Tanpa Ketegasan, dari Rangga sampai Haringga Hanyalah Statistik
Sepak bola Indonesia sekali lagi mencatat sejarah hitam dengan tewasnya seorang suporter. Tewasnya suporter Persija, Haringga Sirla, pemuda 23 tahun saat hendak menyaksikan laga antara Persib Bandung dan Persija Jakarta hari Minggu lalu di halaman Stadion Gelora Bandung Lautan Api, bukanlah tragedi pertama dalam kaitan penyelenggaraan sepak bola di tanah air.
Haringga adalah korban ketujuh dari perseteruan brutal antara suporter Persib dan Persija sejak tewasnya suporter Persib, Rangga Cipta Nugraha, pada Mei 2012 di Gelora Bung Karno. Sementara itu puluhan pemuda juga mati sia-sia saat hendak menikmati tontonan sport paling populer tersebut.
Catatan Kompas, sejak liga semi profesional digulirkan pada 1994 pasca penyatuan liga amatir Perserikatan dengan liga semipro Galatama, lebih dari 60 orang tewas akibat kasus-kasus kekerasan oleh pendukung klub lain atau benturan dengan penduduk. Lebih dari 90 persen dari kasus tersebut terjadi pada satu dekade terakhir dan berpangkal dari perkelahian antar suporter dari klub-klub eks amatir perserikatan yang berhijrah menjadi klub profesional.
Pasca tewasnya Haringga, PSSI menghentikan sementara Liga 1, strata tertinggi kompetisi di tanah air, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Saat ini Liga 1 memasuki pekan ke-24 dari 34 pekan dalam semusim ini. Menurut Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, langkah ini untuk mendinginkan suasana yang memanas pasca tewasnya Haringga.
“Biarkan tenang dulu, baru kita berpikir jernih. Berikan kami waktu untuk berkonsolidasi bersama PT Liga (operator Liga 1), suporter dan klub,” papar Edy yang juga merangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara tersebut, Kompas (26/9/2018).
Langkah PSSI menghentikan sementara Liga 1 boleh dibilang tepat. Di tengah suasana yang penuh amarah di kalangan masyarakat, mengambil jeda kompetisi sejenak adalah keputusan yang harus diapresiasi. Menurut Edy, PSSI akan mencari solusi terbaik prosedur standar operasi untuk meminimalkan kekerasan suporter. PSSI lanjut Edy, akan bekerjasama dengan berbagai pihak, terutama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia), KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), dan Kepolisian.
Meski langkah penghentikan sementara Liga 1 ini tepat, ada beberapa hal yang harus disadari oleh PSSI dan terutama juga oleh Pemerintah, dalam hal ini Kemenpora. Pertama adalah jangka waktu penghentian ini tidak bisa terlampau lama karena kalender kompetisi domestik terhubung dengan kalender ajang internasional baik pada level klub maupun tim nasional. Penghentian yang tak jelas periodenya serta berlarut-larut akan mengacaukan industri sepak bola nasional yang susah payah dibangun dengan darah dan air mata dalam dua dekade terakhir.
Tanpa batas waktu yang jelas juga mengacaukan perencanaan klub teknis maupun non teknis, operator dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan industri ini, terutama pihak televisi pemegang hak siar, sponsor, pemasok, dan lain-lain.
Ada baiknya kita mengingat kembali tindakan konyol yang dilakukan pemerintah dengan membekukan kegiatan PSSI beberapa tahun lalu. Akibat pembekuan tersebut semua kegiatan kompetisi PSSI terhenti. Selain kerugian finansial, klub-klub Indonesia juga kehilangan kesempatan tampil di level Asia seperti Liga Champions Asia pada 2017. Ini karena pada tahun sebelumnya seluruh kegiatan PSSI dibekukan Menpora Imam Nahrawi. Kejadian memalukan yang membuat Indonesia juga mendapatkan sanksi keras dari FIFA ini tidak boleh terjadi lagi.
Tanpa Sanksi Keras
Jika PSSI mau mawas diri dan berkaca secara jujur, kasus tewasnya suporter yang terjadi berulang-ulang hal itu disebabkan oleh ketidaktegasan organisasi olahraga tertua ini sendiri dalam menerapkan sanksi pada klub dan anggotanya. Sanksi dimaksud adalah terkait hal-hal teknis di lapangan maupun non teknis di luar lapangan, termasuk kasus-kasus perkelahian antar-suporter yang mengakibatkan korban jiwa.
