JAKARTA, KOMPAS – Atlet-atlet tenis meja menilai kedua kubu federasi tenis meja nasional, yaitu PB PTMSI dan PP PTMSI, tidak memberikan ruang untuk atlet berkembang. Menolak mau kalah dengan situasi itu, sejumlah atlet akan bermain pada turnamen tenis meja Divisi 1 Liga Swedia untuk menambah pengalaman dan jam terbang.
Atlet bernama Bima Abdi Negara dan Zahru Nailufar mendapat undangan untuk bermain di klub tenis meja Eskilstuna di Swedia selama delapan bulan pada Januari-Agustus 2020. Selama di Swedia, mereka akan bergabung dengan klub, mendapatkan uang saku, akomodasi, dan penginapan. Atlet-atlet akan tinggal di Klarnarsvagen, Swedia.
Pendamping atlet tenis meja Yon Mardiono mengatakan, kesempatan bermain di luar negeri ini sangat penting untuk membangun mental bertanding atlet. “Dengan adanya kompetisi yang rutin digelar setiap pekannya, ini akan membuat atlet lebih matang bermain dan menambah pengalaman. Ini juga kesempatan atlet untuk go internasional,” ujarnya di Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Yon menjelaskan, keputusan untuk bermain di luar negeri diambil karena kesempatan ini tidak pernah difasilitiasi oleh kedua pengurus cabang olahraga ini, baik PP PTMSI di bawah pimpinan Oegroseno ataupun PB PTMSI di bawah pimpinan Peter Layardi Lay. “Mereka selalu meributkan masalah dualisme kepengurusan, tetapi tidak pernah memperhatikan pembinaan. Daripada kami larut dalam masalah ini, kami mengambil langkah untuk bermain di luar,” ujar Yon.
Menurut Yon, apabila federasi tenis meja sungguh-sungguh ingin melakukan pembinaan, mereka harus memantau kondisi atlet dan menyalurkan kemampuan atlet pada ajang internasional. Kenyataannya, bakat dan kemampuan atlet kerap tidak tersalurkan dengan baik karena minimnya perhatian dan terjadinya dualisme kepengurusan olahraga. Bahkan, rencana untuk mengikuti SEA Games Filipina 2019 juga harus dibatalkan karena cabang ini dianggap belum bisa menyelesaikan konflik internal berupa dualisme kepengurusan itu.
Solusi dualisme
Sebelum berangkat ke Swedia, atlet-atlet telah bertemu dengan Ketua KONI Marciano Norman, pada Senin (6/1/2020). Dalam pertemuan itu, atlet-atlet menuntut agar masalah dualisme kepengurusan segera diselesaikan. Apabila dualisme ini tidak bisa diselesaikan, pembinaan atlet harus diambil alih oleh negara demi pencapaian prestasi jangka panjang. Selain itu, atlet-atlet juga menuntut agar tenis meja tetap dimainkan di Pekan Olahraga Nasional 2020.
“KONI menjanjikan akan segera mencari jalan keluar dari masalah kepengurusan ini. Selain itu, KONI juga terus mengupayakan agar tenis meja tetap dimainkan di PON 2020 karena atlet dari daerah-daerah sudah berlatih sejak lama,” ujar Yon.
Ketua Umum PP PTMSI Oegroseno mengatakan, masalah dualisme kepengurusan seharusnya tidak terjadi apabila semua pihak mengacu pada pasal 47 ayat 1-4 Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. “Dalam aturan itu jelas disebutkan induk organisasi cabang olahraga harus berbadan hukum, memiliki akta pendirian yang bersifat autentik, dan wajib menjadi anggota federasi olahraga internasional,” katanya.
Dengan aturan itu, Oegroseno mengklaim pihaknya paling berhak untuk menaungi pembinaan tenis meja di Indonesia karena sudah berbadan hukum, memiliki akta pendirian, dan menjadi anggota federasi olahraga internasional.
Terkait pembinaan olahraga, PP PTMSI memang fokus membina atlet-atlet muda. Hal ini dilakukan berkaca dari pembinaan tenis meja di China, di mana atlet-atlet kebanyakan masih berusia belasan tahun. “Untuk menambah jam terbang, kami juga menyelenggarakan Kejuaraan Tenis Meja Asia di Indonesia sehingga atlet-atlet dari luar negeri bisa berkompetisi melawan atlet-atlet Indonesia. Dalam hal pembiayaan, ini lebih efektif,” ujar Oegroseno.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi KONI Andri Paranoan mengatakan, masalah kepengurusan di KONI sudah bukan lagi dualisme tetapi trialisme. “Nanti akan diselesaikan di bidang organisasi,” katanya, singkat.