Menakar Piala Dunia di Indonesia
Sebagai negara besar, Indonesia harus punya visi jangka panjang dan mimpi besar, seperti bermimpi menggelar Piala Dunia suatu hari nanti. Hanya saja, seperti dikatakan Romario, Piala Dunia sebaiknya digelar ketika urusan sepak bola tidak lagi mengalahkan hal-hal yang lebih penting seperti, urusan perut, ekonomi, dan kesehatan di sebuah negara.
”Dari sekian banyak hal tidak penting, sepak bola sejauh ini adalah yang terpenting”—Paus Yohanes Paulus II.
Sepak bola memang tidak pernah penting. Itu bukanlah perkara hajat hidup orang banyak, bukan pula agama yang memengaruhi cara hidup dan bertindak para penganutnya. Namun, pada satu masa, sepak bola menjadi obyek supra, di atas segalanya. Orang-orang sejenak melupakan urusan ekonomi, politik, demi pertunjukan di lapangan hijau.
Masa-masa istimewa itu tidak lain adalah Piala Dunia FIFA. Badan sepak bola dunia mencatat, setidaknya 3,5 miliar orang di planet ini menyaksikan laga-laga Piala Dunia Rusia 2018 yang berlangsung tepat setahun silam. Sebanyak 1,12 miliar pasang mata bahkan tertuju hanya di satu laga, yaitu antara Perancis dan Kroasia, pada final Piala Dunia edisi ke-21 itu.
Tidak ada satu urusan pun di dunia yang mampu menyita perhatian hampir separuh populasi manusia sejagat selain Piala Dunia. Demam sepak bola menyebar di mana-mana, tidak terkecuali di Indonesia. Para politikus mengesampingkan perbedaan dan mendadak menjadi ahli bola, memprediksi skor Perancis versus Kroasia. Tidak heran, Didier Drogba, mantan pemain timnas Pantai Gading, menyebut Piala Dunia sebagai momen magis yang menyatukan insan manusia.
Maka itu, janganlah heran topik Piala Dunia turut diangkat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bangkok yang turut dihadiri Presiden RI Joko Widodo, pekan lalu. Ketua ASEAN yang juga Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha menyatakan bahwa 10 negara di kawasan ASEAN berharap menggelar Piala Dunia pada 2034.
Tak lama berselang, giliran negara tetangga, Australia, yang mengungkapkan harapan serupa. Seolah tidak ingin ketinggalan, Federasi Sepak Bola Australia (FFA) terang-terangan mengajak Indonesia untuk ikut pencalonan sebagai tuan rumah bersama di Piala Dunia 2034. Australia, yang gagal dalam pencalonan Piala Dunia 2022 yang dimenangi Qatar, mengubah strategi dalam ambisinya menggelar hajatan olahraga paling populer sejagat itu.
Baca juga: AFF Dukung Piala Dunia di Asia Tenggara
Australia mencari kawan. Dari sekian banyak negara tetangganya, Indonesia dianggap paling potensial untuk digandeng menggelar Piala Dunia 2034. Mereka yang optimistis menilai, kesuksesan menggelar Asian Games 2018, yang diakui sebagai salah satu yang terbaik dalam sejarah, bisa menjadi modal awal Indonesia untuk naik kelas dan memberanikan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia.
Bukan rahasia jika Indonesia adalah negara penggila sepak bola. Stadion-stadion di negara ini hampir selalu penuh sesak, baik di liga nasional, laga-laga timnas, maupun saat kedatangan klub-klub ternama dunia. Di Asia, pertumbuhan populasi penggemar sepak bola di Indonesia hanya bisa ditandingi China, negara dengan penduduk terbesar sejagat, yaitu 1,4 miliar orang, yang dewasa ini juga menggemari tontonan sepak bola.
Pertanyaannya, penting dan mampukah Indonesia menggelar Piala Dunia? Mereka yang skeptis memandang, Piala Dunia adalah pemborosan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Itu dianggap sebagai harga mahal untuk sekadar meloloskan tim ”Garuda” ke panggung sepak bola dunia itu. Tuan rumah memang punya keistimewaan, otomatis lolos ke babak utama Piala Dunia tanpa melalui kualifikasi.
