Petenis kursi roda nomor satu dunia Shingo Kuneida (35) berharap lajunya di Asian Para Games Jakarta 2018 berjalan mulus hingga meraih medali emas. Dengan medali emas dari pesta olahraga disabilitas terbesar se-Asia ini, tahun sempurna yang ia impikan dapat terwujud. Impiannya semakin dekat setelah ia lolos masuk ke babak semifinal.
”Saya sudah memenangi Australia Terbuka dan Perancis Terbuka tahun ini. Jadi, ini tahun yang sangat baik. Kalau nanti saya menang di sini, akan menjadi tahun yang sempurna,” kata Shingo sambil tersenyum.
Ia tetap ramah menjawab wartawan meski telah menjawab pertanyaan sama dari media Jepang. Pada Selasa (9/10/2018), peluhnya masih tersisa setelah mengalahkan petenis Korea Selatan, Oh Sang-Ho 6-4, 6-2 pda perempat final di lapangan Klub Kelapa Gading, Jakarta Utara. Meski sempat berada di bawah tekanan, Shingo dengan penempatan bola yang memiliki akurasi tinggi berhasil mengalahkan Sang-Ho dalam dua set langsung.
Peluang merebut medali emas Asian Para Games terbuka lebar bagi Shingo, mengingat predikatnya sebagai petenis nomor satu dunia. Dua gelar Grand Slam dalam setahun juga bukan pencapaian terbaiknya. Pada 2015, Shingo memenangi tiga gelar Grand Slam dari Australia, Perancis, dan Amerika Serikat Terbuka kelima kali dalam karirnya, setelah 2007, 2009, 2010, dan 2014. Total, Shingo telah memenangi 42 gelar Grand Slam, tunggal dan ganda.
Shingo pun sudah mengoleksi empat emas Paralimpiade, dua emas nomor tunggal pada Beijing 2008 dan London 2012; dan dua nomor ganda pada Athena 2004 dan Beijing 2008. Pada 2007 hingga 2010, Shingo bahkan tak terkalahkan dalam 106 pertandingan.
Namun, mengapa ia masih mengatakan membutuhkan medali Asian Para Games 2018 untuk membuat tahunnya sempurna?
Saat ditanya wartawan tentang rencana berikutnya setelah memenangi Australia Terbuka, Januari 2018 lalu, Shingo menjawab singkat, "Shingo yang baru akan tiba."
Tahun 2018 menjadi momen kebangkitan Shingo. Dia menyebut gelarnya yang ke-9 di Australia Terbuka itu sebagai momen kebangkitan dan yang paling membahagiakan. Sebab, gelar itu adalah gelar pertamanya setelah dua musim yang diwarnai cedera, operasi siku, dan rehabilitasi. Kata pensiun bahkan sempat masuk dalam pikiran Shingo usai menjalani operasi pada 2016.
“Setelah beristirahat untuk mengembalikan kebugaran, konsentrasi saya kembali pada tenis dan saya mulai berpikir bagaimana bisa mengembangkan permainan saya. Itu yang membuat saya percaya diri lagi,” kata Shingo.
Usai Australia Terbuka, gelar raja tanah liat pun ia raih dalam Prancis Terbuka 2018. Itu adalah gelar Prancis Terbuka ketujuh Shingo di nomor tunggal. Dengan kemenangan itu, ia kembali meraih peringkat nomor satu dunia yang sempat ia tinggalkan.
Kesuksesan Shingo tidak lepas dari usia memulai bermain tenis kursi roda yang relatif muda. Shingo muda didiagnosa kanker tulang belakang pada usia 9 tahun. Dua tahun kemudian ia pun memulai bermain tenis kursi roda.
Kini ia akan fokus menghadapi Suzuki Kohei, kompatriotnya, di semifinal, Rabu ini. Tentu ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya, meski harus melawan rekan senegaranya, demi tahun yang sempurna dan “Shingo yang baru.”
"Shingo yang baru bukan berarti kembali ke Shingo terbaik masa lalu. Saya ingin meningkatkan segala aspek permainan tenis saya. Saya percaya Shingo yang baru, yang terbaik masih akan datang,” kata Shingo.
Meraih medali emas Paralimpade Tokyo 2020 di depan publiknya sendiri akan menjadi fokus the “New Shingo” berikutnya. (ITF)