Api Abadi Menjejak ”Negeri Matahari Terbit”
Pangkalan AU Jepang Matsushima menjadi saksi mendaratnya pesawat khusus yang membawa api abadi dari Athena, Yunani. Jepang mencoba optimistis di tengah keraguan akan terselenggaranya Olimpiade Tokyo tepat waktu.
HIGASHIMATSUSHIMA, JUMAT — Api abadi setelah Olimpiade Tokyo 1964 akhirnya kembali menginjak ”Negeri Matahari Terbit”. Api dari kuil suci di Yunani tersebut mengantarkan rasa rindu serta ragu kepada sang tuan rumah penyelenggara yang sedang terancam penundaan akibat pandemi Covid-19.
Pada Jumat (20/3/2020) pagi, Pangkalan Angkatan Udara Jepang (JASDF) Matshushima, di kota Higashimatsushima, Perfektur Miyagi, menjadi saksi mendaratnya pesawat khusus ”Tokyo 2020 Go” yang membawa api abadi dari Athena, Yunani.
Setibanya di Jepang, api, dalam kaleng emas kecil itu, langsung diterima dua mantan atlet ternama Jepang, pegulat Saori Yoshida dan pejudo Tadahiro Nomura. Mereka yang berada tepat di depan pintu pesawat bersama-sama mengangkat kaleng emas tersebut sambil melemparkan senyuman ke arah tamu undangan.
Walaupun tanpa penonton umum dan anak-anak yang direncanakan hadir, seremoni berlangsung cukup meriah. Seremoni dihadiri oleh puluhan tamu undangan yang terdiri dari panitia penyelenggara, pejabat setempat, hingga awak media. Tamu yang di antaranya mengenakan masker itu.
Setelah api diterima, bersamaan dengan tepuk tangan para tamu, terdengar iringan musik yang berasal dari orkestra JASDF. Orkestra ini membawakan ”Tokyo Olympic March” yang merupakan lagu saat upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 1964.
Seketika memori kesuksesan Olimpiade tujuh windu silam pun merasuk. Yoshida dan Nomura kemudian menuruni tangga portabel pesawat. Mereka menyerahkan api kepada Yoshiro Mori, Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020, yang akan memberi kata sambutan.
”Untuk pertama kali, setelah 56 tahun, obor Olimpiade kembali berada di Tokyo. Saya berharap keberadaan obor ini mampu menerangi jalan menuju harapan orang banyak,” kata Mori yang didampingi Presiden Komite Olimpiade Jepang (JOC) Yasuhiro Yamashita.
Seusai memberikan kata sambutan, Mori mengembalikan api kepada Yoshida dan Nomura. Di tengah angin yang bertiup cukup kencang, kedua mantan atlet peraih emas Olimpiade itu menyulut api ke dalam kaldron emas berukuran sekitar 1 meter.
Jilatan api dari kaldron besar ini disambut dengan atraksi udara dari tim JASDF. Tim aerobatik berusaha menggambar lambang cincin Olimpiade dengan asap berwarna layaknya pada seremoni pembukaan 1964, ketika Tokyo menjadi negara Asia pertama penyelenggara Olimpiade.
Nyala terang api abadi di Negeri Matahari Terbit menjadi simbol kerinduan terhadap suksesnya penyelenggaraan tujuh windu lalu. Hal itu membawa keyakinan tuan rumah bisa mengulanginya dalam ajang yang akan berlangsung Juli mendatang. Sekaligus melewati kegelapan di tengah ancaman pandemi Covid-19. Ini merupakan awal perjalanan kirab obor di 47 perfektur hingga berhenti di kota penyelenggara, Tokyo.
Jepang, sebagai tuan rumah, masih penuh keyakinan Olimpiade berlangsung tepat waktu. ”Kami akan melanjutkan persiapan dan bekerja sama dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC), Pemerintah Jepang serta Tokyo untuk menjamin ajang yang aman bagi semua orang,” tambah Mori.
Memori kelam
Di sisi lain, api abadi tidak hanya membawa rindu kesuksesan, tetapi juga rasa ragu terhadap tuan rumah. Jepang dibayangi memori kegagalan pada Olimpiade 1940 yang batal karena berkecamuknya Perang Dunia II.
Rasa ragu itu tertangkap dalam pandangan masyarakat Jepang. Bahkan, Yoshida, penerima api abadi, juga mengatakan, saat ini merupakan waktu yang berat bagi penyelenggara. ”Saya berharap kirab obor bisa memunculkan semangat dan harapan lagi,” ucapnya.