Setelah Piala Dunia 1938 di Perancis, Indonesia, yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, tidak pernah lagi tampil di turnamen akbar itu. Kini kita hanya menjadi langganan menonton Piala Dunia, termasuk ketika hajatan olahraga itu pertama kali digelar di Asia, yaitu Jepang-Korea Selatan, pada 2002 silam.
Menjadi tuan rumah sejatinya bukan sekadar untuk meloloskan timnas ke Piala Dunia. Melalui Piala Dunia 2002 misalnya, Jepang dan Korsel ingin menunjukkan Asia memiliki kapasitas menggelar turnamen yang selama ini menjadi obyek duopoli negara-negara Eropa dan Amerika. Lain lagi dengan Rusia. Negara itu menjadikan Piala Dunia sebagai alat untuk menaikkan citra mereka di mata publik dunia.
Respek dunia
Pada era perang dingin pada 1947-1991, Rusia—yang dahulu bernama Uni Soviet—mengundang respek dan decak kagum dunia lewat program-program ambisiusnya mencari perbatasan baru, new frontiers di jagat antariksa. Wahana Sputnik dan Yuri Gagarin, manusia pertama yang menembus antariksa, pernah menjadi ”humas” terhebat dalam upaya propaganda negara itu.
Pada era modern ini, humas baru Rusia tidak lain adalah Piala Dunia. Seperti runtuhnya Tembok Berlin yang menjadi penanda akhir Perang Dingin pada 1989, turnamen empat tahunan itu menghancurkan stigma negatif publik dunia akan Rusia. Fobia, trauma, maupun kecurigaan akan negara itu berganti kekaguman ketika para pesohor sepak bola dunia seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, berikut 3 juta fans sepak bola dari negara-negara yang hadir di Piala Dunia Rusia.
Saat itu, yang memenangi trofi Piala Dunia adalah Perancis. Namun, ”kemenangan” terbesar menjadi milik tuan rumah Rusia. Negara di mana bola basket dan hoki jauh lebih populer ketimbang sepak bola itu mendapat pengakuan dunia. FIFA maupun sejumlah pelatih timnas negara peserta menyatakan Piala Dunia 2018 sebagai yang tersukses sepanjang sejarah dalam hal pengamanan dan penyelenggaraan acara.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahkan menyanjung Rusia dan menyebut penyelenggaraan Piala Dunia 2018 fantastis. Pertemuan Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, sehari seusai final turnamen itu di Moskwa, seketika mencairkan ketegangan politik di antara kedua negara berikut dengan negara-negara Eropa barat lainnya menyusul serentetan masalah aneksasi Rusia atas Krimea, isu peretasan pemilu presiden di AS, dan dugaan upaya pembunuhan agen Rusia di Inggris.
Baca juga: Berbekal Filosofi Filanesia, Indonesia Diharapkan Tembus Piala Dunia
Di sisi lain, Piala Dunia Rusia telah membuka dan menghidupkan kawasan-kawasan yang dulu terisolasi dan nyaris tidak dikenal dunia, seperti Samara dan Kaliningrad. Menurut pihak penyelenggara, dampak multiplier ekonomi dari Piala Dunia itu diperkirakan dapat mencapai 30,8 miliar dollar AS atau Rp 435 triliun hingga 2023. Namun, sejauh ini, belum terlihat dampak signifikan dari ”gula-gula” ekonomi Piala Dunia itu selain tumbuhnya pariwisata.
Mengacu Studi Sberbank, bank BUMN milik Rusia, Maret 2019, hanya terjadi kenaikan sedikit turis asing di Rusia pasca-Piala Dunia 2018. Sekitar 10 persen fans sepak bola asing yang datang ke Piala Dunia 2018 memilih kembali ke negara itu untuk berwisata. Peningkatan itu setara 9,9 miliar rubel atau setara Rp 2,2 triliun.
Di luar itu, hanya segelintir kalangan, yaitu mayoritas adalah fans dan klub sepak bola, yang menikmati warisan stadion megah eks Piala Dunia seperti Arena Samara dan Arena Rostov. Sebagian dari stadion itu bahkan terus disubsidi Pemerintah Federal Rusia karena pengelola lokal tidak lagi sanggup membiayai perawatannya yang mahal.
