Pengadaan Perangkap Hama untuk Petani Kopi Dikorupsi
Kepolisian Daerah Aceh menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan perangkap hama untuk petani kopi di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kepolisian Daerah Aceh menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan perangkap hama untuk petani kopi di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Dari anggaran pengadaan Rp 48 miliar diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 16 miliar.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Teuku Saladin, Rabu (9/10/2019), mengatakan, empat tersangka itu adalah AR, mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bener Meriah; T, pejabat pembuat komitmen; serta TU dan MJ sebagai rekanan.
”Korupsi diduga dilakukan dengan cara mark up (penggelembungan) harga,” kata Saladin.
Program pengadaan perangkap hama atau atraktan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 sebesar Rp 48 miliar. Menurut rencana, atraktan akan dibagikan kepada 621 kelompok tani di Bener Meriah.
Korupsi diduga dilakukan dengan cara mark up (penggelembungan) harga.
Namun, pengadaan atraktan dinilai bermasalah lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Alat tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Berdasarkan temuan di lapangan, LSM Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Gayo melaporkan dugaan korupsi kepada aparat polisi. Butuh waktu dua tahun bagi polisi untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut.
Saladin mengatakan, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, negara mengalami kerugian hingga Rp 16 miliar.
Penyidik menelusuri aliran dana tersebut. Penyidik baru dapat menyita uang tunai Rp 2,3 miliar dan dua sertifikat tanah yang diduga dibeli pakai uang korupsi.
”Total yang baru bisa kami sita Rp 4 miliar. Kami masih menelusuri aliran dana karena ada dugaan tindak pidana pencucian uang,” kata Saladin.
Kepala Divisi Advokasi Gerak Gayo Dedi Purnawan menuturkan, dalam anggaran Rp 48 miliar tersebut terdapat beberapa kegiatan lain, seperti pengadaan pupuk cair dan pengadaan alat giling buah kopi. Namun, kata Dedi, berdasarkan hasil penelusuran mereka di lapangan, ditemukan alat tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
”Petani tidak dapat menggunakan (alat itu) karena kualitasnya buruk. Mungkin dibeli bukan dari pabrik resmi,” kata Dedi.
Dedi mengapresiasi polisi karena telah menetapkan tersangka serta menyita uang dan aset tersangka. Namun, dia juga mempertanyakan mengapa pengungkapan kasus dugaan korupsi tersebut berjalan lama.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran Alfian mengatakan, aparatur pemerintah kerap bersekongkol dengan swasta atau pengusaha untuk mengorupsi uang negara. Dalam banyak kasus korupsi, pelakunya adalah aparatur pemerintah dan rekanan.
Petani tidak dapat menggunakan (alat itu) karena kualitasnya buruk. Mungkin dibeli bukan dari pabrik resmi.
Menurut Alfian korupsi memang sengaja dirancang sejak perencanaan program hingga pelaksanaan. ”Ini menunjukkan komitmen aparatur pemerintah terhadap antikorupsi rendah,” ujar Alfian.