Megan Rapinoe, Simbol Kesetaraan di Panggung Sepak Bola Wanita
Melalui sepak bola, Megan Rapinoe menyuarakan hak-hak kaum minoritas dan perlawanan atas diskriminasi di tengah menguatnya politik identitas akhir-akhir ini. Tiada negara ataupun pemimpinnya, sekalipun presidennya sendiri—Donald Trump—yang mampu membungkam suara lantang Rapinoe akan kesetaraan manusia.
Rapinoe, bintang tim nasional sepak bola wanita Amerika Serikat, mendadak menjadi sorotan dunia. Sosok kontroversial itu mengantarkan AS meraih trofi Piala Dunia Wanita FIFA untuk kali keempat, Minggu (7/7/2019), di Perancis. Selain itu, dua penghargaan lainnya, yaitu pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak, diborong wanita eksentrik yang mengemas total enam gol di Piala Dunia Putri Perancis 2019 itu.
Namun, bukan semata-mata prestasinya yang membuat Rapinoe kini dijagokan meraih penghargaan prestisius lainnya, yaitu Sportsperson of The Year 2019. Keteguhan pikiran, keberanian, dan kenekatan Rapinoe juga dinilai mengilhami banyak orang, khususnya orang-orang di AS.
Perempuan berusia 34 tahun itu kini namanya disejajarkan dengan barisan olahragawan inspiratif dunia lainnya, seperti petinju legendaris Muhammad Ali; ikon abadi NBA, Michael Jordan; dan petenis putri langganan juara Grand Slam, Serena Williams.
Sepak terjang Rapinoe di Piala Dunia Putri Perancis membuat ribuan suporter AS lantang meneriakkan, ”kesetaraan upah, kesetaraan upah!” seusai final turnamen empat tahunan itu di Lyon, Perancis. Selama ini, Rapinoe adalah anggota timnas sepak bola putri AS yang paling vokal menyuarakan kesetaraan hak dan upah atlet wanita dengan pria.
Warna ungu yang menjadi ciri khas rambutnya kini menjadi simbol perlawanan balik sejumlah kalangan di AS terkait menguatnya masalah intoleransi dan chauvinisme sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2016. Cat rambut ungu yang tidak sedikit dipakai penggemar timnas AS di Perancis dan selebritas Hollywood, seperti Zac Efron, adalah kebalikan dari gerakan ”Menjadikan Amerika Hebat Kembali”, yaitu slogan kampanye Trump pada 2016 yang disimbolkan oleh topi merah.
Slogan Anda itu mengucilkan orang-orang. Anda mengucilkan saya, orang-orang seperti saya, dan orang-orang lain berdasarkan warna (kulit).
”Slogan Anda itu mengucilkan orang-orang. Anda mengucilkan saya, orang-orang seperti saya, dan orang-orang lain berdasarkan warna (kulit). Anda menghidupkan kembali era yang tidak hebat bagi setiap orang Amerika. Sebagai pemimpin negara ini, Anda punya tanggung jawab memperhatikan setiap individu. Anda harus menjadi lebih baik untuk setiap orang,” ujar Rapinoe menyinggung Trump dalam wawancara dengan CNN, Selasa (9/7/2019) lalu.
Pembangkangannya atas pemerintahan Trump bukan sekali itu saja. Sebelum Piala Dunia Wanita Perancis 2019 digelar, Rapinoe ditanya wartawan apakah ia bersedia datang ke Gedung Putih di Washington DC jika memenangi turnamen itu serta diundang Trump. Selama ini, sudah menjadi tradisi jika tim putri AS memenangi Piala Dunia Wanita, mereka akan menghadiri jamuan khusus di Gedung Putih.
Tradisi itu dijalani Rapinoe saat memenangi Piala Dunia Wanita 2015 di Kanada. Saat itu, ia dan timnya bertatap muka dengan Presiden Barack Obama. Tahun ini, ia memilih sikap berlawanan. ”Saya dan mayoritas anggota tim memilih tidak pergi ke sana (Gedung Putih). Ada banyak orang lain yang lebih ingin saya temui untuk membicarakan hal-hal bermakna dan menghasilkan perubahan ketimbang pergi ke Gedung Putih,” tukasnya.
Melawan ketidakadilan
Sikapnya itu tidak berubah seusai meraih trofi di Perancis dan menjadikan AS sebagai tim putri paling sukses sepanjang sejarah Piala Dunia Wanita. Turnamen selama sebulan penuh di Perancis itu memang menjadi panggung ”perlawanan” Rapinoe atas ketidakadilan di dunia. Ia secara terbuka menegaskan orientasi seksualnya yang berbeda, yang membuat dia mengalami diskriminasi dan marjinalisasi.
