Wujud nyata sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, kerap kali tampak dalam olahraga, ketika tim nasional Indonesia, pada cabang apa pun, berlaga. Tak terkecuali bulu tangkis, yang sejak lama mengharumkan Indonesia di kancah dunia. Di PB Djarum, semua berawal dari semangat kekeluargaan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Wujud nyata sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, kerap tampak dalam olahraga, ketika para atlet nasional Indonesia berlaga. Tak terkecuali pada cabang bulu tangkis, yang sejak lama mengharumkan Indonesia di kancah dunia. Di PB Djarum, semua berawal dari semangat kekeluargaan.
Riuh rendah terdengar dari lantai dua Wisma Ploso atau wisma karyawan PT Djarum di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, siang itu, Minggu (28/4/2019). Suara itu bersumber dari perbincangan para mantan bintang bulu tangkis jebolan PB Djarum yang tengah reuni pada peringatan HUT ke-50 klub itu.
Nama-nama seperti Christian Hadinata, Fung Permadi, Hastomo Arbi, Alan Budikusuma, Hariyanto Arbi, Minarti Timur, hingga Liliyana Natsir ada di sana. Termasuk Tontowi Ahmad yang baru saja ditinggal pensiun oleh Liliyana, pasangannya pada nomor ganda campuran.
”Ini semacam nostalgia. Temu kangen dengan teman-teman seperjuangan, baik yang lebih senior maupun di bawah (yunior). Kalau enggak ada acara ini, kami enggak bisa kumpul karena kesibukan,” ujar Alan. Tentu saja, Alan hadir bersama istrinya, Susy Susanti, atlet yang dibesarkan PB Jaya Raya, tetapi sering disebut sebagai menantu PB Djarum.
Menurut Alan, fasilitas yang disediakan PB Djarum bagi atletnya semakin hari semakin baik. Adapun hal yang tak berubah sejak dulu hingga kini ialah nilai kekeluargaan. Di PB Djarum, apa pun latar belakangnya, semua atlet bersatu dan saling mendukung satu sama lain, termasuk hingga mereka gantung raket.
Siang itu hendak dilaksanakan peluncuran empat buku. Keempat buku itu adalah Butet Legenda Sejati karya anggota Dewan Penasihat PBSI, Hamid Awaludin; Jejak Langkah Owi-Butet dan Kiprah Ahsan-Hendra karya wartawan senior Daryadi; juga Setengah Abad PB Djarum, Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia karya tim penulis Historia.id.
Piala Thomas 1998
Malam harinya dilaksanakan puncak peringatan HUT Ke-50 PB Djarum di GOR Jati, yang antara lain berisi bincang-bincang tentang sejumlah hal terkait perjalanan 50 tahun. Termasuk cerita heroik nan mengharukan sejumlah mantan atlet Djarum yang tergabung dalam tim Piala Thomas 1998.
Pada Mei 1998, tim Piala Thomas dan Uber Indonesia tampil di Hong Kong dengan penuh kekhawatiran. Betapa tidak, suhu politik di Indonesia, terutama Jakarta, tengah bergejolak. Isu perbedaan suku, agama, dan ras mengemuka dan membuat khawatir sejumlah anggota tim Indonesia yang berada di Hong Kong.
Pemain tunggal putra Indonesia saat itu, Hendrawan, menceritakan, tim ada pada situasi yang berat. Selain turnamen, mereka juga memikirkan keluarga di Indonesia. ”Kami tak pernah bayangkan situasi politik berubah dengan cepat. Kondisi fisik dan mental tak mendukung untuk juara,” katanya.
Para pemain, yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis, sulit untuk beristirahat. Di hotel, televisi menyala 24 jam untuk memantau situasi terbaru di Tanah Air. Namun, dengan dukungan dan keyakinan yang diberikan semua anggota tim, termasuk manajer, mereka tetap teguh, bermain sepenuh hati untuk Indonesia.
Menurut Hendrawan, tekad lebih untuk mengharumkan Indonesia yang tengah terpuruk di mata dunia menjadi motivasi para pemain. ”Mungkin, dengan juara dan mempertahankan Piala Thomas, bisa menjadi sedikit obat bagi bangsa Indonesia. Kita harus bersatu tanpa memandang perbedaan,” ujarnya.
