Tiga Puluhan, Usia Emas Baru Tenis Putra
Usia hanyalah angka. Itu berlaku untuk persaingan di arena tenis putra profesional saat ini. Usia 30-an menjadi usia emas baru dalam persaingan papan atas.
Novak Djokovic (31) meraih gelar juara Grand Slam untuk ke-15 kalinya ketika meraih trofi juara Australia Terbuka, 14-27 Januari, di Melbourne Park. Djokovic pun tinggal mengejar dua gelar untuk menyamai rivalnya, Rafael Nadal (32), yang telah mengumpulkan 17 gelar Grand Slam. Dengan Roger Federer (37), sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, Djokovic berselisih lima gelar.
Kembali pada performa terbaiknya setelah pulih dari cedera siku kanan, Djokovic menjuarai tiga Grand Slam terakhir, Wimbledon dan AS Terbuka 2018, serta Australia Terbuka 2019. Performa sempurna pada semifinal dan final Australia Terbuka—Djokovic hanya membuat 15 unforced error pada dua laga terakhirnya—membuatnya berpeluang menambah gelar Grand Slam lebih banyak.
Tak hanya menguasai lapangan keras, seperti jenis lapangan di Autralia dan AS Terbuka, dan lapangan rumput (Wimbledon), Djokovic juga piawai bermain di lapangan tanah liat.
Tak hanya menguasai lapangan keras, seperti jenis lapangan di Autralia dan AS Terbuka, dan lapangan rumput (Wimbledon), Djokovic juga piawai bermain di lapangan tanah liat. Dalam tujuh keikutsertaan terakhir di Perancis Terbuka, empat kali dia tampil di final, salah satunya menghasilkan gelar pada 2016.
Dengan kapasitas itulah, Djokovic bisa saja menyapu bersih semua (empat) gelar Grand Slam pada musim 2019. Jika itu terjadi, dia akan menyamai prestasi legenda tenis Australia, Rod Laver. Laver dua kali menjuarai semua Grand Slam dalam satu musim yang sama pada 1962 dan 1969.
Djokovic juga pernah menjuarai empat Grand Slam beruntun meski bukan dalam satu musim, yaitu ketika menjadi yang terbaik pada Wimbledon dan AS Terbuka 2015, serta Australia dan Perancis Terbuka 2016.
Seandainya petenis Serbia itu bisa mendominasi semua Grand Slam 2019, dia pun akan menyamai Don Budge (AS) yang menjuarai enam Grand Slam beruntun, sejak Wimbledon 1937 hingga AS Terbuka 1938.
“Saya sangat termotivasi untuk melakukan itu, menjuarai semua Grand Slam pada tahun ini,” kata Djokovic dalam sesi foto di Melbourne, Senin (28/1/2019), sehari setelah mengalahkan Nadal dalam final Australia Terbuka.
Trofi Norman Brooke Challenge, trofi juara tunggal putra Australia Terbuka, yang dibawa pulang Djokovic pada tahun ini makin mengukuhkan dominasi “Big Three” dalam turnamen tenis berlevel tertinggi. Big Three, yaitu Federer, Nadal, dan Djokovic menjuarai 52 dari 65 (80 persen) Grand Slam terakhir.
Hingga saat ini, belum ada petenis kelahiran era 1990-an yang berhasil menjuarai Grand Slam. Dua debutan dalam Final ATP 2018 di London, Inggris, bahkan, berusia di atas 30 tahun. Mereka adalah John Isner (33) dan Kevin Anderson (32).
Final ATP adalah turnamen akhir musim yang hanya diikuti delapan petenis terbaik berdasarkan daftar peringkat pada musim yang bersangkutan. Poin dihitung dari turnamen-turnamen dalam kalender ATP.
Federer, Nadal, dan Djokovic pun selalu menjadi bagian dari tiga posisi teratas daftar peringkat dunia akhir tahun pada 15 musim terakhir. Tujuh kali di antaranya, mereka menguasai tiga peringkat teratas dengan posisi bergantian.
Trio itu menempati peringkat tiga teratas pada 2007 untuk pertama kalinya, lalu bertahan hingga empat tahun berikutnya. Mereka juga menjadi tiga teratas pada 2014, bahkan pada 2018, selang 11 tahun setelah menjadi tiga besar dunia untuk pertama kalinya.
“Pada 2008, saya tak pernah berpikir bisa menulis persaingan Federer dan Nadal dalam cara yang sama pada sepuluh tahun kemudian,” kata Jon Wertheim, penulis Strokes of Genius, buku yang juga mengilhami pembuatan filmnya.
Strokes of Genius bercerita tentang persaingan Federer dan Nadal dalam final Wimbledon 2008. Itu menjadi persaingan mereka dalam final Wimbledon untuk ketiga kalinya secara beruntun. Pada 2006 dan 2007, Federer mengalahkan Nadal.
