Memetik Sisi Positif Kekalahan
JAKARTA, KOMPAS - Asian Para Games bukan semata-mata perebutan medali. Di ajang ini, atlet ditempa mentalnya untuk mampu menerima kekalahan dan menjadikan itu pelajaran untuk menjadi lebih baik.
beberapa kali menghela napas panjang sebelum menembak. Atlet berjilbab itu menembakkan beberapa butir peluru ke sasaran. Namun, tembakannya tidak membuahkan hasil manis. Ia pun tertunduk lesu di depan senapannya.
Hasil 60 kali tembakan yang dilakukannya kalah bagus dari atlet lain. Atlet asal Gunung Kidul, Yogyakarta, tersebut hanya berada di peringkat ke-11 dengan skor 604,4 dari 14 atlet yang bertanding pada kualifikasi nomor 10 meter air rifle standing putri SH1 (keterbatasan fisik bagian bawah) Asian Para Games 2018 di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Senin (8/10).
Hanik gagal melaju ke putaran final karena hanya delapan besar babak kualifikasi yang bisa memperebutkan medali. ”Saya tidak terlalu kecewa sebab ini penampilan perdana saya di Asian Para Games.
Jika dibandingkan dengan mereka (yang lolos putaran final), pengalaman saya sangat jauh tertinggal. Malah, sebenarnya saya bangga dengan hasil ini. Saat latihan, skor terbaik cuma 597, tetapi di sini bisa 604,4,” ujar Hanik sambil tersenyum.
Para atlet menembak Paralimpiade Indonesia memang tak mendapatkan hasil terlalu baik pada hari perdana cabang menembak Asian Para Games. Selain Hanik, Ahmad Ridwan hanya berada di peringkat ke-17 dengan skor 501 dari 19 atlet pada kualifikasi nomor 50 meter free pistol campuran SH1, dan Sutri Aji hanya di peringkat ke-17 dengan skor 582,8 dari 20 atlet yang bertanding pada kualifikasi 10 meter air rifle standing putra SH1. Keduanya pun gagal lolos ke putaran final.
Mereka kecewa, tetapi solidaritas antar-anggota tim menguatkan para atlet itu. Seusai kualifikasi, mereka berkumpul di halaman belakang lapangan tembak yang teduh di bawah naungan pepohonan rindang.
Sembari menyantap menu makan siang, para atlet, pelatih, dan manajer berbincang dan saling lempar candaan. Momen kekeluargaan itu menghilangkan rasa kecewa sebelumnya.
Bagi para atlet, salah satu hal yang menguatkan mereka memang hubungan kekeluargaan yang erat di tim. Terutama sekali, keberadaan pelatih yang sangat mengayomi mereka sehingga bisa lebih percaya diri, tak mudah putus asa, dan tak larut dalam kecewa.
”Tim pelatih, terutama Pak Saridi (pelatih kepala menembak Indonesia di Asian Para Games 2018) itu telah menjadi ayah, ibu, guru, dan sahabat para atlet. Walaupun berprofesi sebagai tentara, Pak Saridi bisa mengayomi kami sehingga kami bisa lebih percaya diri dan terus semangat,” ujar Hanik.
Penuh kesabaran
Saridi mengatakan, menjadi pelatih menembak Paralimpiade memang butuh kesabaran. Bukan karena para atlet mudah berkecil hati atau minder, melainkan karena 11 atlet yang ada bukan murni atlet menembak.
Ada atlet yang beralih dari cabang lain, seperti Hanik dari balap kursi roda, Sutri dari panahan, serta Bolo Triyanto dan Trianti dari atletik. Ada pula warga biasa seperti Ridwan dan Heru Zainudin yang tidak bekerja, Ratmini yang ibu rumah tangga, serta Aris Haryadi dan Dwi Retno Sulanjari yang dari tentara.
Bahkan, sebagian besar baru berlatih menembak 8-9 bulan terakhir. Hanya Hanik, Bolo, dan Aris yang berlatih lebih lama, yakni sejak 2015. Itu pun tidak berkesinambungan karena sempat vakum hingga 2017.
