Belum genap dua minggu saat Yogi Novia Laila Rahmadhani merayakan ulang tahunnya yang ke-16. Kamis (29/11/2018) pagi, atlet senam artistik Sekolah Khusus Ragunan itu tampak serius berlatih. Ia berjuang meraih prestasi dalam empat tahun ke depan, sebelum kariernya menurun dan perlahan hilang.
Dunia senam artistik putri berbeda dengan cabang olahraga lain. Saat 16 tahun, pesenam mulai masuk ke kategori senior. Lazimnya, pesenam mencapai puncak penampilan pada usia itu sebelum penampilannya menurun karena membesarnya pinggul dan tubuh yang semakin kaku saat berusia 20 tahun.
Artinya, Yogi hanya memiliki waktu sekitar empat tahun untuk menggapai mimpinya menjadi pesenam kawakan. Atlet yang meraih emas di ASEAN School Games 2017 ini menargetkan lolos seleksi nasional untuk tampil di SEA Games 2019 di Filipina.
”Saya ingin habis-habisan. Kalau tidak, sayang perjuangannya selama ini yang sudah sangat jauh,” kata atlet kelas II SMA asal Pati, Jawa Tengah, itu.
Garis batas senior yang sangat belia, 16 tahun, menandakan perjuangan atlet yang lebih awal. Atlet senam, termasuk Yogi, rata-rata sudah memulai latihan sejak umur 7 tahun, saat anak seumurannya masih menikmati masa bermain, juga saat mereka sendiri belu mengetahui tujuan utama latihan itu.
Bagaikan gunung es, di balik keelokan gerakan gemulai dan tegas para pesenam, terdapat pengorbanan besar pada masa yunior. Saat memulai, pesenam dilatih kelenturan.
Mereka dipaksa split. Ketika split, pelatih menekan tubuh mereka dari atas. Kaki mereka yang awalnya sejajar, mulai mengarah membentuk huruf V. Rasa sakit itu harus ditahan selama tiga menit.
Untuk melenturkan lutut, pesenam tidur telentang dan menempelkan telapak kaki ke dinding setinggi setengah meter. Saat kaki mereka membentuk sudut 150 derajat, pelatih dengan berat 50-70 kilogram menduduki lutut selama 10 menit.
”Sakitnya bukan main, itu dilakukan setiap hari. Sampai satu tahun berlatih baru mulai biasa,” kata Yogi, disambut anggukan rekannya, Muthia Nur Cahya (16).
Ketika mulai berlatih menggunakan alat, cedera menjadi santapan atlet-atlet ini. Terkadang mereka terjatuh dari balok keseimbangan setinggi satu meter dengan posisi pinggul terlebih dulu mengakibatkan bengkak. Sering pula, cedera engkel karena salah tumpu.
Meski dengan cedera seperti itu, tidak ada alasan untuk bolos latihan. Selama masih bisa jalan, mereka tetap harus berlatih sehari dua kali dari Senin sampai Sabtu. Belum lagi di SKO Ragunan, Yogi dan Muhtia masih harus masuk kelas saat siang hari.
”Nanti setelah kelas baru istirahat sebentar,” kata Muhtia yang akan menjalani ujian semester minggu depan.
Pelatih senam SKO Ragunan Wahid Wahyuni mengakui, disiplin tinggi itu merupakan resep untuk membentuk mental atlet. ”Mereka sudah harus punya mental juara sedini mungkin. Kami pun tidak boleh memanjakan, untuk kebaikan mereka juga,” katanya.
Butuh proses
Pesenam terbaik di Indonesia, Rifda Irfanaluthfi (19), juga mengalami proses pembentukan mental yang sangat panjang. Selain berlatih, Rifda juga membutuhkan jam terbang ke kejuaraan internasional untuk menjadi seperti sekarang.
Saat Kejuaraan Dunia di Glasgow 2015, Rifda menangis karena tidak kuat menahan rasa sakit cedera. ”Padahal itu cedera ringan. Namun, dia kan saat itu masih 15 tahun, jadi masih belum punya tekad besar dari dalam diri,” kata pelatih Rifda, Eva Novalina Butar-Butar, beberapa waktu lalu.
Seiring waktu dengan sejumlah kejuaraan, mental Rifda semakin kuat. Tekadnya memenangi kejuaraan berasal dari dalam diri. Atlet asal Jakarta itu mampu menahan sakit pada dua lututnya yang cedera saat tampil di final senam lantai Asian Games 2018. Hasilnya, Rifda menjadi pesenam nasional pertama yang meraih perak di ajang itu.
Sejak ada batasan umur 16 tahun untuk masuk pelatnas, waktu yang dimiliki atlet untuk mempersiapkan diri memang menjadi lebih panjang sehingga mentalnya lebih matang. Hal ini jauh berbeda daripada era 80-an, saat Eva harus tampil di Asian Games pada umur 13 tahun. (KEL)