Sejumlah mantan atlet putri senior mengeluhkan pemerintah yang terkesan abai terhadap nasib para atlet berprestasi di hari tua. Dengan tidak mendapat dana pensiun, para atlet yang pada masa lalu pernah mengharumkan nama bangsa itu harus banting tulang hingga usia senja untuk menyambung hidup.
Atlet bulu tangkis yang populer pada akhir 1960-an hingga 1980-an, Tati Sumirah (60), berpendapat, apresiasi pemberian bonus yang diberikan sesaat setelah atlet meraih gelar saja tak cukup menjamin masa depan atlet. “Atlet itu kan hanya bermain paling lama 20 tahun, setelah itu kami harus putar otak sampai tua untuk bertahan hidup,” ujarnya, Senin (17/12/2018).
Usai pensiun dari dunia bulu tangkis pada 1982, Tati menerima tawaran dari salah satu penggemarnya untuk bekerja sebagai kasir di Apotek Ratu Mustika di Kebon Baru, Jakarta Selatan. Selama 25 tahun Tati menekuni pekerjaan itu sebelum akhirnya Rudy Hartono menariknya berkerja di sebuah perusahan pelumas mesin.
Sejak 2016, Tati tidak lagi bekerja karena kondisi fisiknya semakin menurun. Ia mengatakan, mengidap darah tinggi dan kedua kakinya sakit serta susah digerakkan. Hal itu membuat mobilitas Tati berkurang, dan memaksanya lebih banyak berdiam diri di rumahnya di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
“Meskipun begitu, saya sama sekali tak menyesal pernah jadi atlet,” ucap Tati yang kini masih melajang, dan tinggal bersama ibu dan seorang adiknya. Di benak perempuan itu, masih terasa betul momen bahagia dalam hidupnya saat berhasil membantu Indonesia meraih Piala Uber 1975.
Tati mengatakan, terkadang masih di kepalanya masih terngiang suara sorak penonton yang menyemangatinya saat bertanding. “Tetapi sekarang saya jarang nonton bulu tangkis, bikin sedih karena teringat waktu masih jadi atlet terkenal,” katanya.
Tati mengakui, selama menjadi atlet tak pernah memikirkan rencana hidup setelah pensiun. “Waktu itu saya terlalu fokus berlatih karena ingin bisa dengar Indonesia Raya diputar. Itu hebat lho rasanya, lagu kebangsaan itu hanya diputar ketika kepala negara datang atau atletnya meraih juara,” katanya.
Jadi pengemudi taksi
Mantan atlet silat peraih medali emas SEA Games Singapura 1983, Marina Martin Segedi (54), juga merasakan sulitnya hidup setelah pensiun sebagai atlet. Sejak tahun 1990, ia bekerja banting tulang sebagai pengemudi taksi untuk menafkahi empat anaknya.
“Saya berharap pemerintah segera menyusun rencana jangka panjang yang mencakup jaminan hari tua bagi atlet,” kata Marina. Ia tak mau anak bungsunya yang saat ini juga sedang meniti jalan menjadi atlet silat bernasib sama dengannya di hari tua nanti.
Menurut Marina, nasibnya masih terbilang beruntung karena masih kuat bekerja hingga usia menjelang senja. Banyak rekan atlet senior lain yang mengidap sakit kronis dan tak mampu bekerja. “Kasihan atlet yang sakit, enggak punya gaji pensiun dan tidak bisa bekerja,” ujarnya.
Kehidupan sulit atlet di hari tua itulah yang melatarbelakangi Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia (Perwosi) memberi penghargaan bagi 20 atlet perempuan senior berprestasi. Bertempat di Auditorium Mutiara, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mereka menerima dana apresiasi yang besarnya bekisar antara Rp 3 juta hingga Rp 10 juta.
Ketua Perwosi Tri Suswati Karnavian mengatakan, hal itu dilakukan untuk membuktikan prestasi atlet perempuan akan terus diingat. “Ini juga sebagai upaya memotivasi para perempuan lain agar tak takut mengambil jalan terjal hidup sebagai atlet,” ujarnya. (PANDU WIYOGA)