ITS Mulai Teliti Banjir di Banjarasri dan Kedungbanteng Sidoarjo
Dua bulan direndam banjir, dua desa di Sidoarjo, Jawa Timur, diteliti tim ITS.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Sejumlah pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mulai meneliti banjir yang merendam Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, lebih dari dua bulan. Tim akan meneliti penyebab dan menyusun strategi penanganan jangka pendek serta jangka panjang.
Kepala Pusat Studi Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim ITS Aji Pamungkas mengatakan, untuk meneliti penyebab banjir di Sidoarjo, ITS melibatkan para pakar antara lain geologi, geomatika, hidrologi, dan tata kota. Mereka akan meneliti penyebab banjir dari berbagai aspek, seperti indikasi penurunan tanah, perubahan tata aliran air, dan karakteristik permukiman penduduk.
“Hujan bukan satu-satunya penyebab banjir. Oleh karena itu, perlu kajian komprehensif untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab banjir di Sidoarjo yang menggenang dua bulan,” ujar Aji Pamungkas, Kamis (5/3/2020) di Sidoarjo.
Pengukuran menunjukkan penurunan tanah mencapai 8 sentimeter dalam rentang tiga bulan masa penelitian (Amin Widodo).
Kehadiran tim ITS di Sidoarjo ini memenuhi undangan Pemkab Sidoarjo. Sebelum mendatangi lokasi bencana, tim peneliti memaparkan hasil kajian mereka tentang Desa Banjarasri, Kedungbanteng, dan Kalidawir. Kajian itu dilakukan ITS pada tahun 2016 atas permintaan Gubernur Jatim Soekarwo dalam kaitan rencana pengeboran baru Lapindo Brantas Inc di Desa Kedungbanteng.
Ahli geologi ITS Amin Widodo mengatakan, banyak hal yang menjadi obyek kajian saat itu, di antaranya aspek sosial, geologi, dan geofisika, serta risiko pengeboran. Salah satu hasil penelitian yang terkait erat dengan banjir saat ini adalah terjadinya penurunan tanah yang signifikan di desa tersebut.
“Hasil pengukuran menunjukkan penurunan tanah mencapai 8 sentimeter (cm), dalam rentang tiga bulan masa penelitian,” kata Amin.
Ahli hidrologi yang juga dosen Teknik Infrastruktur Sipil ITS Kuntjoro mengatakan, pihaknya akan meneliti sistem aliran air di sekitar desa terdampak bencana. Penelitian aliran air ini akan dilakukan dari hulu hingga hilir. Apabila dulu tidak banjir, kemudian sekarang banjir, bisa jadi karena tata aliran airnya berubah.
Perubahan tata atau sistem aliran air disebabkan banyak faktor. Contohnya, berkurangnya area resapan air karena alih fungsi lahan dari tambak dan sawah menjadi permukiman atau kawasan industri. Selain itu, adanya hal-hal yang menyebabkan perubahan tata aliran air sungai maupun drainase sehingga air tidak mengalir seperti sebelumnya.
“Penyebab banjir bisa karena alih fungsi lahan dan alih fungsi saluran pembuang. Dulu ada saluran pembuang, sekarang tidak ada atau kapasitas saluran pembuangnya berkurang sehingga banjir,” ucap Kuntjoro.
Semua hal penyebab banjir harus diidentifikasi secara tepat agar solusi yang dirumuskan juga tepat. Hal itu sangat penting supaya banjir segera tertangani dan tidak menyebabkan penderitaan masyarakat terus menerus. Semakin lama banjir berlangsung, dampaknya pada masyarakat semakin kompleks.
Relawan Taruna Siaga Bencana dari Dinas Sosial Sidoarjo menyiapkan suplai makanan untuk masyarakat korban banjir di Desa Banjarasri dan Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kamis (20/2/2020). Setiap hari mereka memasak 6.000 bungkus nasi.Kepala BPBD Sidoarjo Dwijo Prawito mengatakan, banjir menggenangi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng sejak awal Januari. Banjir hampir tak pernah surut meski hujan tidak mengguyur. Selain merendam sekitar 500 rumah warga yang dihuni 2.500 jiwa, banjir juga menggenangi SMPN 2 Tanggulangin, SDN Banjarasri, dan TK Dharma Wanita Banjarasri.
Demi mengoptimalkan penanggulangan banjir, Pemkab Sidoarjo menetapkan status tanggap darurat bencana pada 19 Februari lalu selama 14 hari. Namun, hingga masa tanggap darurat bencana berakhir Selasa (3/3/2020), banjir tak kunjung tertangani meski genangan mulai surut.
Artinya, saat hujan kembali mengguyur, permukiman yang mulai kering akan kembali tergenang. Tinggi genangan bisa mencapai saat awal banjir terjadi dan belum ada penanganan. Padahal, 16 unit pompa sudah dikerahkan untuk menyedot air setiap hari tanpa henti.
Banjir yang belum tuntas tertangani menjadi alasan Pemkab Sidoarjo memperpanjang masa tanggap darurat selama 14 hari lagi. Fokus penanganan masih sama, yakni menyedot air dari permukiman masyarakat agar mereka bisa kembali hidup normal. Selama masa tanggap darurat itu, disediakan anggaran Rp 2,7 miliar dari APBD Sidoarjo dan sudah terpakai Rp 1,7 miliar.