Tenaga yang keluar dari tubuh mungil Riska Andriyani (23) langsung menyentak. Ledakan energi yang disalurkan lewat kayuhan ke atas kano yang ditungganginya membuat perahu itu melesat membelah air. Di jalur dua, Sun Mengya (17), atlet China bertubuh tinggi besar, tak mau kalah. Sun mengejar sehingga kedua perahu itu tampak sejajar di barisan depan. Lomba di ajang Asian Games 2018 itu sangat ketat.
Namun, pertarungan final lomba kano kategori pedayung tunggal (C1) 200 meter putri di lintasan dayung Danau Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (1/9/2018), itu akhirnya dimenangi Sun. Selisih waktunya sangat tipis, hanya 0,01 detik. Jarak kedua perahu itu tidak sampai 5 sentimeter. Sun mendapat medali emas, sementara Riska menyumbangkan medali perak terakhir dari nomor kano dan kayak. Medali perunggu diraih Rakhmatova Dilnza, atlet Uzbekistan.
Pada saat pengalungan medali tampak jelas perbedaan fisik antara Riska dan Sun. Riska atlet kano Indonesia asal Jambi itu hanya memiliki tinggi 152 cm dan berat 47 kilogram. Sementara lawannya, Sun, memiliki tinggi 174 cm dan berat 69 kg. Saat sesi berfoto, meski Riska berjinjit, Sun masih terlihat lebih tinggi.
Pertarungan Riska dan Sun terasa tidak adil. Namun, itulah olahraga kano. Tak ada pembatasan kelas. Orang bertubuh besar dan kecil dikategorikan sama. Riska atlet paling kecil di final nomor C1. ”Saya sudah mengeluarkan seluruh kemampuan. Namun, harus diakui, atlet China itu lebih bagus,” kata Riska.
Namun, ukuran fisik tidak serta-merta menjadi ukuran keberhasilan. Riska dan Nur Meni yang merupakan dua atlet paling kecil justru merupakan penyumbang medali. Dari dua orang itulah Indonesia meraih medali perak (C1) dan perunggu (C2) dari nomor kano. Atlet yang lebih besar justru gagal.
Jangan bandingkan dengan China. ”Negara Tirai Bambu” itu memiliki stok atlet yang tidak pernah putus. Materi atlet yunior hampir selevel dengan senior. Kategori atlet mereka seakan cuma ada dua, yaitu bagus dan sangat bagus.
Sun, misalnya, sebenarnya masih atlet yunior. Ia baru belajar mendayung pada usia 15 tahun. Namun, hanya dalam tempo 2 tahun berlatih, ia sudah bertengger di jajaran pedayung elite dunia. Semuanya tidak serba instan. Ia sejak kecil menyenangi olahraga. Ia dibina oleh pelatih lokal Jing Ying dan Wang Bo serta pelatih asal Polandia, Marek Ploch.
Debutnya di Kejuaraan Dunia 2018 di Zseged, Hongaria, pada Mei 2018, langsung menghasilkan medali perak nomor C2 500 meter. Ia turun tandem bersama seniornya, Ma Yanan, mantan juara Asia 2017 di nomor C1 500 meter. Dalam kualifikasi Asian Games 2018 di negaranya, Sun sudah mengalahkan Ma Yanan untuk tampil di nomor tunggal C1. Bersama Ma Yanan, Sun mendapat medali emas nomor C2 500 meter di Asian Games 2018. Kini, ia menatap Olimpiade Tokyo 2020.
Dari hasil perolehan medali jelas tergambar mayoritas atlet kano dan kayak Indonesia yang turun di Asian Games 2018 sesungguhnya belum mampu bersaing di tingkat elite Asia, apalagi kelas dunia. Namun, untuk kasta di Asia Tenggara, Indonesia masih yang terbaik.
Untuk Olimpiade 2020 di Jepang, peluang Indonesia masih sangat kecil. Cabang dayung sebenarnya mengalami krisis atlet pelapis. Beda kelas antara atlet nasional dan atlet daerah sangat jauh. Kesinambungan macet.
Untuk menjaga konsistensi perolehan medali pada Asian Games 2022, masih ada waktu dan kesempatan untuk terus berlatih sejak dini. Namun, untuk itu, menurut Wakil Ketua Umum PB PODSI Budiman Setiawan, harus ada kepastian dana dari pemerintah untuk program jangka panjang.
Adagium olahraga menyatakan, ”Memang baik memiliki tim atlet yang bagus, tetapi jauh lebih baik apabila memiliki regenerasi yang bagus”. (SYAHNAN RANGKUTI)