Di tengah keterpurukan bangsa saat itu, pasukan Piala Thomas akhirnya berhasil juara dengan mengalahkan Malaysia, 3-2, di final. Gelar itu menjadi yang ke-11 bagi Indonesia sepanjang sejarah Piala Thomas, yang juga merupakan gelar ketiga secara beruntun pada ajang dua tahunan tersebut.
Sigit menuturkan, salah satu kunci kemenangan ialah para pemain saling dukung satu sama lain. ”Semua adalah satu, Indonesia. Indonesia saat itu sedang genting menambah motivasi kami. Saat itu, saya sangat ingin mengibarkan Merah Putih. Ingin berikan yang terbaik bagi Indonesia,” tuturnya.
Senada dengan kedua rekannya, Hariyanto mengatakan, semangat tim berlipat ganda demi nama Indonesia. ”Semangat itu ada di bulu tangkis. Juara apa pun, baik yang kaya miskin atau siapa pun, tetap satu Indonesia. Kita hidup berbeda-beda, tetapi tetap satu. Kami ingin mempersembahkan yang terbaik,” ujarnya.
Kala itu, manajer tim Agus Wirahadikusumah (alm) mengatakan, keberhasilan tim Piala Thomas Indonesia merupakan obat penawar bagi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi masa-masa sulit. Proses itu bisa menjadi contoh bahwa persatuan dari semua suku dan agama apa pun merupakan kekuatan.
”Jangan mengotak-ngotakkan bangsa dengan batasan suku dan agama,” kata Agus Wirahadikusumah kepada wartawan Kompas, Brigitta Isworo (Kompas, 25 Mei 1998).
Torehan bersejarah tim Piala Thomas kala itu akan selalu menjadi salah satu momen tak terlupakan bagi dunia bulu tangkis Indonesia. Hingga kini, nyatanya bulu tangkis masih mempersatukan bangsa. Olahraga itu bisa dinikmati siapa saja, apa pun latarnya. Dukungan bagi tim nasional pun tak pernah berhenti mengalir.
Hanya untuk Indonesia
Semangat mempersatukan bangsa itu pula yang terus dipegang PB Djarum dalam mengembangkan olahraga itu. Dalam buku Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia, Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation Yoppy Rosimin menuturkan, tak ada keuntungan ekonomi bagi PT Djarum dalam membina klub PB Djarum.
Namun, upaya untuk terus mencetak atlet berprestasi terus dilakukan. ”Kenapa dilanjutkan terus? Kami ingin bulu tangkis menjadi pemersatu bangsa. Kalau kita nonton di Istora, kita siapa, sebelah kita siapa, ras apa, agama mana, enggak ada yang nanya. Yang dilihat di lapangan adalah Indonesia. Itu nilainya jauh di atas finansial,” kata Yoppy.
Masih dalam buku yang sama, pendiri PB Djarum, Budi Hartono, mengatakan, salah satu visi PB Djarum ialah ikut mempersatukan Indonesia melalui bulu tangkis. ”Ada sesuatu yang bisa kita banggakan di tingkat dunia. Itu saja. Agar ada kebanggaan di nasional,” ujar Budi.
Hendrawan menilai, apa yang terjadi pada tim Indonesia di Piala Thomas 1998 dapat dijadikan pelajaran. Terlebih, di era pesatnya perkembangan teknologi seperti saat ini, semakin banyak informasi yang beredar di ruang-ruang publik, seperti media sosial. Hal tersebut rentan memecah belah.
”Saya ingin menyampaikan pesan terkait kondisi bangsa sekarang ini, dengan situasi politik Indonesia yang seperti ini, kita masih ingat bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu berbeda-beda, tetapi tetap satu. Ini penting, meskipun saat ini kita tahu, mudah diucapkan, tetapi dilaksanakannya tak mudah,” katanya.
Di tengah situasi dan kondisi yang dipenuhi hiruk-pikuk perpolitikan, olahraga, termasuk bulu tangkis, bisa menjadi penawar. Karena sejak lama, bulu tangkis mempersatukan bangsa.