Final Wimbledon 2008 dimenangi Nadal dengan skor 6-4, 6-4, 6-7 (5), 6-7 (8), 9-7. Laga yang menghasilkan gelar Grand Slam pertama Nadal di luar Perancis Terbuka itu disebut-sebut sebagai pertandingan tenis terbaik sepanjang sejarah. Tak heran, pertandingan yang berlangsung 4 jam 48 menit dan dua kali terhenti karena hujan itu dibuat menjadi buku dan film.
“Saya kira, itu menjadi kulminasi dari persaingan Federer dan Nadal. Federer telah menjuarai Wimbledon pada lima musim beruntun sebelumnya. Dia dan Nadal juga menjadi dua petenis peringkat teratas dunia selama hampir tiga tahun. Artinya, sebelum datang ke Wimbledon 2008, mereka telah menguasai tenis hampir tiga tahun terakhir,” kata Wertheim dalam majalah Tennis edisi Januari-Februari 2019.
Akan tetapi, final Wimbledon 2008 ternyata hanya menjadi salah satu dari puncak perjalanan Federer dan Nadal dalam menapaki gunung yang lebih tinggi dengan jarak lebih panjang. Mereka pun dinilai sebagai dua atlet yang telah menciptakan rivalitas terbaik dalam dunia olahraga dengan usia tertua.
Khusus di arena tenis, persaingan Bjorn Borg dan John McEnroe mencapai finis pada pertemuan terakhir mereka di final AS Terbuka 1981. Saat itu, Borg berusia 25 tahun, sementara McEnroe 22 tahun. Rivalitas lainnya, Pete Sampras dan Andre Agassi, berakhir pada final AS Terbuka 2002 saat Sampras berusia 31 tahun dan Agassi 32 tahun.
Adapun Federer dan Nadal, yang masih aktif hingga saat ini, terakhir kali bertemu pada Final Shanghai Masters 2017. Itu ketika Federer berusia 36 tahun dan Nadal 31 tahun. Ketika Federer menyatakan belum berniat pensiun, meski akan berusia 38 tahun pada 8 Agustus 2019, persaingan dengan Nadal, yang melahirkan sebutan “Fedal” dimungkinkan terjadi lagi.
Djokovic dan Nadal juga bisa menambah persaingan mereka meski telah menciptakan jumlah pertemuan terbanyak di antara petenis-petenis yang aktif saat ini. Mereka telah bertemu 53 kali, 28 di antaranya dimenangi Djokovic termasuk dalam final Australia Terbuka 2019.
Jika melihat daftar gelar juara tunggal putra Grand Slam sejak 2017, selebrasi persaingan terbaik seperti dalam Strokes of Genius nyatanya telah terulang. Djokovic, yang “menghilang” pada pertengahan 2017 hingga 2018, seperti terlahir kembali. Setelah menempati peringkat ke-22 pada Mei 2018, dia meroket ke posisi puncak dunia enam bulan kemudian.
“Dulu, saat petenis memasuki usia 30-an, karier mereka menurun. Tetapi, Federer, Nadal, dan Djokovic telah mengubah ekspektasi. Kita tak bisa memastikan hingga usia berapa mereka bisa mempertahankan permainan terbaik,” kata Wertheim.
Dulu, saat petenis memasuki usia 30-an, karier mereka menurun. Tetapi, Federer, Nadal, dan Djokovic telah mengubah ekspektasi.
Pertanyaan pun muncul. Apakah bertambah usia berarti lebih baik bagi petenis putra? Kemanakah pada calon juara berikutnya?
Tertinggal
Nama-nama petenis muda yang bisa memberi perlawanan, bahkan, mengalahkan Federer, Nadal, dan Djokovic sebenarnya telah bermunculan. Asosiasi Tenis Profesional (ATP) membuat program bernama ATP NextGen sejak 2017. Status itu berhak didapat petenis-petenis berusia 21 tahun ke bawah (U-21) dalam peringkat 200 besar dunia. ATP bahkan membuat Final ATP NextGen pada akhir 2017 bagi delapan petenis U-21 terbaik.
Alexander Zverev (21), Karen Khachanov (22), Borna Coric (22), Stefanos Tsitsipas (20) adalah beberapa petenis produk NextGen. Zverev, bahkan, telah menembus peringkat ketiga dunia.
Sebelumnya, Milos Raonic (28), Grigor Dimitrov (27), Dominic Thiem (25), dan Nick Kyrgios (23) pernah disebut-sebut sebagai penerus Federer. Namun, mereka kesulitan meningkatkan penampilan meski pernah mendekati podium juara Grand Slam.
Raonic pernah menembus final Wimbledon 2016, tetapi sejak itu hasil terbaiknya hanya babak keempat AS Terbuka 2018. Dimitrov, yang pernah mendapat julukan “Baby Federer” karena gaya mainnya mirip Federer, baru bisa menembus semifinal Wimbledon 2014 dan Australia Terbuka 2017.
Thiem hanya bisa tampil baik di lapangan tanah liat, yaitu ketika menembus final Perancis Terbuka 2018. Adapun Kyrgios, yang lebih sering disorot karena minimnya motivasi saat bertanding, baru bisa tampil pada perempat final Wimbledon 2014 dan Australia Terbuka 2015.