Padahal dalam Statuta FIFA tegas dinyatakan, PSSI adalah satu-satunya organisasi sepak bola di Indonesia yang berwenang mengatur dan menyelenggarakan kegiatan sepak bola secara tertib dan aman. Karena satu-satunya dan kewenangannya dilindungi oleh undang-undang FIFA, tidak ada satupun alasan bagi PSSI untuk tidak melakukan tindakan tepat, keras, dan mendidik bagi seluruh pemangku kepentingan sepak bola jika ada pelanggaran terkait ketertiban dan keamanan apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
PSSI juga bertindak konyol saat merespons tewasnya Ricko Andrean pada Juli 2017 akibat dikeroyok suporter Persib (padahal Ricko juga pendukung Persib).
Jika mengacu kepada beberapa tragedi sebelum tewasnya Haringga, PSSI tidak pernah mampu memberikan sanksi yang tegas dan mendidik untuk mencegah berulangnya tragedi tewasnya suporter. Hukuman yang diberikan kepada klub cenderung hanya bersifat administratif, laga usiran atau denda finansial yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera.
Kasus tewasnya Rangga pada 2012 di Gelora Bung Karno misalnya, Manajer Persib Umuh Muchtar mengatakan, PSSI tidak memberikan hukuman apa pun terhadap Persija Jakarta. PSSI juga bertindak konyol saat merespons tewasnya Ricko Andrean pada Juli 2017 akibat dikeroyok suporter Persib (padahal Ricko juga pendukung Persib). Kala itu PSSI hanya memberi sanksi kepada Persib berupa laga tanpa suporter.
Artinya, pendukung Persib tetap boleh menonton laga namun tanpa mengenakan atribut suporter. Sungguh sebuah sanksi konyol yang dipastikan tidak memberikan efek jera.
Puluhan kasus terbunuhnya suporter bola di berbagai daerah juga direspons dengan sanksi yang sangat ringan sehingga kasus kematian terus berulang.
Menyimak kembali kasus tewasnya Haringga, jelas terlihat dalam tayangan video amatir yang sempat beredar luas di media sosial, saat pemuda itu dipukuli oleh belasan orang, puluhan pendukung Persib lainnya justru hanya menonton bahkan merekam kejadian itu tanpa ada upaya menghentikan aksi brutal tersebut. Kejadian yang sama konon juga menimpa Rangga. Pendukung Persib itu menjadi bulan-bulanan pendukung Persija, sementara pendukung lainnya hanya menonton bahkan kemudian ikut menjadi pembunuh.
Jika PSSI mampu memberikan sanksi tegas kepada klub yang pendukungnya berbuat brutal—dan itu bisa diatur dalam Peraturan Pertandingan Khusus—efek jera kemungkinan akan mencegah terjadinya kebrutalan tersebut. Ambil contoh, jika pendukung Persib paham kalau mereka menganiaya bahkan sampai membunuh suporter lawan, klub kesayangannya akan terkena sanksi keras—bisa berbentuk apa saja mulai dari sanksi tanpa penonton, pengurangan poin, denda super besar hingga degragasi—pasti mereka akan berupaya mencegah pembunuhan terjadi. Fenomena yang sama diyakini akan berlaku pula bagi pendukung Persija dan pendukung seluruh klub yang berlaga di bawah bendera PSSI.
Suporter sebagai aset
Jika kembali pada catatan sejarah, penyatuan liga amatir perserikatan dengan Galatama pada 1994 sebenarnya berpangkal dari tidak berkembangnya industri sepak bola semipro Galatama yang dilahirka pada 1977. Pada saat bersamaan, liga amatir Perserikatan selalu melahirkan eforia skala nasional dengan penonton yang selalu memenuhi stadion.
Harus diakui, unsur primordial dan kedaerahan yang melekat pada klub-klub perserikatan menjadi faktor utama berbondongnya penonton ke stadion. Sementara itu klub Galatama yang tidak punya akar sosial di masyarakat, kecuali lingkungan kecil yang amat terbatas tidak mampu mendatangkan penonton ke stadion. Akibatnya bisnis sepak bola semipro mengalami stagnasi bahkan kebangkrutan. Banyak klub gulung tikar karena pemilik tak punya sumber pemasukan mencukupi untuk membiayai klub. Pendeknya, bisnis sepak bola tidak berjalan, pemilik buntung dan membubarkan klubnya.
Bergabungnya klub-klub perserikatan ke dalam kompetisi semipro kemudian liga profesional sejak 1994, kontan membuat industri sepak bola berdegub, sangat kencang bahkan. Meski era industri diawali dengan susah payah karena mereka bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun lambat laun—memakan waktu satu dekade lebih—mereka mampu mandiri dengan level yang berbeda-beda.
