatnya.
Dirawat di Thailand
Koordinator Hubungan Masyarakat PB PASI, Hendri Firzani, mengatakan, Bob selalu menyimpan keluhannya sendiri, termasuk penyakitnya, kepada orang lain, bahkan keluarganya.
Namun, akhir-akhir ini Bob mengeluh sering sakit di bagian tangan. Ketika diajak ke dokter, dia selalu menolak. Kendati demikian, pada awal Januari lalu atau ketika akan menghadiri rapat Asosiasi Atletik Asia di Bangkok, Thailand, Bob diajak anak pertamanya, Siti Taskiyah, untuk melakukan cek kesehatan di sela-sela kegiatan yang ada. Saat itu, dia akhirnya bersedia untuk melakukan cek kesehatan.
Ternyata, dari pemeriksaan kesehatan di rumah sakit di wilayah Nakhon Ratchasima atau wilayah yang berjarak sekitar dua jam dari Bangkok, Bob terdeteksi memiliki kanker tulang stadium 4B atau sudah kronis. Sel kanker sudah menyebar ke seluruh tubuh, antara lain ke paru-paru.
Karena itu, dia pun sempat dirawat dari Januari-Februari di rumah sakit tersebut. Selama di sana, dirinya dua kali menjalani kemoterapi. Kala itu, kondisinya masih lumayan stabil.
Baca juga: Ketua Umum PASI Bob Hasan Berpulang
Namun, sekitar tiga minggu lalu, Bob ngotot minta pulang ke Indonesia dengan alasan kangen menjalani kegiatan sehari-hari, antara lain kegiatan sosial membantu sejumlah kampung di wilayah Jawa. Pihak keluarga pun memenuhi keinginan itu.
Sayangnya, saat tiba di Jakarta tiga minggu lalu, kondisi Bob langsung menurun drastis. Keluarga pun membawa Bob untuk dirawat di RSPAD Gatot Soebroto. Di sana, dia sempat akan menjalani kemoterapi ketiga. Akan tetapi, karena kondisi yang lemah dan usia yang uzur, kemoterapi itu ditunda.
Sering marah
Berkat perhatian itu, tak heran semua personel di PB PASI sangat segan dengan Bob. Bahkan, gaya bahasanya yang ceplas-ceplos dan sering marah tiba-tiba tidak pernah dimasukkan ke hati. Bagi mereka, itu semua bentuk perhatian dan kasih sayang Bob untuk kemajuan dunia atletik Indonesia.
”Kemarahan Pak Bob adalah motivasi dari bapak ke anak. Dia ingin yang terbaik untuk anak-anaknya di dunia atletik. Dia ingin atlet-atlet atletik Indonesia ini bisa juara. Tak hanya tingkat ASEAN, tetapi Asia, bahkan dunia,” ujar pelatih lari gawang PB PASI, Fitri ”Ongky” Haryadi, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Bob memang sosok pembina yang unik. Tidak hanya ingin atlet sukses semasa berkarier, dia pun ingin mereka bahagia setelah pensiun. Untuk itu, di sela-sela latihan, dia selalu menekankan atlet agar tetap menyelesaikan sekolah, bahkan melanjutkan ke pendidikan tinggi, di sela-sela latihan.
Selain itu, Bob juga selalu mengingatkan atlet yang berada di puncak kejayaan dan banyak dapat bonus agar tidak foya-foya, menabung, dan menyiapkan investasi demi hari tua mereka. Maka itu, Bob tidak pernah mau memberikan bonus uang tunai kepada atlet, tetapi dalam bentuk bantuan investasi.
”Sudah banyak cerita di masa lalu, atlet-atlet Indonesia yang berprestasi saat jayanya foya-foya. Pada hari tua, mereka susah. Malah, ada yang jadi pedagang kaki lima. Saya tidak ingin atlet PB PASI seperti itu,” kata Bob.
Zohri dan pelari gawang 100 meter putri, Emilia Nova, tahu betul dengan kebijakan itu. Zohri, setelah juara Kejuaraan Dunia Yunior 2018 di Finlandia, mendapatkan bantuan renovasi rumah orangtuanya di Lombok Utara, NTB, dari Bob. Sementara Emilia, setelah sukses memborong tiga emas di PON Jawa Barat 2016, dibelikan perabot untuk usaha kos-kosannya di kawasan Palmerah, Jakarta Selatan.
”Pak Bob itu selalu ngingetin atlet yang masih muda jangan foya-foya, fokus sekolah atau kuliah, dan menabung atau berinvestasi. Sebab, dia tidak mau atletnya susah setelah pensiun,” kata Emilia yang sejak usia 15 tahun dibiayai hidup dan sekolah oleh Bob.
