Virus Korona Renggut Pengorbanan Para Atlet
Atlet sudah banyak berkorban demi meraih prestasi di ajang Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020. Kini mereka menatap ketidakpastian.
Pebulu tangkis Paralimpiade putri, Leani Ratri Oktila, hanya bisa pasrah mendengar Paralimpiade Tokyo 2020 ditunda akibat pandemi Covid-19. Semua kerja keras dan pengorbanannya menyisakan ketidakpastian yang ada di depan mata.
Paralimpiade Tokyo 2020 seharusnya digelar 25 Agustus-6 September, dua pekan setelah Olimpiade Tokyo pada 24 Juli-9 Agustus. Namun, kedua ajang olahraga terakbar di dunia itu terpaksa ditunda karena wabah virus korona terus meluas. Jadwal baru pun belum bisa ditentukan.
Padahal, ajang itu panggung yang diimpikan atlet seluruh dunia, termasuk Ratri yang sudah bersiap seusai tampil di Asian Para Games 2018. Atlet asal Riau ini belum libur hingga sekarang dan sudah siap 90 persen. Kerja keras dan pengorbanannya kini ibarat menyisakan ketidakpastian.
Ratri, atlet bulu tangkis Paralimpiade putri terbaik pilihan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) 2019 itu, bahkan jarang pulang ke Riau sejak 2014. Ia hanya bisa pulang saat Natal atau Paskah. Dia berencana pulang dan beristirahat setelah Paralimpiade jika tidak ditunda.
Adik-adik Ratri pun ikut berkorban. Awit Setiaji dan Usi Okneti, yang juga pebulu tangkis Riau, ikut ke Surakarta untuk membantu Ratri berlatih. Awit dan Usi rela menunda kuliah demi kakaknya.
Keluarga selama ini menjadi kekuatan Ratri mengejar prestasi. Saat bersiap ke Asian Para Games 2018, ia ditemani dua adik lainnya, Siska Minami Oktila dan Riska Narijum.
”Adik-adik saya sampai belum berpikir mau kuliah ke mana karena sejak tamat SMA saya wanti-wanti membantu saya di sini,” kata Ratri ketika dihubungi, Rabu (25/3/2020). Awit dan Usi juga atlet yang disiapkan tampil pada Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua, Oktober 2020.
Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia pun memutuskan penghentian pelatnas di Surakarta dan memulangkan atlet. Namun, Ratri dan adik-adiknya tetap di Solo, di rumah yang dibeli Ratri dari bonusnya. Mereka belum tahu kapan bisa pulang ke Riau.
Tantangan Ratri makin berat karena ia juga tak bisa berlatih ideal. Ia tak bisa berlatih bersama pasangannya di ganda putri, Khalimatus Sadiyah (Jawa Timur), dan Harry Susanto (Jawa Barat) di ganda campuran. Padahal, dia harus tetap mempertahankan kondisi.
Namun, Ratri mencoba berpikir positif. ”Kesehatan dan keselamatan itu lebih penting, maka saya berusaha menerima dan berdoa semoga semuanya bisa cepat selesai,” ujarnya.
Menunda mimpi
Penundaan Olimpiade Tokyo 2020 selama setahun bagaikan kemenangan pahit bagi atlet. Persiapan panjang untuk tampil dalam puncak ajang olahraga terbesar di dunia itu terhenti entah untuk berapa lama. Di sisi lain, mereka akhirnya lega karena bisa fokus pada kesehatan dan keluarga.
”Untuk para atlet: tarik napas panjang, jaga dirimu dan keluarga. Waktumu akan segera tiba”.
Demikian cuitan Hayley Wickenheiser, mantan atlet hoki Kanada, setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan pemunduran Olimpiade Tokyo 2020, 24 Juli-9 Agustus, selama setahun. Keputusan itu diumumkan usai Presiden IOC Thomas Bach dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mencapai kesepakatan dalam telekonferensi, Selasa (24/3/2020).
Sebelumnya, penyebaran Covid-19 yang menginfeksi hampir 400.000 orang di seluruh dunia telah menghentikan rutinitas umat manusia, termasuk atlet. Sebanyak 11.000-an atlet yang telah dan masih berjuang untuk lolos ke Tokyo tak dapat berlatih optimal karena mereka hanya bisa berlatih di rumah.
