MANCHESTER, JUMAT Manajer Manchester City Pep Guardiola pernah berkata, lebih baik pensiun daripada kehilangan ideologi penguasaan bola. Realitasnya, Guardiola harus menggadaikan idealismenya itu untuk menumbangkan rival terberatnya, Liverpool FC, 2-1, pada Liga Inggris, Jumat (4/1/2019) dini hari WIB.
Bagi Guardiola, laga melawan pemuncak klasemen Liga Inggris itu bak partai final. Apabila kalah, lawannya semakin tidak terkejar di puncak. Tidak heran, Sky Sports mengibaratkan duel itu sebagai perebutan juara dunia tinju di kelas berat. ”Pemegang sabuk juara (City) melawan penantang yang hebat (Liverpool),” tulis media itu.
Guardiola bak Evander Holyfield di tinju kelas berat. Manajer kaya pengalaman itu harus menghadapi rival abadinya, Juergen Klopp, yang agresif dan meledak-ledak bersama timnya, Liverpool FC.
Seperti halnya Holyfield saat menaklukkan Tyson tahun 1996, Guardiola membuat kejutan di Stadion Etihad, kemarin. Entah terlupa atau sengaja, Guardiola tidak membawa juego de posicion (paham penguasaan bola) di stadion tersebut.
Padahal, paham itu setia menemaninya ke mana pun ia pergi, baik ketika masih menangani Barcelona maupun Bayern Muenchen. Namun, pada laga kontra ”The Reds”, juego de posicion sungguh menghilang seiring tidak tampaknya bek sayap nan lincah, Kyle Walker, di daftar susunan pemain utama.
Padahal, Walker yang segar bugar menjadi salah satu simbol dari permainan indah yang diperagakan City selama ini, khususnya musim lalu. Bukan tanpa alasan Guardiola mendatangkan Walker ke City sebagai bek termahal di dunia pada musim panas 2017.
Walker bukan bek biasa. Ia bek dengan rasa penyerang sayap karena cepat dan memiliki karakter ofensif yang sangat disukai Guardiola. Musim lalu, ia menyumbang enam asis pada Liga Inggris untuk City.
Guardiola lebih memilih menurunkan Danilo, bek yang lebih defensif. Padahal, Danilo lebih sering tampil di sayap kiri. Taktik pragmatis Guardiola pada laga itu kian terlihat dengan dimainkannya Aymeric Laporte sebagai bek sayap kiri. Padahal, Laporte sejatinya bek tengah yang statis dan kurang lincah dalam membantu serangan.
Musik cadas vs simfoni
Ada alasan besar Guardiola sengaja memakai taktik nyaris absurd itu. Ia sesungguhnya sangat takut akan The Reds asuhan Klopp. Ketakutannya itu diekspos Amazone Prime ke publik lewat film dokumenter All or Nothing yang dirilis 2018 lalu.
”Para penyerang Liverpool sangat bagus. Mereka membuat saya takut. Saya tidak bercanda. Bek-bek sayap kami tidak akan sanggup membendung lini sayap mereka,” ujar Guardiola saat berbicara dengan asistennya, Carles Planchart, di film tersebut.
Gaya sepak bola agresif bak musik cadas ala Klopp memang kerap merusak orkestrasi Guardiola. Tiada manajer lain di dunia yang paling sering mengalahkan Guardiola selain Klopp, yaitu delapan kali dari total 16 pertemuan kedua manajer. Tak heran, Klopp ibarat kryptonite atau pembunuh Guardiola.
Sepanjang 2018, City bak pecundang di mata The Reds. Mereka empat kali kalah dari lima pertemuan, dua di antaranya pada perempat final Liga Champions. City tersingkir di kompetisi itu setelah dua kali kalah, kandang dan tandang.
Karena itu, tidak aneh Guardiola memainkan Laporte dan Danilo sebagai bek sayap. Pada laga itu, kaki-kaki City memang tidak selincah biasanya saat dibela Walker. Penguasaan bola mereka pun terbilang rendah, hanya 49 persen.
City ibarat tim berbeda tanpa tarian indah. Tidak ada pula operan tiki-taka yang rumit. Untuk kali pertama, total operan bola mereka sangat rendah, hanya 593.
Padahal, musim ini, City rata-rata membuat 697 operan per laga, yang tertinggi di Liga Inggris. Sebagai perbandingan, The Reds membuat 603 operan pada laga itu.
Namun, pengorbanan Guardiola akan ideologinya itu berbuah hasil positif. Para penyerang The Reds, seperti Mohamed Salah dan Sadio Mane, mati kutu dikawal Laporte dan Danilo. Meski tidak lincah, City terlihat lebih mematikan lewat pukulan-pukulan kerasnya, dalam hal ini dua gol yang dicetak striker Sergio Aguero dan penyerap sayap Leroy Sane.
The Reds, yang sempat terbang tinggi, harus kembali membumi. Akibat kekalahan perdana Liverpool pada Liga Inggris musim ini, City kembali mendekat dengan selisih hanya empat poin. Kemenangan City itu tidak terlepas dari keberanian Guardiola keluar sejenak dari pakemnya.
Guardiola menunjukkan, dirinya tidak resisten akan perubahan. ”Guardiola agaknya mulai menyadari, dalam perburuan gelar juara, substansi atau kemenangan lebih penting ketimbang caranya atau ideologi,” tulis ESPN.
Namun, Guardiola membantah telah tampil pragmatis pada laga itu. ”Hari ini, para pemain menunjukkan betapa bagusnya mereka. Penampilan seperti ini yang harus kami tampilkan di Liga Champions. Kami banyak ditekan, tetapi kami tidak takut,” ujarnya.
Mark Ogden, jurnalis pengamat Liga Inggris menilai, kemenangan itu bisa menjadi titik balik City dalam upaya mempertahankan gelar juara Liga Inggris musim ini. Ia menilai, City lebih punya pengalaman juara ketimbang Liverpool, klub yang terakhir kali menjuarai Liga Inggris pada 1990.
”Hasilnya mungkin berbeda jika kami lima kali juara dalam 10 tahun terakhir. Kami tidak punya pengalaman itu. Namun, saya cukup senang dengan posisi kami saat ini,” ujar Klopp seusai laga itu. (Reuters/JON)