Kasus doping di ajang olahraga balap motor dan mobil sangat jarang terjadi. Itu salah satunya karena dampak zat doping sering kali tidak efektif bagi para pebalap.
Oleh
Agung Setyahadi
·4 menit baca
MIES, SELASA — Kasus doping pebalap MotoGP Andrea Iannone mengingatkan kembali pada protokol antidoping yang jarang terdengar di ajang balap motor elite itu. Kasus pebalap tim Aprilia itu masih berjalan dan diharapkan selesai dalam waktu dekat. Dengan mundurnya balapan musim ini, hingga paling cepat 3 Mei, ada peluang Iannone bisa ikut balapan jika dinyatakan tidak bersalah.
Iannone menjalani sanksi sementara dari FIM sejak 17 Desember 2019 setelah sampel urinenya pada GP Malaysia, 3 November, positif mengandung zat anabolic steroid nandrolone. Zat doping yang sudah dilarang lebih dari 30 tahun itu berfungsi meningkatkan tenaga dan kekuatan otot.
Iannone lalu meminta pemeriksaan sampel B dan hasilnya sama dengan sampel A. Pebalap Italia itu kemudian dilarang terlibat dalam balapan, dan tidak bisa mengikuti dua sesi tes pramusim MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia (7-9 Februari), dan Sirkuit Losail, Qatar (22-24 Februari).
Sebelum tes pramusim di Sepang, Iannone dan pengacaranya mengajukan pembelaan dengan analisis menggunakan sampel rambut. Hasilnya berkebalikan dengan tes urine. Namun, hal itu belum meyakinkan hakim. Pembelaan dilakukan dalam Sidang Disiplin Internasional (IDC) di hadapan tiga hakim di Kantor Pusat FIM, Mies, Swiss, 4 Februari. Hasil sidang itu belum dipublikasi hiungga kini
”Presiden FIM tidak terlibat dalam sidang. Kasus itu diperiksa para pengacara dari kedua pihak, yang telah mengirimkan beragam dokumen yang dinilai perlu, serta komite beranggotan tiga hakim, semuanya sangat berpengalaman, yang akan dengan segera memberi keputusan,” ujar Presiden FIM Jorge Viegas kepada koran Swiss, La Tribune de Geneva dan 24 Heures yang dikutip Crash, Selasa (17/3/2020).
Setelah IDC memutuskan, kedua pihak masih memiliki hak banding. ”Setelah itu, ada kemungkinan banding ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga), di pihak Iannone, dan tempat dia bekerja, Aprilia, jika sanksi dinilai terlalu berat, atau pihak Badan Anti Doping Dunia (WADA) jika menilai sanksi tidak sesuai,” kata Viegas.
Kasus doping di ajang balap motor dan mobil, seperti yang dialami Iannone, sangat jarang terjadi. Ini karena balapan memiliki karakter yang unik, memadukan performa motor dengan keterampilan pebalap yang didukung nyali yang besar. Dalam usaha meningkatkan kekuatan otot, misalnya, pebalap berusaha menjaga tubuhnya tidak bertambah besar.
Pebalap Repsol Honda, Marc Marquez, pernah mengatakan, pebalap perlu otot tangan dan perut yang kuat, tetapi tidak terlalu kuat, karena akan meningkatkan berat badan. Karakter itu berkebalikan dengan penggunaan steroid yang akan menambah massa otot.
Penggunaan zat doping erythropoietin (EPO), yang dikenal dengan doping darah seperti yang dilakukan pebalap sepeda, Lance Armstrong, untuk meraih tujuh gelar juara Tour de France, lebih efektif untuk olahraga yang berlangsung lama dan membutuhkan endurance. Manfaat EPO di balap motor yang berlangsung sekitar 45 menit kemungkinan besar dampaknya sangat kecil.
”Bersama kami, keterampilan, jiwa, dan keberanian lebih penting dibandingkan kekuatan fisik yang sangat besar. Tanpa melupakan masalah (penggunaan) penghilang rasa sakit,” ujar Viegas.
Karakter balap motor yang unik itu mendorong FIM membahas lebih dalam dengan WADA daftar zat doping yang sesuai dengan balap motor. ”Saya berencana bertemu dengan Presiden baru WADA, Witold Banka, untuk melihat apakah mungkin memiliki daftar (zat doping) yang lebih sesuai dengan olahraga kami,” kata Viegas.
Setali tiga uang, kasus doping di balap mobil Formula 1 juga sangat jarang terjadi. Balap ”jet darat” ini memiliki karakter yang sama dengan MotoGP yang lebih menuntut keterampilan, kekuatan mental, dan performa mesin untuk meraih podium. Faktor fisik pebalap juga penting, tetapi ada risiko besar jika menggunakan zat doping. Para pebalap sepertinya menyadari bahwa menggunakan zat doping bisa mencelakai orang lain yang ada di sirkuit.
Kate Walker, dalam analisisnya di Motorsport terkait doping yang tidak ada di F1, menyebutkan, untuk mendapatkan doping yang efektif di balapan, seorang pebalap perlu meracik oplosan obat, misalnya Ambien atau Adderall untuk meningkatkan fokus, steroid untuk meningkatkan massa otot saat latihan, amfetamin atau stimulan sejenis untuk mematikan nafsu makan dan menjaga tubuh tetap ramping.
Namun, ramuan itu mustahil dilakukan karena justru performa pebalap bisa menurun. Delegasi medis FIA, Jean-Charles Piette, pada 2012 mengatakan, doping untuk meningkatkan otot tubuh mungkin digunakan. Namun, tidak ada zat doping yang bisa meningkatkan kemampuan membalap. ”Mungkin ada beberapa obat yang bisa meningkatkan bakat dan keterampilan mengemudi dalam kompetisi,” ujar Piette dengan sinis.