Antusiasme penonton yang sangat besar membuat klub-klub kemudian mampu membiayai sendiri kebutuhan finansialnya meski tidak semuanya. Faktor primordial dan antusiasme tinggi ini kemudian melahirkan kelompok-kelompok pendukung atau suporter dengan tetap mengusung unsur-unsur sektarianisme dan kedaerahan.
Uniknya, faktor ini tidak terbatas pada wilayah administratif. Persib Bandung misalnya, dianggap mewakili kelompok kedaerahan yang luas hingga ke pelosok Jawa Barat. Banyak kelompok suporter Persib berasal dari kota-kota yang jaraknya puluhan bahkan ratusan kilometer dari Bandung, ibu kota Jawa Barat.
Meski begitu, lahirnya kelompok-kelompok pendukung yang sangat masif juga menimbulkan persoalan tersendiri terutama bagi klub yang terafiliasi.
Faktor kedaerahan ini juga yang membuat industri televisi begitu tertarik membeli hak siar kompetisi di Indonesia. Dengan peringkat (rating) acara siaran langsung televisi laga sepak bola nasional yang jauh lebih besar dibandingkan siaran-siaran liga sepak bola Eropa sekalipun, pemegang hak siar sepak bola nasional hampir pasti meraup keuntungan berlipat-lipat dari pengiklan.
Meski begitu, lahirnya kelompok-kelompok pendukung yang sangat masif juga menimbulkan persoalan tersendiri terutama bagi klub yang terafiliasi. Kelompok pendukung ini bukanlah organisasi formal yang punya landasan hukum. Mereka juga tidak hubungan legal formal dengan klub sehingga tidak ada alat yang bisa dipakai klub untuk mengendalikan perilaku mereka.
Berkaca ke Eropa
Dengan kondisi hubungan yang absurd antara pendukung dengan klub, PSSI seharusnya berkaca ke Eropa terutama melihat bagaimana klub-klub di Inggris Raya mengelola basis pendukung mereka. Setelah tragedi Heysel pada 1985 yang membuat klub-klub Inggris dikucilkan di ajang Eropa, pihak Football Association memaksa klub membenahi hubungan mereka dengan basis pendukungnya. Salah satunya adalah kewajiban menjadi anggota kelompok pendukung (fans club) dengan administrasi yang ketat.
Pendukung klub hanya bisa mendapatkan akses tiket laga hanya jika menjadi anggota fans club, demikian pula jika mereka hendak mendapatkan tiket untuk laga-laga internasional semisal Liga Champions atau Liga Europa, mereka harus terdaftar sebagai anggota kelompok pendukung.
Dengan admistrasi keanggotaan yang ketat, klub bisa memantau aktivitas anggota kelompok pendukungnya secara seksama. Bekerjasama dengan pihak kepolisian, mereka bisa mengidentfikasi setiap aktivitas negatif anggotanya untuk kemudian dimasukkan ke dalam daftar hitam. Anggota kelompok pendukung yang masuk daftar ini dipastikan dicoret dan kehilangan akses untuk mendapatkan tiket. Bahkan mereka yang masuk daftar hitam juga kehilangan peluang melihat klub kesayangannya berlaga di pentas Eropa karena kepolisian mengeluarkan perintah cegah-tangkal bekerjasama dengan kepolisian dan imigrasi negara-negara Eropa lainnya.
Klub-klub di Indonesia jelas tertinggal sangat jauh dalam pengelolaan suporter dibandingkan klub-klub utama Inggris. Meski begitu tidak ada hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Dengan basis pendukung yang sangat masif, memang akan menjadi persoalan tersendiri bagi klub terutama dalam administrasinya. Namun jika ada kemauan kuat, hal paling “mustahil” sekalipun pasti akan membuahkan hasil.
Harus diyakini bahwa mengelola basis pendukung adalah investasi klub yang akan mendapatkan berbagai keuntungan di kemudian hari. Dengan basis pendukung yang tercatat dengan rapih, klub bisa lebih efektif dalam pengelolaan manajemen keuangannya terutama dalam kaitan penjualan tiket, cendera mata dan kegiatan-kegiatan non pertandingan yang melibatkan pendukung. Sementara para suporter juga akan mendapatkan manfaat seperti kemudahan mendapatkan tiket laga, bahkan mungkin dengan diskon yang menawan.
Dalam industri sepak bola, tidak ada hal yang tidak mungkin. Tragedi Heysel telah mengubah perilaku suporter di seluruh Eropa, tidak hanya di Inggris Raya. Tragedi Rangga hingga Haringga seharusnya pun bisa membuahkan hal positif yang sama. Semoga!