Para Juara Melawan Senja Kala
Kekuatan motivasi dan sains modern memungkinkan para atlet melawan kelaziman. Mereka tetap bisa menggapai puncak dunia ketika mayoritas atlet lain seusianya tengah menghadapi ”kematian pertama” di usia melewati 30 tahun.
Ada satu kepercayaan yang dianut hanya oleh para atlet profesional, yaitu kematian bakal dua kali menghampiri mereka. Pertama, yaitu ketika mental maupun fisik tidak lagi dapat dipaksa untuk terus berprestasi. Kedua, tatkala mengembuskan napas terakhirnya dan menemui Sang Pencipta.
”Itu (menghadapi pensiun) seperti menyambut kematian. Tiada yang tahu seperti apa rasanya nanti dan kapan itu terjadi,” ujar Andre Agassi (49), mantan petenis putra nomor satu dunia yang gantung raket dalam usia 36 tahun pada turnamen Grand Slam AS Terbuka 2006 seperti dikutip CNN pada 2016.
Atlet-atlet seperti Agassi tidak pernah takut akan kehebatan lawan ataupun medan laga sesulit apa pun. Hal yang paling ditakutinya adalah ketika tubuhnya mulai melemah, hal yang terjadi secara alamiah seiring bertambahnya usia. Mayoritas atlet seperti Agassi memang hidup berpacu dengan waktu mengingat usia keemasan atlet adalah 20-30 tahun. Setelah usia itu, berbagai faktor kebugaran dan stamina tubuh mulai menurun.
Detak jantung berkurang, begitu pula pembentukkan massa otot. Nilai VO2 Max atau volume maksimal oksigen yang diproses tubuh dalam aktivitas intensif pun berkurang hingga 10 persen setiap dekadenya seusai usia 30 tahun.
Proses regenerasi sel dan pemulihan tubuh menurun tajam, atlet-atlet pun kian rawan mengalami cedera kambuhan. Berbagai perubahan fisik itu, plus masalah eksternal lainnya, bisa memengaruhi mentalitas dan motivasi atlet.
Tidak heran, di masa silam, banyak atlet hebat yang pensiun di usia sekitar 30 tahun. Legenda NBA, Michael Jordan, misalnya, sempat memutuskan pensiun dini, yaitu usia 30 tahun pada 1993 karena kehilangan motivasi. Padahal, ia baru saja meraih gelar juara NBA ketiganya pada tahun itu. Kerinduannya akan basket lantas membawanya kembali ke NBA bersama Chicago Bulls, dua tahun berselang.
Di sepak bola, legenda klub Manchester United, George Best, adalah contoh lainnya. Karier penyerang asal Irlandia Utara itu bak meteor yang bersinar dalam waktu sangat singkat. Tidak lama setelah meraih trofi Piala Champions (sekarang Liga Champions), dan dinobatkan sebagai pesepak bola terbaik Eropa pada 1968, ia mulai tersisih. Hedonisme dan masalah kecanduan alkohol mulai menjeratnya. Ia pun sempat gantung sepatu seusai dibuang MU saat usianya masih 27 tahun.
”Untuk terus tampil di level tertinggi, Anda harus senantiasa menjaga apa yang Anda makan, apa yang diminum, kapan tidur, dan apa saja yang ada di pikiran. Anda harus fokus ke pertandingan. Hal kedua, Anda membutuhkan gairah. Sedikit saja Anda kehilangan gairah itu, Anda tidak lagi bisa memacu diri dan tampil di level tertinggi. Itulah yang tidak lagi saya rasakan,” ujar Eric Cantona, legenda MU lainnya yang gantung sepatu pada usia 30 tahun, dan kini menekuni karier sebagai aktor, dalam acara podcast di JOE’s Unfiltered, 2017 lalu.
Faktor mental, yaitu gairah dan motivasi, menjadi kunci kesuksesan para atlet dewasa ini untuk terus berprestasi melawan penuaan atau usia senja. Di saat para pendahulu maupun rekan-rekan seusianya telah kehilangan panggung, bahkan pensiun, Cristiano Ronaldo—yang merupakan megabintang sepak bola dunia—tetap trengginas di usia 34 tahun. Ia tetap lincah, atletis, dan garang di depan gawang meskipun tidak seeksplosif satu dekade silam.
Dua hari seusai tampil di Monako sebagai salah satu dari tiga nomine pemain terbaik Eropa 2019, Ronaldo mencetak gol saat timnya, Juventus, menumbangkan rival terberatnya di Liga Italia dalam setengah dekade terakhir, Napoli, Minggu (1/9/2019) dini hari WIB. Penyumbang gol terbanyak Juve pada musim lalu itu mencetak gol dengan cara tidak biasa dan sulit diterka lawan, yaitu tendangan kaki kiri, yang merupakan kaki lemahnya.
”Saya bisa saja pensiun tahun depan, tapi bisa saja sampai usia 40 tahun nanti,” ujar Ronaldo dikutip Football Italia.
Sepanjang masih bermain, Ronaldo enggan setengah-setengah. Ia sangat total dalam berlatih dan menjaga kebugaran tubuhnya. Ia merupakan pemain yang paling sering tiba pertama di markas latihan Juve di Vinovo, pinggiran Turin, Italia. Saat latihan, akselerasinya bahkan kerap melewati rekan-rekannya yang jauh lebih muda darinya, seperti Paulo Dybala (25).
