Napoli bangkit dan menjelma tim spesialis penakluk raksasa seusai membekap Inter Milan di semifinal Piala Italia, Kamis dini hari. Predikat baru Napoli itu tidak terlepas dari pragmatisme pelatihnya, Gennaro Gattuso.
Oleh
M IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
MILAN, KAMIS — Sesaat setelah wasit Gianpaolo Calvarese meniup peluit panjang, Pelatih Napoli Gennaro Gattuso antusias memeluk satu per satu pemainnya seusai mengalahkan Inter Milan 1-0 pada laga pertama semifinal Piala Italia, Kamis (13/2/2020) dini hari WIB, di Stadion Giuseppe Meazza.
Pemandangan itu berbanding 180 derajat dengan sikap Gattuso, akhir pekan lalu. Kekalahan Napoli atas Lecce di Stadion San Paolo pada laga Liga Italia itu membuat Gattuso segera bergegas ke kamar ganti dengan kepala tertunduk lesu.
Kedatangan Gennaro Gattuso pada 11 Desember lalu menghadirkan era baru bagi Napoli. Ia tidak seperti dua pendahulunya, yakni Maurizio Sarri dan Carlo Ancelotti, yang konsisten memberikan wajah ofensif bagi tim berjuluk ”I Partenopei” itu dalam lima musim terakhir.
Di bawah dua pelatih kawakan itu, Napoli memiliki fondasi permainan yang didasari penguasaan bola. Hal paling mencolok terlihat di era Sarri yang rata-rata penguasaan bola Napoli di Liga Italia selama 2015 hingga 2018 mencapai 62 persen. Sementara dua musim bersama Ancelotti, Napoli mencatatkan rata-rata 57 persen penguasaan bola.
Awalnya, Gattuso masih mempertahankan gaya permainan Napoli yang ofensif. Namun, ironisnya, kekalahan selalu mereka raih, yaitu dimulai pada pekan ke-16 Liga Italia. Saat itu, Napoli dikalahkan Parma, 1-2, setelah menguasai jalannya laga dengan 69 persen penguasaan bola. Pada empat laga Liga Italia berikutnya, Napoli hanya mengumpulkan total tiga poin.
Titik balik bagi Gattuso terjadi di babak perempat final Piala Italia, 22 Januari lalu. Menghadapi Lazio, yang terakhir mengalami kekalahan di kompetisi domestik pada 26 September 2019, Napoli tampil dengan pendekatan berbeda. Gattuso memaksa Lorenzo Insigne dan rekan-rekannya tampil lebih pragmatis dan efektif. Mereka cenderung menunggu lawan melakukan serangan hingga ke garis pertahanan, kemudian menunggu waktu tepat melakukan serangan balik.
Tidak ada lagi zona pertahanan tinggi yang mengejar bola sejak zona pertahanan lawan. Melawan tim yang berlabel tim besar, mantan pemain tim nasional Italia yang menjuarai Piala Dunia 2006 itu meminta anak-anak asuhnya bermain lebih sabar hingga menunggu lawannya lengah. Napoli, di tangan Gattuso, juga tidak jarang melepaskan tendangan dari luar kotak penalti untuk memberi efek kejut kepada lini pertahanan lawan.
Setelah Lazio, giliran Juventus yang harus menerima ”sengatan” pragmatisme Gattuso. Meskipun sempat tertinggal lebih dulu, Napoli mengalahkan sang juara bertahan Liga Italia itu 2-1 di San Paolo, akhir Januari lalu. Hal serupa juga ditunjukkan Napoli ketika bersua dengan Inter di laga pertama semifinal Piala Italia, kemarin.
Meskipun tampil tanpa dua pemain bintangnya, yaitu Insigne dan Kalidou Koulibaly, strategi bertahan serta menunggu lawan lengah untuk melakukan serangan terbukti ampuh meredam agresivitas duet Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku. Puncaknya, sebuah sepakan kaki kiri Fabian Ruiz mengantar Napoli meraih kemenangan perdana atas Inter di Stadion Giuseppe Meazza dalam lima laga Piala Italia terakhir.
Kemenangan itu menegaskan Napoli di bawah asuhan Gattuso, yang dijuluki ”Si Badak”, kini menjelma tim spesialis perusak klub-klub raksasa. Tiga tim teratas di klasemen Liga Italia kini satu per satu telah mereka tundukkan. Gattuso lantas berharap, hasil positif Napoli itu bukan sekadar kebetulan, melainkan diperoleh secara konsisten.
Kontras dengan hasil di laga-laga besar itu, Napoli justru kerap membuang poin ketika menghadapi tim-tim yang lebih lemah. Sebagai contoh, mereka dibekap
2-3 oleh Lecce, tim peringkat ke-17 di Liga Italia, akhir pekan lalu. Adapun Napoli kini masih tertahan di peringkat ke-11 menyusul inkonsistensi itu.
Maka itu, pekerjaan rumahnya saat ini adalah menjaga konsistensi penampilan anak-anak asuhnya seperti yang ditunjukkan pada laga di Giuseppe Meazza. ”Kami sangat baik ketika menghadapi lawan yang sangat kuat. Namun, saya menginginkan sikap yang sama di setiap pertandingan,” ujar Gattuso seusai laga itu seperti dikutip dari laman resmi Napoli.
David Ospina, kiper Napoli, sependapat dengan pelatihnya itu. Menurut dia, Napoli harus memberikan fokus maksimal kepada setiap pertandingan tanpa memedulikan siapa lawan yang akan dihadapi. Pada pekan ke-24 di Liga Italia, Napoli akan bertandang ke Cagliari.
”Tim ini memiliki kekompakan dan kualitas. Namun, hal itu perlu ditunjukkan di lapangan (setiap pekan) melalui penampilan seperti saat melawan Inter,” kata Ospina yang enggan berbicara soal gelar juara Piala Italia.
Pelatih Inter Milan Antonio Conte memuji taktik Gattuso meskipun ia tampak kesal dengan permainan defensif Napoli. Meskipun habis-habisan menggempur pertahanan Napoli dan menambah penyerang lewat kehadiran Alexis Sanchez dan Christian Eriksen di babak kedua, pertahanan Napoli bergeming. Tidak satu pun gol mereka cetak dari setidaknya lima tembakan tepat ke gawang.
”Gennaro Gattuso pintar untuk bertahan, menunggu, dan melakukan serangan balik. Kami memiliki beberapa peluang. Laga akan lebih adil apabila hasilnya imbang,” ujar Conte yang menelan kekalahan pertamanya dari 11 laga terakhir di berbagai kompetisi bersama ”La Beneamata”.
Target utama Inter
Meskipun demikian, kekalahan itu tidak menyurutkan semangat Inter untuk melaju ke laga final Copa Italia pada 13 Mei mendatang di Stadion Olimpico, Roma. Direktur Inter Milan Beppe Marotta memastikan, Piala Italia adalah salah satu target Inter di musim ini. Telah sembilan tahun lamanya mereka tidak lagi pernah mengangkat trofi itu.
Untuk menjaga kans itu, mereka wajib menang dengan dua gol atau lebih pada duel semifinal kedua di Stadion San Paolo, Naples, 5 Maret mendatang. ”Kami harus bekerja keras dan fokus pada detail karena hal itu yang membuat perbedaan. Para pendukung telah menantikan prestasi dan Piala Italia berada dalam jangkauan kita,” kata Marotta dikutip Football-Italia.