Padahal, Pemerintah Rusia telah mengeluarkan dana 15 miliar dollar AS atau Rp 212 triliun untuk hajatan Piala Dunia 2018. Contoh lebih buruk dialami Brasil. Jangankan juara, negara kiblat sepak bola dunia itu terjerembab ke resesi ekonomi, tidak lama seusai Piala Dunia 2014 berakhir. Warisan-warisan Piala Dunia 2014 berikut Olimpiade 2016, seperti stadion, arena pertandingan, dan wisma atlet di Rio Janeiro merana dan menjadi ”kota mati” akibat lesunya ekonomi negara itu hingga kini.
Tidak seindah dibayangkan
Situasi pasca-Piala Dunia memang tidaklah seindah yang dibayangkan dan dijanjikan oleh penyelenggara, dalam hal ini FIFA. Forum Ekonomi Dunia dalam kajiannya Juni 2018 mencatat, biaya untuk menggelar Piala Dunia cenderung jauh lebih besar ketimbang manfaat ekonomi yang didapatkan negara-negara penyelenggara. Infrastruktur sepak bola, yang dapat memenuhi standar FIFA, dikenal luar biasa mahal. Satu stadion baru, seperti di Rostov, Rusia, menghabiskan dana 320 juta dollar AS atau Rp 4,5 triliun. Lalu, bagaimana jika harus menyediakan 12 stadion seperti di Piala Dunia 2018?
Belum lagi anggaran untuk tetek bengek pendukung, seperti sarana latihan memadai, transportasi massal yang terintegrasi ke setiap stadion, akomodasi, dan pengamanan jutaan fans. Biaya itu bakal kian membengkak, bahkan hingga dua kali lipatnya pada masa mendatang mengingat inflasi dan bertambahnya peserta Piala Dunia, yaitu dari 32 menjadi 48 tim mulai Piala Dunia 2026.
Tak heran, hanya negara-negara maju dan berkecukupan seperti Qatar, Kanada, dan Amerika Serikat yang dipastikan siap menjadi tuan rumah edisi-edisi berikutnya, yaitu mulai 2022 hingga 2026g. Kanada, AS, dan Meksiko bergabung menggelar Piala Dunia edisi 48 tim pertama pada 2026. Setelah edisi itu, Piala Dunia kemungkinan bakal digelar lagi di dua atau maksimal tiga negara berbeda bersamaan.
Hanya China yang agaknya bakal menawarkan diri sebagai tuan rumah tunggal, yaitu pada 2030 atau 2034. Bukanlah rahasia bahwa China sangatlah berambisi menggelar Piala Dunia pertamanya. Negara yang diprediksi menjadi penguasa ekonomi terbesar di dunia pada 2020 itu memiliki kapasitas dan sumber daya yang cukup untuk menggelar Piala Dunia. Stadion-stadion sepak bola megah kini menjamur di kota-kota besar di China.
Dikutip dari AFP, Juni 2019, Presiden FIFA Gianni Infantino bakal menyambut baik keinginan China jika jadi mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2030. Xi Jinping, Presiden China, belum memutuskan apakah akan mengejar Piala Dunia 2030 atau 2034. Jika China diloloskan sebagai tuan rumah 2030, apalagi 2034, peluang negara-negara lainnya, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia, bakal tertutup untuk menggelar Piala Dunia.
FIFA nyaris tidak mungkin mengizinkan Piala Dunia digelar beruntun di benua yang sama. FIFA juga kemungkinan bakal menolak hajatan itu digelar di lebih tiga negara berbeda, apalagi hingga 10 negara seperti jumlah anggota ASEAN saat ini. Piala Dunia 2034 agaknya terlalu cepat bagi ASEAN, termasuk Indonesia. Apalagi Pemerintah RI kini tengah mengejar penyelenggaraan Olimpiade 2032.
Bagi Indonesia, dengan sejumlah efisiensi, Olimpiade 2032 lebih feasible ketimbang Piala Dunia 2034. Manfaat dan dampak dari pekan olahraga akbar itu pun juga tidak kalah dari Piala Dunia. Meskipun demikian, itu bukan berarti Indonesia tidak punya peluang dan harus berhenti bermimpi menggelar Piala Dunia suatu hari nanti. Negara besar adalah negara yang punya visi jangka panjang dan mimpi besar.
Hanya saja, seperti pernah dikatakan Romario—legenda sepak bola Brasil—Piala Dunia sebaiknya digelar ketika urusan sepak bola tidak lagi mengalahkan hal-hal yang lebih penting, seperti urusan perut, ekonomi, dan kesehatan, di sebuah negara.