Di tengah pembekuan kompetisi sepak bola, menjalani karantina bisa menjadi momen yang menyebabkan frustrasi. Namun, kekhawatiran itu tidak berlaku bagi manajer yang fanatik terhadap taktik, Josep ”Pep” Guardiola.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Di tengah pembekuan kompetisi sepak bola, menjalani karantina mandiri bisa menjadi momen frustrasi. Namun, kekhawatiran itu tidak berlaku bagi manajer yang fanatik terhadap taktik, Josep ”Pep” Guardiola. Dengan kegeniusannya, waktu tak berharga bisa disulap menjadi ruang penemuan taktik revolusioner.
Sejarah membuktikan, waktu luang dan kesempatan menyendiri adalah momen terbaik evolusi taktik Guardiola. Kala menukangi Barcelona (2008-2012), dia selalu menghabiskan waktu menyendiri di rubanah klub beberapa hari sebelum pertandingan.
”Tidak ada lampu di sana. Saya datang membawa karpet dan sebuah lampu. Saya mengurung diri di sana berjam-jam menonton video pertandingan dengan sebuah pulpen dan kertas,” katanya pada 2011, seperti dikutip The Athletic.
Dalam suasana hening, pria berkepala plontos ini mengamati pergerakan pemainnya dan lawan dengan sangat detail. Sampai-sampai, dia bisa menentukan lebih cepat serangan dari sayap kiri atau kanan.
Anak ideologis dari ”bapak” sepak bola modern, Johan Cruyff, tersebut begitu menikmatinya. ”Ada suatu momen ketika Anda berucap: Saya mendapatkannya, kami akan menang. Ini yang membuat saya jatuh cinta dengan itu (analisis taktik),” ucapnya.
Waktu menyendiri tersebut menghasilkan salah satu penemuan paling revolusioner dalam sepak bola modern. Sehari sebelum el clasico, pada 2009, Pep meminta pemain bintangnya, Lionel Messi, datang ke kantor saat nyaris tengah malam.
Messi yang baru berusia 21 tahun diberikan pemahaman untuk bermain sebagai penyerang. Namun, ketika tim memegang bola, Messi harus mundur sedikit lebih ke tengah. Pep menyebutnya sebagai ”Zona Messi” yang sekarang dikenal dengan posisi ”False 9”.
Posisi itu membebaskan penyerang, yang semula sebagai pembuat gol menjadi pengatur serangan bersama para gelandang. Lewat ”False 9” dan tentunya filosofi tiki-taka, permainan menguasai bola dengan umpan pendek, Guardiola membawa Barca merajai daratan Eropa.
”Meditasi” ala Pep kembali terulang saat dia memutuskan berhenti melatih Barca. Selama setahun, pelatih asal Spanyol itu memilih menganggur di tengah hujan tawaran melatih dari klub besar Eropa. Dia mengalienasi diri di sebuah apartemen kota New York, Amerika Serikat.
Dalam pengasingan itu, dia belajar bahasa Jerman karena dikabarkan telah menerima tawaran klub Bundesliga, Bayern Munchen. Waktu senggang itu juga dimanfaatkannya mempelajari kultur sepak bola Jerman yang mendewakan filosofi serangan balik cepat, antitesis teori penguasaan bola milik Pep.
Guardiola pun membuat penemuan fantastis, sekali lagi. Saat menukangi Muenchen, dia membuat bek sayap menjadi gelandang saat menyerang. Bek sayap yang biasanya maju membantu serangan sayap diminta berdiri lebih ke tengah dan sejajar dengan gelandang bertahan.
Hasilnya begitu efektif, serangan balik bukan menjadi masalah bagi Muenchen yang meraih persentase kemenangan hingga 78 persen di bawah Pep. Dia menemukan solusi yang dicari sang guru, Cruyff, yang selalu kesulitan saat menjadi pemain Belanda kala menghadapi musuh bebuyutan Franz Beckenbauer bersama Jerman Barat.
Franck Ribery, mantan anak asuh Guardiola, menyebut sang pelatih seorang master taktik terbaik. ”Saya sudah belajar dari banyak pelatih, tetapi tidak pernah lebih banyak dari apa yang diajarkannya (Pep),” kata Ribery yang pernah dilatih arsitek kawakan, seperti Jupp Heynckes.
Menyulap City
Bisa dibayangkan, dengan pembekuan kompetisi Liga Inggris, hingga batas waktu belum ditentukan, penemuan apa yang akan dihasilkan Guardiola selanjutnya. Setidaknya, dengan instruksi karantina dari Pemerintah Inggris, dia bisa duduk menyendiri dan melakukan analisisnya dalam waktu berbulan-bulan.
Taktik revolusioner begitu dibutuhkan Pep bersama City. Musim ini, strategi klub yang juara bertahan liga dua kali beruntun tersebut mulai terbaca. Pukulan telak di wajah sang manajer karena timnya tertinggal 25 poin dari pemuncak klasemen Liverpool.
Pep yang tidak pernah lepas dari akar formasi 4-3-3 perlu penyesuaian menghadapi kurang berjalannya skema City. Pada musim ini, dia masih menggunakan 4-3-3, tetapi saat menyerang formasi berubah drastis menjadi 1-4-4-1.
Sisa satu bek dalam posisi menyerang ini menjadi penemuan terbarunya. Di Barca dan Muenchen, setidaknya ada dua bek yang tersisa saat menyerang. Namun, penemuan ini tidak terlalu efektif. Maksud Pep menggunakan strategi itu adalah memecah tumpukan pertahanan lawan.
Yang terjadi justru sebaliknya karena pertahanan mereka tidak siap saat menerima serangan balik. Terbukti dari catatan kebobolan musim ini (1,1 gol/laga) yang merupakan terbanyak sejak City diasuh Pep.
Penyesuaian serangan juga dibutuhkan City yang terlihat sangat kehilangan akibat cederanya penyerang sayap Leroy Sane. Berbeda dengan di Barca dan Muenchen, Pep lebih memilih pemain dengan kaki kanan dominan di sayap kanan, begitu juga sebaliknya.
Tanpa Sane, yang dominan dengan kaki kirinya, sayap kiri City kurang efektif. Beberapa pemain sempat dicoba, seperti Bernardo Silva (kaki kiri), tetapi belum efisien. Pep juga mencoba kembali ke gaya lama, dengan menaruh pemain kaki kanan di sayap kiri dengan Raheem Sterling. Namun, percobaan itu juga gagal.
Serangan sayap ini begitu krusial bagi City karena Pep memilih memusatkan permainan di titik itu. Sayap dinilai bisa membuka kepadatan lini belakang lawan yang menumpuk pemainnya di tengah.
Sang manajer tentunya punya pertimbangan sendiri memilih sayap sebagai pusat serangan. Dia tidak bisa memperlakukan City sama dengan Barca yang menjadikan lini tengah sebagai metronom serangan. City tidak memiliki trio pemain kreatif dengan kemampuan seperti Messi-Iniesta-Xavi.
Malafungsi taktik ini menjadi tantangan bagi Pep di tengah jeda kompetisi akibat pandemi. Perubahan masih bisa menyelamatkan musimnya. Jika sepak bola Eropa kembali normal, dia bersama City punya kesempatan menjuarai Liga Champions, yang terakhir dimenangkannya nyaris sedekade lalu.