Timnas basket Indonesia pernah merusak dominasi Filipina pada 1996. Kemenangan tiga windu lalu itu menunjukkan Filipina bisa dikalahkan dengan semangat pantang menyerah dan kreativitas taktik.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua puluh empat tahun lalu, suasana haru sekaligus bangga merasuki GOR Kertajaya, Surabaya. Tim nasional basket Indonesia dengan pemain-pemain lokalnya menancapkan tonggak sejarah dengan menaklukkan raja basket Asia Tenggara, Filipina.
”Perasaannya sangat luar biasa karena kami membuat sejarah menang lawan Filipina yang diisi pemain-pemain hebat. Saat itu, Helmy Yahya masih menjadi komentator. Dia sampai ikut menangis,” kata mantan guard tim nasional basket era 1990 hingga 2000-an, AF Rinaldo ”Inal”, Sabtu (22/2/2020).
Timnas Indonesia, tanpa pemain naturalisasi, berhasil menggoyahkan takhta Filipina dengan kemenangan meyakinkan, 88-81. Kemenangan di final itu sekaligus membawa Inal dan rekan-rekan menjuarai kompetisi basket se-Asia Tenggara (SEABA) 1996 di Surabaya.
Lima pemain lokal dari tim Aspac menjadi tulang punggung timnas, yakni Inal, Fictor ”Ito” Roring, Suko Daryono, Tri Adnyana, dan Filiks Bendatu. Dengan dukungan ribuan penonton di GOR Kertajaya, mereka membendung kehebatan pemain muda lawan, Rommel Adducul dan Danny Ildefonso, yang masuk ke dalam All-Star Asia FIBA kala itu.
Imaji pertandingan itu masih begitu lekat di ingatan Inal. Kelima pemain Aspac itu terus dimainkan karena sudah kompak. Bahkan, dia nyaris bermain sepanjang pertandingan atau 40 menit tanpa istirahat. ”Di kuarter ketiga dan keempat, kami dipasang terus tidak ganti-ganti. Saya digilir dijaga tiga point guard mereka. Jujur, capek, tetapi kami main all-out aja, tidak pernah takut, nothing to lose,” ujarnya.
Di bawah asuhan duet Pelatih Tjetjep Firmansyah dan Rastafari Horongbala, timnas bermain di luar teori pada umumnya saat menyerang. Inal, pengatur serangan yang berpostur kecil, justru bermain di area dekat ring. Sebaliknya, Suko, pemain berpostur tinggi, keluar dari kebiasannya dengan menunggu di garis sudut tiga angka.
Timnas memanfaatkan keangkuhan lawan yang tidak mau memainkan pertahanan zona. Filipina merasa pemain-pemainnya lebih unggul dalam bertahan satu lawan satu. ”Saya berkali-kali berhasil lolos saat main di dalam. Akhirnya big man mereka ikut bantu jaga saya. Saat itu saya lempar bola ke luar. Di situ ada Suko yang sudah menunggu. Dia mencetak 31 poin. Kami bermain antiteorilah waktu itu,” tutur Inal.
Rastafari mengatakan, dirinya bersama Tjetjep menempatkan Suko di garis tiga angka karena kemampuan menembak pemain setinggi 1,96 meter itu cukup mumpuni. Strategi ini sekaligus untuk mengakali pertahanan bawah ring Filipina yang begitu tangguh dengan pemain-pemain besarnya.
”Kalau kami nyerang dari luar, tingginya mereka tidak akan keluar. Anak-anak juga saat itu mainnya tidak ada beban. Memang kejutan kami bisa ngalahin Filipina. Kami enggak pernah menang dari dulu padahal,” kenang Rastafari.
Di luar strategi, Rastafari melihat ”keajaiban” di GOR Kertajaya bisa terjadi karena perjuangan dan semangat para pemain. Salah satunya center timnas, Ito, yang harus menahan cedera pinggangnya dengan meminum obat penahan rasa sakit. Setelah pertandingan, Ito muntah-muntah karena efek obat bereaksi pada lambungnya.
”Anak-anak ngotot. Mereka lagi semangat, ditambah atmosfer GOR Kertajaya yang selalu luar biasa. Semuanya jadi bagus, dari shoot sampai bertahan. Mungkin karena anak-anak mau (bertarung) aja,” ujar pelatih yang sudah malang-melintang di perbasketan nasional ini.
Oase timnas
Memori tiga windu lalu membuktikan, hanya butuh satu hari baik dan semangat pantang menyerah untuk mengalahkan tim raksasa. Selain itu juga keberanian untuk menerapkan strategi di luar kebiasaan.
Kenangan manis ini bisa menjadi inspirasi timnas basket yang akan bertarung melawan Filipina di Kualifikasi Piala Asia FIBA 2021 pada Minggu (23/2/2020) di Mahaka Arena, Jakarta. Situasi kedua tim cukup sama seperti 24 tahun lalu.
Timnas akan bermain dengan materi pemain lokal. Sementara tim tamu hadir dengan banyak materi pemain muda. Filipina hanya menggunakan dua pemain yang bermain di SEA Games Manila 2019, yakni Kiefer Ravena dan Troy Rossario.
Inspirasi sangat dibutuhkan karena timnas sedang dalam kondisi terpuruk. Setelah kekalahan dari Korea Selatan, Kamis lalu, salah satu pemain timnas, Abraham Damar Grahita, sempat dicoret dari tim. Abraham dinilai menunjukkan gestur yang tidak menghormati Pelatih Rajko Toroman saat konferensi pers setelah laga.
Namun, dalam rapat terakhir pada Sabtu malam antara manajer timnas dan Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi), Abraham dinyatakan tetap akan bermain melawan Filipina. Dia hanya diberikan sanksi untuk kerja sosial sebulan sekali hingga Desember 2020.
Kehadiran kembali Abraham yang menjadi pencetak angka terbanyak atas Korsel, 25 poin, akan menjadi suntikan tenaga bagi Indonesia. Pemain asal Bangka Belitung ini sudah meminta maaf atas kesalahannya. Dia berkesempatan membuktikan komitmennya kepada timnas di laga nanti. ”Kami akan bermain sebaik-baiknya lawan Filipina,” kata Abraham, Kamis lalu, sebelum hukuman diberikan.
Toroman mengakui peluang menang atas Filipina lebih besar dibandingkan saat bertemu Korsel. Pelatih yang pernah melatih Filipina pada 2009-2011 ini mengatakan, postur timnas tidak kalah jauh dibandingkan dengan timnas negara tetangga itu.
”Kami harus mengakui buta kekuatan lawan karena mereka datang dengan tim yang sama sekali berbeda dari SEA Games. Tetapi, peluang kali ini lebih baik dari melawan Korsel,” kata Toroman.
Dalam pertemuan terakhir di SEA Games, Indonesia harus mengakui keunggulan Filipina di babak semifinal dengan kekalahan cukup telak, 70-97. Kekalahan ini yang harus dilupakan Andakara Prastawa dan rekan-rekan di laga Minggu malam.