Survei media lokal, Kyodo, pada awal pekan ini, menggambarkan 7 dari 10 orang Jepang tidak percaya Olimpiade akan berlangsung tepat waktu dengan kondisi normal. Kepercayaan mereka runtuh akibat pandemi yang saat ini sudah membunuh lebih dari 10.000 jiwa.
Kenyataan tersebut didukung dengan komentar dari mantan pejudo nasional Jepang, Kaori Yamaguchi. Anggota dewan eksekutif JOC itu menyebutkan penyelenggaraan di tengah ancaman penyakit tidak akan dinikmati penonton yang jumlahnya ditargetkan 600.000 orang.
”Olimpiade adalah simbol yang membawa kedamaian. Tidak seharusnya kita melangsungkannya jika orang-orang di dunia bahkan tidak bisa menikmati,” kata Yamaguchi yang akan membawa pernyataan itu ke dalam rapat JOC pada 27 Maret 2020.
Belum lagi, menurut Yamaguchi, tidak ditundanya Olimpiade membuat atlet menjadi korban. Atlet tetap wajib berlatih dan menjalani kualifikasi dalam ancaman virus. Risiko itu pun harus diambil di tengah fakta bahwa banyak kualifikasi yang dibatalkan. Adapun nyaris separuh kuota atlet di Tokyo 2020 belum terisi.
Reaksi terbaru dari masyarakat lokal itu seperti menyetujui protes sebelum-sebelumnya yang datang dari para atlet dan pejabat di berbagai benua. Mereka menyarankan tuan rumah mengambil opsi penundaan Olimpiade.
Kendati demikian, mantan eksekutif pemasaran IOC, Michael Payne, menyarankan pihak penyelenggara jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Berdasarkan pengalaman, Olimpiade selalu menemui masalah besar sebelum dimulai.
Contohnya pada Olimpiade Rio 2016. Saat itu, tuan rumah Brasil dihantui ketakutan karena serangan virus zika. Namun, ketakutan itu berhasil dilewati setelah ditemukan fakta bahwa virus itu tidak mudah menular. Ajang pun berjalan tepat waktu.
”Beberapa minggu ke depan akan menjadi sangat berat. Saya tidak meremehkan virus (Covid-19) ini, tetapi dalam dua bulan situasi ini akan jauh berbeda dari sekarang. Terutama bagi Jepang dan China yang sepertinya sudah melewati masa terburuk,” kata Payne seperti dikutip The Guardian.
Rasa penasaran
Setelah seremoni, pihak penyelenggara memindahkan api Olimpiade ke Taman Peringatan Pemulihan Tsunami Ishinomaki Minamihama, Distrik Ishinomaki, di Prefektur Miyagi. ”Api Pemulihan”, sebutannya, sengaja dipamerkan di distrik paling terdampak gempa bumi dan tsunami pada 2011 lalu, dengan korban meninggal lebih dari 400 jiwa.
Keberadaan api abadi dan kaldron di wilayah yang berjarak 335 kilometer dari Tokyo itu memancing rasa penasaran warga sekitar. Sekitar 500 orang membentuk antrean panjang pada sore hari untuk menyaksikan kemegahan api abadi. Mereka, mayoritas menggunakan masker, berdesak-desakan untuk melihat langsung dan mengambil gambar kaldron dari jarak dekat.
Seorang guru dari Ishinomaki, Kiyotake Goto (44), mengatakan sangat tertarik untuk melihat kaldron meskipun tahu ancaman penyebaran Covid-19. ”Saya tahu ini bukan keputusan yang baik (untuk datang ke sini), tetapi saya tidak tahu apakah saya akan mendapat kesempatan lagi untuk melihat kaldron ini,” ucapnya.
Pertunjukan serupa juga akan dipertontonkan kepada publik masing-masing di area terdampak bencana alam sembilan tahun lalu, Prefektur Iwate dan Fukushima. Prefektur Fukushima merupakan daerah yang mengalami bencana nuklir terdahsyat, setelah kasus Chernobyl, Rusia, akibat gempa bumi pada 2011.
Setelah pertunjukan di publik, api Olimpiade akan dibawa dalam kirab obor pada 26 Maret, di Prefektur Fukushima. Kirab obor tersebut akan berlangsung selama 121 hari tanpa henti hingga sampai pada seremoni upacara pembukaan di Tokyo.