Memiliki keterbatasan gerak anggota tubuh bukan berarti akhir dari segalanya. Atlet-atlet boccia membuktikan bahwa mereka bisa bangkit, memiliki kepercayaan diri, pantang menyerah, dan bahkan berprestasi melalui olahraga ini.
Senyum Witsanu Huadpradit (35) terkembang tanpa henti sejak memasuki arena untuk mengikuti upacara pemberian medali boccia di Gelanggang Olahraga Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (10/10/2018) sore. Ia meraih medali emas kedua di Asian Para Games setelah capaian pertama di Guangzhou tahun 2010.
Namun, tampaknya medali emas bukan menjadi alasan utama Witsanu tersenyum sebab senyum lebar itu sudah sering muncul setiap sebelum pertandingan dimulai.
”Kalau saya tidak bermain boccia, saya tidak merasa hidup,” kata pemain asal Thailand itu dengan senyum lebar.
Witsanu merupakan pemain peringkat kedua dunia di klasifikasi BC1 atau memiliki keterbatasan gerak, tetapi masih bisa menggenggam dan melempar bola. Pada laga pamungkas, ia menang 7-3 atas Jung Sung-joon dari Korea Selatan.
Dalam permainan boccia, keterampilan fisik bukan satu-satunya faktor penentu kemenangan. Pemain juga harus menggunakan taktik dan strategi untuk mempersulit lawan, salah satunya dengan mendorong bola lawan menjauhi bola target.
”Dengan bermain boccia, kesehatan saya juga membaik, saya dapat memaksimalkan kemampuan berpikir,” kata Witsanu.
Hal senada disampaikan Sun Kai asal China. ”Saya merasa lebih mampu menggunakan otak saya,” kata Sun terbata-bata kepada pendampingnya, yang lantas menyampaikannya kepada penerjemah. Celebral palsy juga membatasi kemampuan berbicara atlet berusia 30 tahun tersebut.
Bagi banyak atlet boccia, olahraga ketepatan melempar bola tersebut telah menjadi lebih dari sekadar profesi yang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Boccia telah memberikan ”kebebasan” dari keterbatasan alat gerak yang mereka miliki, baik cerebral palsy maupun disabilitas lain yang memengaruhi saraf motorik.
”Boccia adalah hidup saya. Boccia adalah segalanya. Saya menjadi terkenal, punya uang, bertemu teman baru, dan bepergian ke berbagai tempat di dunia karena boccia,” kata Watcharapon Vongsa (27), pemain peringkat ketiga dunia klasifikasi BC2.
Hal semacam itu tidak pernah terpikir saat Watcharapon disarankan gurunya bermain boccia saat ia berusia 11 tahun. Saat itu, gurunya hanya berpikir muridnya itu membutuhkan olahraga untuk melatih fisik. Bagaimanapun, saat itu ia adalah seorang anak kecil dengan cerebral palsy dari Loei, daerah terluar Thailand, berbatasan dengan Laos.
Kini, Watcharapon banyak menorehkan prestasi lewat boccia. Selain medali perak Asian Para Games Jakarta 2018 yang diraihnya pada nomor tunggal BC2, ia juga telah meraih emas di Asian Para Games Ghuangzhou 2010. Ia bahkan meraih emas di Paralimpiade London 2012 dan Rio de Janeiro 2016.
Lebih percaya diri
Bagi atlet putri asal China, Lin Ximei (23), boccia membebaskan dirinya dari rasa rendah diri. ”Saya jauh lebih percaya diri sekarang. Awalnya ketika masih kecil, saya mengeluh dan mengutuk kondisi diri saya,” kata Lin yang meraih emas klasifikasi BC4.
Ketika Ximei masih kecil, ia baru sadar memiliki keterbatasan saat melihat cara berjalannya berbeda dari teman-temannya. ”Ternyata kekuatan kaki saya tidak stabil,” kata Ximei.
Saat awal bermain boccia, Ximei tidak didukung orangtua. Dengan keterbatasan fisik Ximei, orangtuanya merasa ia tidak akan sukses di boccia. Namun, lambat laun mereka membolehkan Ximei bermain boccia.
”Dengan boccia, ternyata saya menjadi lebih gembira, lebih percaya diri. Saya pun menjadi berarti bagi keluarga saya,” katanya.
Atlet-atlet seperti Witsanu, Ximei, dan Vongsa membuktikan bahwa mereka mampu mendobrak keterbatasannya dengan bermain boccia. Bagi mereka, tidak ada kata menyerah.
”Menjadi atlet atau bukan, jangan pernah merasa rendah,” kata Ximei.
”Boccia mengajarkan saya untuk jangan pernah menyerah,” kata Witsanu.