Roger Federer harus menjalani operasi lutut yang membuatnya harus absen selama berbulan-bulan. Dengan usia yang terus bertambah, apakah petenis Swiss ini bisa kembali ke puncak penampilannya selepas rehat cedera?
Oleh
Yulia Sapthiani
·5 menit baca
”Sakit pada lutut kanan saya mengganggu akhir-akhir ini. Saya berharap sakitnya segera hilang. Namun, setelah pemeriksaan dan diskusi dengan tim, saya memutuskan untuk menjalani operasi arthroscopic di Swiss, kemarin. Saya berterima kasih atas semua dukungan dan tak sabar untuk bermain lagi. Sampai berjumpa kembali di lapangan rumput!”
Cerita itu dituturkan Roger Federer dalam akun media sosialnya pada Kamis (20/2/2020), sehari setelah menjalani operasi dengan metode sayatan kecil untuk memasukkan alat yang dilengkapi kamera. Kondisi tersebut akan membuatnya beristirahat dari persaingan dengan petenis-petenis elite tunggal putra selama empat bulan.
Kalimat terakhir yang disampaikan Federer setidaknya menjadi kelegaan bagi penggemarnya. Sang legenda optimistis akan kembali ketika persaingan berlangsung di lapangan rumput, mulai Juni, yang dipuncaki dengan turnamen klasik, Wimbledon, 29 Juni-12 Juli.
Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir, Federer yang dianggap sebagai petenis terbaik sepanjang sejarah (greatest of all time/GOAT) sangat selektif dalam memilih turnamen. Pada 2016-2018, Federer melewatkan persaingan di lapangan tanah liat untuk menjaga kebugaran fisik. Hal itu tak lain agar dia bisa memiliki usia kompetisi lebih panjang.
Bertanding di tanah liat, dengan karakter pantulan bola yang tinggi dan lambat, membutuhkan daya tahan fisik yang lebih tinggi. Perebutan setiap poin cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan dengan lapangan berkarakter cepat.
Sebaliknya, lapangan rumput yang memantulkan bola dengan sangat cepat (lebih cepat daripada lapangan keras) dan rendah cocok untuk Federer. Meskipun tak memiliki servis dengan kecepatan hingga 263 kilometer per jam—rekor servis tercepat yang dibuat Sam Groth (Australia) pada 2012 di Korea Selatan—Federer mempunyai akurasi pukulan yang tinggi.
Koordinasi mata dan tangannya yang melampaui petenis elite lain juga menjadi keistimewaannya. Dengan kelebihan itu, dia tahu kapan waktu paling tepat untuk memukul bola. Tak pelak, Federer selalu menjadi kompetitor terbaik di lapangan rumput.
Kemampuan itu telah membawa petenis Swiss ini menjadi tunggal putra dengan gelar terbanyak di Wimbledon, yaitu delapan gelar, terakhir direbutnya pada 2017. Turnamen tenis tertua di dunia ini pula—Wimbledon pertama kali digelar pada 1877—yang memberinya titel juara Grand Slam untuk pertama kalinya, yaitu pada 2003. Lapangan yang ditanami rumput berjenis ryegrass itu bagaikan halaman belakang rumah bagi Federer.
Pada 2019, Federer hampir menambah koleksi trofinya dari Wimbledon ketika mendapat match point saat berhadapan dengan Novak Djokovic pada final. Namun, dia kehilangan momen tersebut.
Gaya main dan jejak prestasi menjadi faktor yang paling mendukung Federer untuk menambah gelar dari All England Club, London, pada tahun ini. Didasari kecintaan yang besar pada olahraga yang digelutinya sejak berusia delapan tahun itu, motivasinya untuk kembali ke turnamen pun tak diragukan meskipun harus menjauh dulu selama empat bulan.
Tak seperti rivalnya, Rafael Nadal, Federer sebenarnya termasuk petenis yang jarang cedera. Baru pada Febuari 2016 dia mendapat cedera lutut kiri yang mengharuskannya operasi untuk pertama kali. Itu pun bukan cedera yang dialami di lapangan tenis, melainkan karena gerakan yang salah saat memandikan putri kembarnya.
Federer kembali ke kompetisi pada April di tahun yang sama, tetapi terseok-seok pada lima turnamen di lapangan tanah liat dan rumput. Di Wimbledon, sebelum dihentikan Milos Raonic pada semifinal dalam lima set, dia hampir kalah dari Marin Cilic pada perempat final, juga, dalam lima set.
Penampilan melawan Raonic menjadi laga terakhirnya pada 2016. Federer mengakhiri musim itu dengan lebih cepat untuk benar-benar memulihkan cedera lututnya. Untuk pertama kali dalam 16 musim, sang legenda tak menjuarai turnamen apa pun.
Kembali ke arena persaingan pada awal 2017, sang legenda membuktikan belum ”habis”. Untuk pertama kali sejak menjuarai Wimbledon 2012, Federer menambah gelar Grand Slam dari Australia Terbuka. Trofi juara dari Wimbledon 2017 dan Australia Terbuka 2018 menegaskannya menjadi tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, yakni 20 gelar.
Momen itu menjadi bukti bahwa Federer masih bisa menembus persaingan papan atas setelah beristirahat panjang. Menjadi yang terbaik di arena Grand Slam selalu menjadi motivasinya.
Namun, tantangan yang akan dihadapi kali ini lebih besar. Saat tampil di Australia Terbuka, Januari, cedera paha mengganggu penampilannya. Dia harus menggagalkan tujuh match point Tennys Sandgren pada perempat final sebelum kalah straight set dari Djokovic pada semifinal. Pada dua laga itu, Federer menjalani medical time out.
Seiring bertambahnya usia pula (Federer akan berusia 39 tahun pada 8 Agustus), pemulihan cedera cenderung membutuhkan waktu lebih lama. Di sisi lain, rivalnya, terutama Novak Djokovic, berada dalam kondisi fit.
Djokovic tengah menjalani ”karier kedua” sejak pulih dari cedera siku dan menemukan kembali motivasinya. Dari tujuh Grand Slam sejak pertengahan 2018, dia menjuarai lima turnamen, termasuk Wimbledon dalam dua musim terakhir.
Maka, akan ada dua kemungkinan dengan rehatnya Federer kali ini. Ayah dari empat anak itu akan tampil dalam kondisi bugar dan lebih termotivasi pada pertengahan 2020 atau kesulitan untuk menuju penampilan yang diinginkan pada level elite, baik karena faktor internal maupun eksternal.
Seperti dikatakan mantan pelatihnya, Paul Annacone, kepada The New York Times, dia tak ingin melihat karier Federer segera berakhir. Namun, Annacone juga tak memungkiri bahwa usia dan kondisi fisik setelah cedera akan membuat Federer berhadapan dengan tantangan lebih besar pada upaya comeback kali ini.