Ketika menjalani tes medis pada 2018, tim dokter Juve mengungkapkan, Ronaldo memiliki usia biologis atau kapasitas fisik setara pemuda 23 tahun.
Pemain yang menyabet Ballon d’Or alias penghargaan pesepak bola terbaik sejagat kelimanya dalam usia 32 tahun pada 2017 itu melakukan diet ketat untuk menjaga fisik dan kebugarannya. Sebagai contoh, ia pantang mengonsumsi daging olahan. Ketika sebagian besar pemain memilih bersantai dengan menonton televisi, Ronaldo menjadikan renang dan pilates sebagai olahraga rekreatif tambahan.
Senjata rahasia
Patrice Evra, bekas rekan setim Ronaldo saat masih di MU, sampai bergurau dan menyarankan orang-orang jangan pernah mau mengiyakan ajakan makan siang di rumah Ronaldo.
”Jangan pernah mau. Itu sama seperti sesi latihan lainnya! Saya hanya mendapatkan selada dan ayam tanpa rasa. Tidak lama, ia langsung mengajak saya bermain satu dua sentuhan bola lalu berenang. Dia mesin, tidak pernah berhenti berlatih,” kicau Evra lewat akun Twitter-nya.
Selain mobil-mobil mewah, rumah Ronaldo juga dipenuhi berbagai alat kebugaran dan kamar krioterapi. Kamar terapi beku senilai 50.000 pound sterling atau Rp 862 miliar itu merupakan salah satu senjata rahasia Ronaldo dalam menjaga tubuh atletisnya. Ruangan yang berisikan nitrogen cair, yang titik bekunya mencapai minus 210 derajat celsius itu, memungkinkan Ronaldo memulihkan kondisi otot-ototnya lebih cepat.
Roger Federer, petenis pengoleksi 20 gelar juara Grand Slam, juga memiliki ”senjata rahasia” yang memungkinkannya tetap kompetitif di turnamen-turnamen mayor pada usia 38 tahun. Finalis Wimbledon 2019 itu lolos ke perempat final AS Terbuka 2019 setelah menang tiga set langsung atas David Goffin, petenis Belgia yang sepuluh tahun lebih muda darinya, Minggu (1/9/2019) waktu AS.
Salah satu senjata rahasia Federer itu adalah membawa pelatih kebugaran pribadi di setiap turnamen yang diikutinya. Kebiasaan semacam itu sebetulnya lumrah dilakukan para pebalap F1 generasi saat ini. Namun, hal itu masih jarang dilakukan olahragawan cabang lainnya. Selain memantau nutrisi, pelatih-pelatih itu menjadi ”alarm” yang mengingatkan langsung atlet akan kondisi tubuh mereka.
”Senjata rahasia saya adalah kesabaran dan pelatih kebugaran saya, Pierre Paganini. Ia sudah bersama dengan saya selama 25 tahun. Ia paham betul kondisi tubuh saya di dalam maupun luar. Dia tahu kapan saya bugar, lelah, membutuhkan istirahat, atau harus mengejar di pertandingan. Dia adalah keunggulan terbesar yang saya miliki dibandingkan atlet-atlet lain yang kerap bergonti-ganti pelatih kebugaran,” tutur Federer kepada Express.co.uk.
Berkorban
Hendra Setiawan (35), pebulu tangkis ganda putra Indonesia yang baru saja meraih gelar juara dunia 2019 bersama Mohammad Ahsan (31), tidak memiliki alat krioterapi atau pelatih kebugaran pribadi. Namun, keduanya tetap berjaya berkat kekuatan tekad dan pikiran, dua hal yang juga dimiliki Ronaldo dan Federer. Meskipun tidak lagi muda, Hendra dan Ahsan enggan mengurangi porsi latihannya.
”Kami minta porsi dan program latihan disamakan dengan yang muda-muda. Kami tetap bekerja keras dan tidak mau kalah oleh mereka yang lebih muda. Fisik dan teknik terus kami asah,” ujar Ahsan, yang bersama Hendra kini menempati peringkat kedua dunia, di Jakarta pekan lalu.
Selain disiplin berlatih dan menjaga kebugaran, keduanya juga banyak berkorban demi performa tinggi di usianya yang tidak lagi muda.
Sandra Arief, istri Hendra, bercerita, suaminya hampir tidak pernah libur. Hendra tidak jarang berlatih kebugaran sendiri untuk setidaknya menjaga konfisi fisiknya.
”Kalau dua atau tiga hari saja tidak latihan, badannya katanya jadi kaku. Makanya, jarang berlibur. Kami sekeluarga bahkan belum pernah liburan jauh. Akhirnya, Desember ini kami mau liburan, yaitu ke Singapura,” ujar Sandra.
Greg Apelbaum, Direktur Lab Optimisasi Performa Manusia di Duke University, Amerika Serikat, mengungkapkan, mentalitas atau kekuatan pikiran memungkinkan seorang atlet meraih kesuksesan tanpa batasan usia. Dengan demikian, mereka bisa menunda pensiun yang menjadi berkah keluarga dan juga para penggemarnya.