Kehadiran pemain asing di IBL menambah atmosfer persaingan dan keseruan liga. Namun, dominasi pemain asing justru menjadikan atlet lokal sebagai pelengkap di rumah sendiri.
Hingga seri ketiga IBL Pertamax 2018-2019, ada 23 pemain asing—termasuk tiga pemain pengganti—menguasai liga yang dihuni 125 pemain lokal. Para pemain asing itu telah menyumbang 51 persen lebih poin di liga. Selain itu, setiap pemain asing itu mengambil 32 dari 40 menit per pertandingan.
Kontribusi pemain asing begitu berdampak di Bank BPD DIY Bima Perkasa Jogja. Dari tujuh laga, Bima Perkasa menghasilkan 68,2 poin per gim (ppg).
Sebanyak 66 persen atau 45,5 ppg dihasilkan duet David Atkinson dan Leshaun Murphy. Sisanya, sekitar 22 ppg, disumbangkan 11 pemain lokal, antara lain Yanuar Dwi Priasmoro (6,8 ppg) dan Galank Gunawan (4,7 ppg).
Dominasi poin Atkinson dan Murphy sejalan dengan jumlah tembakan yang lebih banyak berkali-kali lipat dari pemain lain. Dalam satu laga, Atkinson menembak 25 kali dan Murphy menembak sekitar 16 kali.
Yanuar, pemain lokal dengan poin terbanyak, menembak tak lebih dari tujuh kali. Padahal, dia bermain 31 menit per gim (mpg). Azzaryan Pradhitya, yang berposisi shooting guard atau bertugas sebagai pencetak poin hanya menembak 3,5 kali per gim setiap 25,5 mpg.
Selain kontribusi poin, pemain asing mendominasi menit bermain. Di Hangtuah, Gary Jacobs Jr dan Jared Lee Scott nyaris bermain penuh 40 menit dalam tujuh laga awal musim. Hanya pada 57 detik dari 280 menit keduanya tidak bersama-sama di lapangan.
Kondisi itu membuat dua posisi di Hangtuah sudah pasti diisi Jacobs dan Scott. Sebelas pemain lokal lain harus bersaing merebut tiga posisi lainnya, dengan membagi sisa waktu bermain 120 menit.
Tak hanya pemain tim papan tengah dan bawah yang kesulitan. Pemain nasional dari tim-tim papan atas IBL pun kesulitan bersaing dengan kualitas pemain asing.
Salah satunya center muda Satria Muda Pertamina Jakarta, M Dhiya ”Yayak” Ul’Haq, yang menjalani debut di tim nasional pada November 2018. Yayak yang sedang dalam fase pengembangan kalah bersaing dengan Dior Lowhorn.
Dia hanya kebagian 5,6 mpg dan belum mencetak satu poin pun, jauh dibandingkan dengan Lowhorn yang bermain 32,23 mpg serta mencatatkan 24 ppg dan 9,8 rebound per game (rpg).
Dari 12 pemain nasional, hanya Jamarr Andre Johnson yang bermain lebih dari 30 mpg. Itu pun Jamarr dihitung sebagai pemain asing di IBL karena merupakan pemain naturalisasi. Sebelas pemain lainnya hanya mendapatkan jatah bermain rata-rata 20,3 mpg.
Hanya Stapac Jakarta yang tidak terlalu bergantung kepada pemain asing. Dalam enam laga terakhir, Stapac nyaris hanya bermain dengan satu pemain asing, yakni Savon Goodman (32 mpg). Pemain asing satunya, Kendal Yancy, hanya satu kali menjadi pemain mula dalam tiga laga dengan 9 mpg.
Goodman (18,8 ppg) dan Yancy (9 ppg) hanya menyumbang 22,9 persen dari 501 poin yang dicetak Stapac. Sisanya berasal dari pemain nasional Kaleb Ramot Gemilang (14,4 ppg) dan Abraham Damar Grahita (10,2 ppg), serta pemain lokal Widyanta Putra Tedja (11,2 ppg).
Kepercayaan kepada pemain lokal itu diberikan oleh satu-satunya pelatih asing di IBL, Giedrius ”Ghibbi” Zibenas. Pelatih asal Lituania itu percaya tidak ada pemain yang efektif bermain lebih dari 30 menit dan tidak ada kemenangan tanpa sistem kolektif.
Kehilangan misi
Setelah era Kobatama, format pemain asing di setiap tim kembali diterapkan pada IBL musim 2016, setahun setelah IBL mengambil alih operator liga dari NBL. Kehadiran pemain asing awalnya diharapkan meningkatkan persaingan liga dan kemampuan atlet lokal.
Namun, atlet lokal justru kekurangan menit bermain karena tim-tim memprioritaskan kemenangan, yang mana tidak bisa disalahkan.
”Kami memaksimalkan pemain asing untuk bertahan di persaingan liga. Karena, sebagai tim papan tengah yang tidak memiliki sponsor, akan sulit menghadapi lawan-lawan dengan kedalaman skuad yang ditopang pemain lokal berpengalaman,” kata Pelatih Hangtuah Andika ”Bedu” Saputra.
Di sisi lain, dominasi pemain asing diperkeruh dengan minimnya jumlah laga pada musim reguler IBL, 17 laga. Jumlah ini menurun dua kali lipat dari NBL (2010-2014) yang memainkan 33 laga.
Kondisi terdesaknya pemain lokal sangat disayangkan di tengah tekad percepatan prestasi atlet nasional untuk menghadapi kualifikasi Kejuaraan Asia FIBA 2021 dan Kejuaraan Dunia FIBA 2023.
Mantan atlet nasional Cokorda Raka Satrya Wibawa mengatakan, sudah saatnya IBL memperbarui regulasi dengan membatasi satu pemain asing di setiap tim. Saat ini setiap tim bisa memiliki dua pemain asing. Cara itu sudah diaplikasikan Asosiasi Bola Basket Filipina (PBA).
”Dengan dua pemain asing, pemain lokal pasti sulit berkembang. Satu pemain asing sudah cukup adil karena tetap membuat liga kompetitif, tetapi pemain lokal bisa mendapatkan waktu bermain dengan empat posisi kosong,” ucap Cokorda.
Sejatinya, tujuan akhir kehadiran liga di mana pun adalah pengembangan atlet lokal. Jika perkembangan tersendat dan lebih diperuntukkan demi hiburan ataupun industri, lantas liga ini milik siapa? (Kelvin Hianusa)