Bukan sepah dibuang
Bentuk perhatian Bob lainnya adalah seperti pepatah, yaitu habis manis sepah dibuang. Sebisa mungkin atlet yang sudah pensiun tetap ia berdayakan, terutama menjadi pengurus atau pelatih PB PASI.
Nurul Imaniar, misalnya. Saat latihan tim estafet putri di Sidoarjo, Jatim, dua minggu sebelum SEA Games Myanmar 2013, Nurul jatuh di lintasan sehingga membuatnya cedera engkel dan lutut. Cedera itu tidak kunjung pulih total sehingga membuatnya pensiun dini pada 2016.
”Waktu itu, Pak Bob lihat langsung saya jatuh. Dia panik dan langsung memberikan perhatian penuh untuk pemulihan saya. Setelah pulih, sulit kembali menjadi atlet. Akhirnya Pak Bob suruh saya pensiun dari atlet dan jadi pelatih tim estafet putri sejak 2016. Dia bilang, dia tidak mau lagi lihat saya jatuh dan nangis,” ujarnya.
Sebagai ketum, Bob memasang target tinggi untuk para atletnya. Ia punya mimpi mengantarkan atletnya menjadi juara dunia atau Olimpiade. Harapan itu begitu besar, salah satunya pada diri Zohri. Bahkan, dia pernah berucap ingin lihat Zohri setidaknya lari di bawah 10 detik pada Olimpiade Tokyo 2020 yang semula pada Juli-Agustus tahun ini sebelum ditunda ke Juli-Agustus tahun depan.
Zohri adalah atlet yang telah mengubah cara pandang Bob terhadap pembinaan atletik Indonesia ke depan. Rentetan prestasi Zohri dari juara Kejuaraan Dunia Yunior 2018 hingga meraih tiket lolos langsung Olimpiade Tokyo membuat Bob optimistis Indonesia bisa bersaing di level dunia asalkan ada upaya gerilya mencari bibit berbakat di pelosok daerah dan membenahi gizi serta cara latihan mereka.
”Di periode-periode lalu, kita hanya punya satu sprinter andalan di setiap generasi, seperti Mohammad Sarengat pada 1960-1970-an, Purnomo (1970-1980-an), Mardi Lestari (1980-1990an), dan Suryo Agung Wibowo (2000-an). Itu salah. Sekarang, kita harus ada lebih dari satu atlet andalan seperti Zohri. Kita harus ada 10-20 zohri baru supaya prestasi atletik kita berkelanjutan. Itu mungkin sekali karena bibit kayak Zohri itu seabrek-abrek di pelosok daerah,” kata Bob.
Para menteri ikut kehilangan
Tidak heran, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali ikut kehilangan Bob. ”Jasanya untuk olahraga Indonesia, khususnya atletik, sangatlah luar biasa. Dedikasinya tanpa lelah,” ujarnya.
Tjahjo Kumolo, politisi yang juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ikut kehilangan Bob. ”Pak Bob sosok yang memegang prinsip disiplin, kerja keras, dan harus berprestasi di bidangnya. Itu yang selalu ditekankannya kepada saya,” ucapnya.
Kalangan pengusaha pun ikut berkabung. Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur mengatakan, Bob meletakkan dasar-dasar industrialisasi modern di sektor perkayuan nasional dari hulu ke hilir.
Abdul menambahkan, Bob menaruh perhatian besar terhadap kekuatan Indonesia di sektor industri hasil hutan, khususnya kayu dan rotan. Almarhum sangat menaruh perhatian pada perkembangan industri hasil hutan ke hilir atau diutamakan peningkatan nilai tambahnya.
”Industri mebel kita pun tumbuh signifikan di era itu. Ekspor log kayu dan rotan distop sehingga negara asing merelokasi industri ke Indonesia. Bahkan, industri barang jadi rotan menjadi yang terdepan di dunia,” ujar Abdul mengenai mantan Menperindag Kabinet Pembangunan VII pada 1998 silam itu.
Maka itu, keluarga besar Kementerian Perindustrian, melalui Biro Hubungan Masyarakat Kemenperin, menyampaikan dukacita yang mendalam atas meninggalnya Bob. Mereka menaruh penghargaan setinggi-tingginya terhadap kiprah dan jasa mantan menterinya itu.
Menurut rencana, Bob akan dimakamkan di sebelah makam ayah angkatnya, Jenderal Gatot Soebroto, di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (1/4/2020) ini. Selamat jalan, Pak Bob.... (NMP/BOW/CAS)