Seperti yang ia duga, sikap blak-blakan dan tanpa komprominya tidak menyenangkan bagi sebagian warga AS, terutama para pendukung Trump. Seperti diberitakan New York Post, Rabu, posternya yang terpampang di sebuah stasiun kereta metro di pusat kota New York dirusak dan dicorat-coret dengan kalimat kasar oleh pihak tidak dikenal. Padahal, pada saat yang sama, Rapinoe dan timnya tengah diarak puluhan ribu warga New York guna merayakan keberhasilan AS merebut trofi Piala Dunia Wanita keempat.
Publik AS kerap mempertanyakan nasionalismenya. Selama di Perancis, tidak sekali pun ia terlihat melafalkan lagu kebangsaan AS ataupun menyilangkan lengannya yang bertato di dadanya seperti dilakukan oleh rekan-rekan setimnya. Pada 2016, ia bahkan melakukan tindakan tak lazim, yaitu berlutut ketika lagu ”Star Spangled Banner” berkumandang di sebuah laga. Akibatnya, ia dicaci oleh warganet karena dianggap tidak menghormati simbol AS tersebut.
Aksi solidaritas
Dalam testimoninya yang dipublikasikan di Players’ Tribune, Rapinoe menjelaskan latar belakang mengapa ia bersikap sangat kritis dan suka protes. Ia menjadi atlet wanita kulit putih pertama yang ambil bagian dalam aksi solidaritas atas tindakan represif polisi AS terhadap kaum minoritas kulit hitam yang berbuntut tewasnya pemuda 13 tahun, Tyre King, di Ohio. Gerakan itu diprakarsasi bintang rugby AS, Colin Kapernick.
”Saya tidak pernah mengalami kebrutalan polisi ataupun bagian dari keluarga yang anaknya terbaring tak bernyawa di jalanan. Saya juga paham jika Anda semua mengira saya tidak menghargai bendera dengan berlutut. Namun, itu sebetulnya saya lakukan justru karena penghargaan mendalam atas bendera, simbol kebebasan di negeri ini. Saya berlutut karena tidak sanggup berdiri, membiarkan penindasan atas warga sendiri. Banyak nyawa di Amerika yang kini terenggut karena kekerasan tidak masuk akal,” tulisnya di Players’ Tribune.
Orang-orang seperti ini berjuang setiap hari hanya untuk bertahan hidup dan mencoba bergembira sebagai dirinya sendiri, bukan yang lainnya.
Rapinoe mendambakan dunia, khususnya AS, yang tidak tersekat-sekat oleh perbedaan asal-usul etnik, ras, jender, ataupun orientasi seksual seseorang. Keberpihakannya terhadap kaum yang termarjinalkan kerap ia perlihatkan dengan menghadiri dan mendukung pendanaan sepak bola bagi para gelandangan dan kaum marjinal lainnya. ”Orang-orang seperti ini berjuang setiap hari hanya untuk bertahan hidup dan mencoba bergembira sebagai dirinya sendiri, bukan yang lainnya,” ujarnya.
Sepak bola telah menyelamatkan Rapinoe dari hidup yang tragis, seperti dipenjara hingga lebih dari separuh usia seperti dialami kakak kandungnya, Brian (38). Brian, mantan pencandu narkoba yang menghuni penjara sejak usia remaja itu, adalah orang yang mengenalkan sepak bola kepada Rapinoe.
Hingga kini, salah satu kapten timnas sepak bola putri AS itu terus bermain di sayap kiri, posisi yang sangat disukai Brian ketika masih bersepak bola dan belum dipenjara. ”Saya pernah menjadi pahlawannya ketika masih kecil dulu. Ia selalu menirukan apa pun yang saya lakukan. Beruntung, itu tidak termasuk hal ini (terjerat narkoba). Namun, saat ini, tidak lagi diragukan, dia (Rapinoe) adalah pahlawan saya,” ujar Brian yang terharu ketika Rapinoe dan timnya mengangkat trofi Piala Dunia di Perancis. (AFP)
Megan Anna Rapinoe
Lahir : Redding, California, Amerika Serikat
Profesi: Pesepak bola profesional
Klub: Reign FC
Gol Timnas AS: 50 gol
Prestasi
- Juara Piala Dunia Putri FIFA (2 kali), 2015 dan 2019
- Medali Emas Olimpiade 2012
- Juara Piala Emas Putri CONCACAF, 2014 dan 2018
- Penghargaan Bola Emas Piala Dunia Putri 2019
- Penghargaan Sepatu Emas Piala Dunia Putri 2019
- Pemain Terbaik Final Piala Dunia Putri 2019