Putra Winarni Jalani Operasi
Jakarta, Kompas – Setelah menanti selama berbulan-bulan, Achmad Fariz Taufik (2,9 tahun), putra mantan atlet angkat besi nasional Winarni, akhirnya menjalani operasi penyambungan usus besar ke kerongkongan. Saat ini, Fariz masih dirawat di ruang perawatan khusus anak PICU RSCM, Jakarta.
Fariz merupakan bocah yang terlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus, atau kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat makanan tak bisa dilewatkan dari mulut ke perut. Sejak lahir, Fariz juga mengalami gangguan jantung dan paru-paru.
Ditemui di RSCM, Selasa (6/11/2018), Winarni menjelaskan, operasi untuk Fariz terbagi dalam dua tahap. Operasi pertama dilakukan pada Kamis (1/11) lalu. Operasi selama 17 jam itu dilaksanakan untuk menarik usus besar dari perut ke arah leher. Usus besar tersebut dibawa melewati rongga dada hingga sampai leher. Lima hari kemudian, pada Selasa (6/11), Fariz menjalani operasi kedua selama 6 jam berupa penyambungan usus besar ke kerongkongan untuk jalur makanan.
Winarni menjelaskan, mulanya operasi kedua dijadwalkan dua pekan setelah operasi pertama. “Tetapi, dokter melihat anak saya dalam kondisi sehat dan kuat untuk menjalani operasi. Akhirnya, diputuskan operasi dipercepat. Kalau ditunda, takutnya Fariz kena virus atau kondisinya drop malah akhirnya tidak bisa dioperasi,” ujar juara dunia angkat besi pertama Indonesia pada 1997 ini.
Menurut Winarni, operasi berjalan lancar dan sesuai rencana. Operasi dilakukan oleh 7-10 dokter berpengalaman dari lintas spesialisasi kedokteran. Meski operasi besar sudah selesai dilaksanakan, Fariz masih harus menjalani perawatan panjang. Bocah itu harus dibius total selama kurang lebih dua pekan agar tubuhnya tidak banyak bergerak dan pemulihan dapat berjalan lebih cepat.
Selama masa pemulihan, Fariz akan mendapatkan asupan nutrisi dari susu yang disuntikkan langsung ke perutnya. Susu disuntikkan setiap 1,5 jam. Cara minum susu seperti ini masih akan dijalani Fariz hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ke depan. Hal itu disebabkan usus baru yang disambungkan ke kerongkongan tidak serta-merta dapat bekerja.
“Beberapa bulan lagi dicoba apakah setetes air bisa melintas dengan lancar dari tenggorokan ke perut. Untuk pertama dicoba satu tetes dulu, setelah itu dua tetes, setelah itu tiga tetes. Nanti lama kelamaan dicoba dengan bubur halus. Proses penyesuaian ini bisa berbulan-bulan, atau bertahun-tahun tergantung perkembangan anak,” ujar Winarni.
Selama berada di ruang perawatan, menurut Winarni, ada kalanya suntikan obat penenang tidak cukup membuat Fariz tertidur. Bocah itu kerap terbangun dan memanggil ibunya, “Mami... Mami.” Kadang-kadang, Fariz juga minta balon ataupun pulpen untuk menggambar ikan. “Suster kemudian meniupkan sarung tangan plastik agar menyerupai balon untuk Fariz. Nanti setelah dapat balon itu, dia kembali tidur,” ujarnya.
Tertunda
Perjalanan Fariz untuk operasi tidak mudah. Beberapa kali Fariz tidak bisa masuk ruang perawatan karena kamar penuh. Setelah itu, operasi juga beberapa kali ditunda karena ruang bedah dipakai pasien lain. Pada 25 Oktober, misalnya, Fariz sudah dikondisikan untuk operasi. Dia sudah berpuasa dan menjalani pembersihan usus. Operasi seharusnya dilakukan pukul 05.00. Tetapi hingga siang, nama Fariz tak dipanggil. Ternyata, ruang bedah dipakai pasien lain.
Winarni sempat merasa putus asa karena terlalu lama menunggu. Beruntunglah, keesokan harinya, pada 26 Oktober, Kemenpora mengirimkan surat permohonan kepada Direktur Utama RSCM untuk percepatan tindakan operasi. Surat ditandatangani Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto.
Menurut Winarni, berkah dari operasi yang sempat tertunda beberapa kali adalah berat badan Fariz cepat bertambah. Tubuh Fariz yang semula hanya 9 kg, kini menjadi 13 kg. “Setelah operasi, berat badan Fariz akan berkurang 3 kg. Jadi, kalau berat badannya belum ideal, dia tidak bisa operasi. Karena operasi beberapa kali ditunda, akhirnya Fariz istirahat di kamar cukup lama. Itu membuat berat badannya cepat bertambah karena tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan,” katanya.
Winarni membayangkan saat ini dirinya sedang menghadapi kejuaraan besar. Menunggu kesembuhan Fariz adalah campuran antara tantangan setiap hari, perjuangan panjang, harapan, juga doa yang tidak pernah putus. “Setiap malam, rasa merasa dek-dekan seperti sampai di ubun-ubun. Saya terus berpikir dan bertanya-tanya, kapan pertandingan ini selesai...,” ujar Winarni.
Proses penulihan
Meski sudah berhasil menjalani operasi besar, Winarni merasa belum lega. Hal itu disebabkan proses pemulihan untuk Fariz masih memerlukan waktu panjang. Winarni juga setiap hari harus menahan rindu bertemu anaknya mengingat jadwal besuk hanya boleh pukul 17.00 – 18.30.
Namun, Winarni merasa cukup senang bisa melangkah sejauh ini. “Dulu saya tidak tenang bagaimana bisa menyembuhkan Fariz, karena tidak punya uang. Tetapi dengan adanya bantuan-bantuan dari banyak pihak, sekarang lebih tenang,” katanya.
Winarni mengandalkan bantuan dari masyarakat untuk menyembuhkan anaknya. Bantuan Rp 307.912.025 diterima 1616 donatur melalui platform donasi digital Kitabisa.com yang diinisiasi oleh tokoh literasi Maman Suherman. Selain itu, Winarni juga menerima bantuan antara lain dari PT Toyota Astra Motor yang menyumbang Rp 80 juta dengan cara membeli foto ”Ajang Pacu Jawi” karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, saat lelang foto pada pembukaan Festival Fotografi Kompas (FFK) di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/7) malam. Dato Sri Tahir dari Mayapada Group juga menyumbang Rp 50 juta. Penggalangan dana ini terinspirasi dari artikel Harian Kompas edisi 29 Juli 2018 yang berjudul "Juara Dunia Berjuang Demi Kesembuhan Anak".