Indonesia Perlu Segera Ciptakan Skema Pembinaan Usia Muda
Oleh
E06
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya sejumlah pemain sepak bola Asia yang bersinar di kompetisi bergengsi Eropa menunjukkan perkembangan sepak bola dunia saat ini semakin merata. Agar dapat memanfaatkan momentum itu, Indonesia ditantang menciptakan skema pembinaan usia yang terstruktur rapi dengan didukung tersedianya kompetisi dan infrastruktur yang baik.
Pelatih talenta muda internasional Tottenham Hotspur, Shaun Harris, mengatakan, arus informasi yang pesat pada zaman globalisasi memungkinkan semua anak mendapat kesempatan bermimpi untuk menjadi pemain sepak bola kelas dunia.
”Pada saat yang sama persaingan juga semakin ketat, maka hanya bibit muda yang dibina dengan benar akan tumbuh menjadi pemain sesungguhnya,” ujarnya di sela-sela latihan bersama tim sepak bola Kompas Gramedia (KG) di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Dalam sesi latihan itu, Shaun meminta semua pemain tim KG bersungguh-sungguh melakukan instruksinya. Ia tak segan-segan menegur pemain yang salah menerjemahkan instruksinya untuk mengoper ataupun menembak bola.
”Semua pemain yang ada di lapangan bertanggung jawab bermain 100 persen, tidak ada alasan meskipun mereka bukan pemain profesional,” ujar Shaun. Tim KG yang berpartisipasi dalam kegiatan itu memang bukan pemain sepak bola profesional. Mereka terdiri dari karyawan KG yang bermain sepak bola sebagai hobi.
Shaun datang ke Indonesia bersama dengan mantan pemain Tottenham yang kini juga menjabat sebagai pelatih talenta usia muda, Anton Blackwood. Mereka berdua datang ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam program AIA Sepak Bola untuk Negeri.
Kepala Bagian Komunikasi dan Pemasaran AIA Indonesia Kathryn Monika mengatakan, dalam program itu nantinya akan dipilih 24 anak Indonesia usia 12 tahun untuk menjalani pemusatan latihan di Phuket, Thailand. ”Kami berharap nantinya akan ada talenta Indonesia bersinar di kompetisi sepak bola tingkat dunia,” ujarnya.
Anton berpendapat, pemain Indonesia usia di bawah 14 tahun tak jauh berbeda dibandingkan dengan para pemain di negara Asia lainnya yang prestasi sepak bolanya lebih cemerlang. Perbedaanya, menurut Anton, baru terlihat ketika anak-anak itu berusia 17 tahun ke atas.
Pada usia itu perkembangan pemain Indonesia mulai tertinggal dari pemain negara Asia yang pembinaan sepak bolanya lebih maju. Seiring meningkatnya usia, anak-anak muda berbakat itu seharusnya memperoleh kompetisi yang semakin ketat sebagai wadah mengembangkan talentanya.
”Indonesia perlu menciptakan kompetisi usia muda yang dikelola dengan serius agar talenta muda bisa terus berkembang,” kata Anton. Menurut dia, paling tidak ada tiga hal yang menjadi penentu kesuksesan pembinaan talenta muda, yaitu tersedianya infrastruktur yang memadai, kompetisi yang dikelola secara profesional, dan kehadiran pelatih yang berdedikasi.
Anton menyebut tiga hal itu sebagai ”segitiga suci” dalam pembinaan talenta muda. ”Di Indonesia belum ada kompetisi usia muda yang terstruktur dan didukung infrastruktur yang memadai,” ujarnya.
Hal itu perlu segera diperbaiki agar talenta muda nantinya bisa berkembang menjadi pemain profesional. Tanpa tersedianya kompetisi yang baik dan infrastruktur yang memadai, anak-anak tidak akan memiliki wadah untuk mengembangkan talentanya.
Menanggapi hal itu, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Mohammad Bakir mengatakan, kompetisi sepak bola Liga Kompas U-14 bisa menjadi salah satu wadah mengembangkan talenta muda itu. ”Kompetisi itu sudah berjalan selama sembilan tahun dan melahirkan sejumlah pemain tim nasional,” katanya.
Namun, Shaun berpendapat, talenta muda yang dilahirkan Liga Kompas masih membutuhkan pembinaan lanjut yang jalannya cukup panjang. ”Negara Asia yang berhasil menjadi kekuatan baru sepak bola, contohnya Korea Selatan, merupakan negara yang memiliki skema pembinaan usia muda yang jelas. Hal itu perlu segera dibuat oleh Indonesia agar talenta muda tak terbuang percuma,” ujarnya. (PANDU WIYOGA)