IOC pun ditekan insan olahraga internasional untuk memundurkan Olimpiade. Wickenheiser adalah salah satunya meski ia sendiri adalah anggota IOC.
”Saya pikir, tak ada yang siap dengan kejadian ini. Wabah virus mengganggu Olimpiade,” kata pelari cepat Amerika Serikat, Noah Lyles. Setelah menjadi juara dunia nomor 200 meter putra, dia pun menjadi salah satu bintang baru yang dinanti dalam Olimpiade.
Namun, Lyles harus harus menyimpan mimpi menjalani debut dalam ajang olahraga empat tahunan itu. Federasi Atletik AS bahkan menunda seleksi atletnya untuk tampil di Olimpiade. Ajang itu seharusnya berlangsung pada 19-28 Juni.
Selain menunda mimpi bersaing pada puncak persaingan atlet sedunia itu, mundurnya Olimpiade Tokyo juga harus menunda cita-cita lain dalam kehidupan personal atlet.
Semula, atlet panahan AS, Katharine Holmes, bercita-cita mendalami pendidikan bidang medis setelah tampil di Tokyo. Dia mendapat kepastian lolos tes untuk mengikuti pendidikan itu, dua pekan lalu.
Perencanaan dibuat dengan detail: Holmes akan mengejar penerbangan dari Jepang ke Bandara Newark, New Jersey, setelah upacara penutupan Olimpiade pada 9 Agustus, untuk mengejar kegiatan orientasi hari pertama di sekolahnya.
Kini, rencana tersebut berubah. Holmes bahkan tak yakin cita-cita bersekolah medis bisa dijalani sesuai rencana karena belum ada jadwal baru Olimpiade. ”Saya harus menunda semua rencana hidup selama setahun dan tak tahu harus seperti apa menghadapi sisa masa kualifikasi,” katanya.
”Saya tidak akan sampai sejauh ini jika tidak ingin memberikan 100 persen kemampuan saya di Olimpiade. Begitu pula dengan sekolah medis,” kata atlet berusia 26 tahun itu.
Mata pencarian terganggu
Situasi ini bahkan mengganggu kondisi finansial atlet. Bagi atlet profesional, arena kompetisi bukan hanya menjadi panggung unjuk kemampuan, melainkan juga sumber mata pencarian mereka.
Maka, penundaan Olimpiade Tokyo pun bagai mimpi buruk bagi peloncat indah AS, Steele Johnson. ”Kami memiliki situasi finansial yang sangat-sangat sulit. Saya tak tahu apakah bisa menjalani kehidupan seperti ini dalam 12-15 bulan mendatang, hanya latihan tanpa punya pekerjaan penuh,” kata peraih medali perak Olimpiade Rio de Janeiro 2016 itu kepada The New York Times.
Setelah tampil di Rio, Johnson tak dapat mempertahankan sponsornya. Dia pun hanya mendapat uang saku tak seberapa karena menjadi anggota tim nasional AS. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, atlet berusia 23 tahun itu bekerja sebagai pengantar makanan pada malam hari. Adapun istrinya menjadi fotografer pernikahan.
”Saya akan berusaha untuk kreatif, melakukan yang saya bisa untuk menghidupi keluarga meski ini akan menjadi tantangan besar,” katanya.
Seperti dikatakan Wickenheiser dalam akun Twitter-nya, penundaan Olimpiade bisa membuat atlet lebih fokus pada kesehatan dan keselamatan diri serta keluarga. Namun, berkah itu, juga, menjadi tantangan bagi kondisi finansial, rencana hidup, atau usia bagi sebagai atlet.
Mantan perenang AS, Michael Phelps, bercerita, dia telah dihubungi beberapa atlet yang berkeluh kesah. ”Saya sebenarnya lega dengan keputusan ini, tetapi banyak atlet yang tak tahu harus berbuat apa,” kata Phelps.
Dari percakapan dengan para atlet yang lebih muda itu, Phelps pun mengingatkan pentingnya para atlet untuk menjaga kesehatan mental mereka. ”Itu lebih penting pada saat ini dibandingkan sebelumnya karena tak lagi memiliki tempat untuk berkompetisi. Saya sendiri akan berusaha membantu mereka yang membutuhkan,” kata peraih 23 emas dari empat kali Olimpiade itu. (AP/REUTERS)