Karena itu, pelatih tidak boleh sekadar mengajarkan teknik menembak, tetapi juga harus berperan sebagai ayah, ibu, bahkan sahabat untuk para atlet. ”Kami harus terus menjaga mood ataupun mental mereka,” ujar Saridi.
Bagi atlet, terutama Ridwan, hasil dari pertandingan perdana itu menjadi pelecut semangat bermain lebih baik di nomor-nomor selanjutnya. Apalagi, rata-rata atlet Indonesia bermain di lebih dari satu nomor.
”Tadi saya sudah merasakan bagaimana suasana pertandingan. Kalau tadi memang saya masih gugup. Tetapi, nanti di pertandingan selanjutnya saya akan lebih baik. Dan tidak ada yang tidak mungkin,” pungkas Ridwan yang masih akan bermain di nomor 25 meter air pistol dan 10 meter air pistol.
Kalahkan diri
Setali tiga uang, di bola voli duduk, atlet-atlet Indonesia juga mendapat pelajaran berharga. Dua kali tim voli duduk putra kalah dari lawan. Jatuh bangun juga dialami tim putri yang pada hari kedua dikalahkan Iran, 0-3.
Namun, atlet-atlet Indonesia tidak patah semangat.
Mereka justru semakin termotivasi karena itu akan menguatkan mereka untuk mengalahkan diri sendiri agar bisa bangkit menjalani hidup. Perjuangan mereka juga mendapat apresiasi dari penonton di Tennis Indoor Senayan.
Ketika tim putra dibekuk Irak dengan 0-3 (11-25, 10-25, 10-25) kemarin, penonton bertepuk tangan sambil meneriakkan ”Indonesia” berulang-ulang. Nasrullah, Imam Kuncoro, Purwadi, Murdiyan, Bima Tri Sanjaya, Raharjo, Tatag Sugiyono, dan Sukarno berkali-kali melambaikan tangan dan membungkukkan badan ke arah penonton.
”Kami kalah karena kurang pengalaman, tetapi kami senang sebab kerja keras kami bisa membawa kami ke tingkat Asia,” kata Nasrullah, kapten timnas voli duduk Indonesia.
Nasrullah dan teman-temannya patut bangga. Voli telah membukakan jalan bagi mereka untuk bangkit menata hidup. ”Saya dulu lahir biasa saja.
Tetapi, kemudian kelas 2 SD saya sakit panas dan lama-kelamaan kaki saya tidak berfungsi sebelah,” kata atlet berusia 35 tahun kelahiran Pamekasan, Madura, itu.
Nasrullah menjalani masa remaja yang cukup sulit karena dihajar rasa rendah diri. Namun, setelah kenal olahraga, ia perlahan bangkit, apalagi setelah aktif dalam berbagai kompetisi tingkat nasional.
Tim voli duduk putra baru diaktifkan kembali tahun ini karena Indonesia menjadi tuan rumah Asian Para Games 2018. Indonesia ikut voli duduk pada 2011 dan setelah itu vakum. Nasrullah, Imam Kuncoro, dan Bima Tri Sanjaya merupakan orang- orang pertama di timnas.
Tempaan mental dalam membangun kembali rasa percaya diri juga membuat Tuwariyah dan Anissa Tindy Lestari tidak mudah kecewa dalam menjalani hidup.
Mereka tetap tegar saat tim voli duduk putri Indonesia ditekuk Iran 0-3 (27-29, 18-25, 13-25) kemarin. Mereka menjadikan kekalahan itu sebagai pelecut semangat untuk lebih baik.
Bagi Anissa, Tuwariyah, Nasrullah, dan pemain voli duduk lainnya, perjuangan sesungguhnya mengalahkan diri sendiri agar tidak terpuruk meski hidup mereka berbeda dari orang lain. (Lusiana Indriasari/Adrian Fajriansyah)