Hasil terbaik Raonic dan kawan-kawan itu jauh di bawah Federer, Nadal, dan Djokovic kala menjuarai Grand Slam untuk pertama kalinya. Nadal menjuarai Perancis Terbuka 2005 saat berusia 19 tahun adapun Djokovic mendapat gelar pertama Grand Slam dari Australia Terbuka 2008 (21 tahun).
Federer sebenarnya kalah muda dibandingkan dua rivalnya saat menjuarai Grand Slam untuk pertama kalinya, pada Wimbledon 2003. Namun, dengan usia 22 tahun ketika itu, Federer lebih muda dibandingkan Raonic, Dimitrov, Thiem, dan Kyrgios yang masih nihil juara Grand Slam. Para legenda sebelumnya, seperti Borg, McEnroe, Mats Wilander, Boris Becker, dan Sampras juga meraih gelar Grand Slam pertama sebelum berusia 21 tahun.
Sedangkan saat ini, petenis-petenis pada sekitar usia 21 tahun masih kesulitan untuk menjuarai turnamen mayor. Zverev dan kawan-kawan masih kesulitan untuk menjadi yang terbaik dalam persaingan tenis level elite dengan tuntutan kapabilitas yang semakin kompleks.
Petenis-petenis NextGen memiliki keuntungan dalam kebugaran fisik dengan usia yang muda. Tetapi, itu belum diimbangi dengan kematangan teknis dan mental yang dimiliki generasi tua. Federer dan Nadal memiliki motivasi dan kecintaan pada tenis yang tak pernah redup.
Djokovic pernah kehilangan itu setelah menjuarai Perancis Terbuka 2016, yang membuatnya menjadi salah satu petenis dengan gelar juara dari empat Grand Slam. Tetapi, Djokovic kembali menemukan gairahnya untuk berkompetisi setelah memanggil pelatih lamanya, Marian Vajda. Vajda, yang melatih Djokovic sejak 2006, diberhentikan pada 2017 ketika petenis Serbia itu memilih Agassi dan Radek Stepanek. Namun, kedekatan dengan Vajda yang telah dinilai seperti keluarga, membuat Djokovic nyaman berkumpul kembali dengan tim pelatih lama.
Persaingan Federer, Nadal, dan Djokovic juga melahirkan keuntungan bagi mereka. Federer adalah petenis yang disebut-sebut paling berbakat dalam sejarah tenis. Penampilannya di lapangan bagai seni yang indah, hingga dia pun dijuluki maestro.
Nadal adalah kompetitor dengan semangat bersaing paling tinggi. Ini membuat Federer, yang memiliki talenta super, harus menggali kemampuannya lebih dalam setiap berhadapan dengan Nadal. Federer 13 kali kalah dari 38 pertemuan dengan Nadal.
Djokovic dinilai sebagai petenis dengan kemampuan teknik dan atletik mendekati sempurna. Dia pun harus memaksimalkan kemampuannya untuk mengejar prestasi Nadal dan Federer.
Dengan kata lain, standar tinggi yang dimiliki mereka membuat Federer, Nadal, dan Djokovic saling mendorong untuk menjadi lebih baik dari yang lain.
“Situasi saat ini sangat buruk untuk tenis. Dalam era saya, jika Anda berusia 17 tahun dan belum menjuarai turnamen ATP, karier Anda selesai. Sekarang, jika ada petenis juara dalam usia 25 tahun, dia menjadi bagian dari NextGen. Nadal dan Federer masih berada di puncak karena petenis-petenis muda cukup buruk,” kata Marat Safin dalam media Spanyol, Marca.
Safin, menjuarai Grand Slam untuk pertama kalinya, pada AS Terbuka 2000, dalam usia 20 tahun. Pada tahun yang sama, mantan petenis Rusia itu juga berada di puncak peringkat dunia. Dia menambah gelar ketika menjuarai Australia Terbuka 2005.
Sementara Safin berkomentar sarkastis, Federer masih “memberi maaf” pada para petenis NextGen. Menurutnya, tekanan yang mereka rasakan sangat besar ketika publik menantikan lahirnya juara baru Grand Slam.
“Tidak semua bisa seperti Michael Chang atau Boris Becker. Beberapa petenis bisa dengan cepat berprestasi, yang lain butuh waktu lebih lama,” kata Federer menyebut dua petenis yang menjuarai Grand Slam pada usia muda. Chang menjuarai Perancis Terbuka 1989 pada usia 17 tahun, sementara Becker juara Wimbledon 1985 pada usia 18 tahun.
Pendapat lain dikemukakan Nadal menjelang akhir musim 2018. “Ada dua pilihan untuk menjelaskan fakta dominasi petenis hingga bertahun-tahun, yaitu kami adalah petenis spesial atau petenis generasi baru yang tidak terlalu spesial. Saya tidak tahu mana yang benar,” katanya.
Apapun alasannya dan dengan munculnya pendapat tentang persaingan tenis putra yang membosankan, karena hanya dikuasai itu-itu saja, generasi “Big Three” telah menjadi bagian dari sejarah tenis. Mari kita nikmati selama persaingan menarik itu masih ada.