JAKARTA, KOMPAS-Kejuaraan Nasional Taekwondo Yunior 2018, bagi sebagian taekwondoin merupakan ajang untuk membuktikan persiapan yang telah dilalui berbulan-bulan. Mereka yang berprestasi maupun yang gagal, tetap bertekad lebih disiplin dalam berlatih demi impian meraih prestasi tertinggi, yaitu bertanding untuk Merah Putih.
Dalam kejuaraan yang berlangsung sejak 14 Desember hingga berakhir pada Minggu (16/12/2018), di GOR POPKI, Jakarta Timur, tim Jawa Barat keluar sebagai juara umum dengan perolehan 15 medali emas, satu perak, dan empat perunggu. Tim Jawa Tengah menyusul di urutan kedua dengan lima emas, empat perak, dan delapan perunggu. Peringkat ketiga diduduki DKI Jakarta dengan tiga emas, tiga perak, dan enam perunggu.
Pada kejurnas ini, banyak atlet yang kecewa setelah gagal meraih prestasi. Namun, tak sedikit pula para taekwondoin remaja yang pulang dengan penuh kebanggaan saat namanya diumumkan oleh penyelenggara sebagai pemenang di podium juara.
Denzel Mustamu (16), taekwondoin yunior DKI Jakarta, termasuk yang harus menunda mimpinya meraih medali setelah dikalahkan atlet Jambi, Muhamad Wijaya Hamzah (15) pada nomor kyorugi (tarung) kelas 51 kilogram. Meski kecewa, kegagalan itu tak menyurutkan semangatnya untuk kembali berlatih dan lebih disiplin mengonsumsi makanan yang tidak memengaruhi berat badannya.
"Masih banyak kesempatan untuk jadi juara. Saya sulit untuk jaga berat badan. Kemarin sebelum kejuaraan, saya paksa turunkan berat badan dan berpengaruh pada hasil hari ini," kata remaja asal Cileungsi, Bogor, itu.
Hal senada dikatakan Amelia Putri (14), atlet asal Jawa Tengah yang meraih medali emas kyorugi putri kelas 63 kg. Ia mengaku bangga dan kian termotivasi untuk terus berlatih agar dapat berprestasi di ajang PON Papua 2020.
Pelajar SMP Negeri XI Kota Semarang itu mengaku untuk meraih medali, banyak hal yang harus ia korbankan. Selain membatasi kebebasannya untuk bermain bersama teman sebaya, ia juga dituntut disiplin mengonsumsi makan yang tidak selalu ia sukai.
"Berat sekali untuk bisa jadi juara. Tetapi, karena ini pilihan, saya tidak menyerah. Saya ingin suatu saat bisa jadi atlet timnas," kata Amelia.
Sementara itu, Muhamad Wijaya Hamzah (14), menjadi satu-satunya atlet asal Jambi yang memperoleh medali, yakni perak. Ia kian termotivasi untuk terus mengharumkan daerahnya di berbagai kejuaraan.
"Ini pertama kali ikut kejurnas. Tidak pernah ada target apapun, karena tujuan saya untuk perbanyak latih tanding," kata Hamzah.
Pada final kyorugi putra kelas 51 kg, Hamzah taekwondoin Kalimantan Timur, Muhamad Naufal Najmu, 50-30. Hamzah juga bertekad untuk terus berlatih agar memikat pemandu bakat PBTI yang tengah mencari atlet pelapis untuk dilibatkan dalam pelatnas taekwondo.
Sebelumnya, pada pembukaan Kejurnas (14/12), Ketua Umum PBTI Marciano Norman menegaskan akan menjadikan kejuaraan ini, untuk melihat perkembangan pembinaan taekwondoin yunior di daerah dan menyaring atlet-atlet muda potensial agar dilibatkan dalam pelatnas.
Kehadiran atlet muda menjadi keharusan demi menjaga persaingan di dalam tim pelatnas melalui sistem promosi dan degradasi. "Penyiapan (atlet) jangka panjang melalui kejuaraan berjenjang merupakan keharusan untuk mencapai prestasi tertinggi," kata Marciano.
Pembelajaran dari Jabar
Salah satu pelatih tim Jawa Barat Imam Zaini, mengatakan, dominasi Jabar di kejurnas ini tidak terlepas dari keseriusan pengurus taekwondo di daerah dalam membina atlet muda. Pemerintah daerah juga memberi dukungan penuh melalui pemusatan latihan, beasiswa, dan bonus bagi atlet berprestasi.
"Kalau dari pembinaan, hampir semua daerah sekarang sudah sama. Tetapi penghargaan terhadap kerja keras atlet itu yang mungkin jadi pembeda," katanya.
Imam menambahkan, pembinaan berjenjang yang dilakukan di setiap daerah melahirkan atlet-atlet dengan kemampuan merata di setiap daerah di Jabar. Hal itu memudahkan Jabar untuk menyeleksi atlet-atlet terbaik.
"Kalau banyak pesaing, tidak ada atlet yang merasa nyaman. Karena kalau prestasinya menurun, pasti terdegradasi," katanya. (STEFANUS ATO)