JAKARTA, KOMPAS – Meski prestasi atlet jetski Indonesia berkibar di kancah dunia, tidak mudah untuk membuktikan kekuatan saat berlaga di negeri sendiri. Dua bersaudara Sutan Aswar membuktikan, prestasi tertinggi harus dibangun dengan bahu membahu.
Atlet jetski Aqsa Sutan Aswar merebut medali emas ke-12 bagi Indonesia di Asian Games 2018 setelah berlaga di final nomor endurance runabout open di Ancol, Jakarta, Minggu (26/8/2018). Dari tiga babak yang dipertandingkan, Aqsa memperoleh akumulasi nilai 1.143.
Dari akumulasi nilai tersebut, ia menang atas Ali Allanjawi (Uni Emirat Arab) yang memperoleh 1.127 poin dan meraih perak. Sedangkan medali perunggu diraih Suphathat Footrakul (Thailand) dengan nilai 1.088.
“Ini pembuktian dari saya setelah gagal merebut emas di nomor runabout limited,” kata Aqsa.
Kegagalan meraih medali emas di nomor runabout limited sempat membuat Aqsa terpukul. Pada nomor itu, juara dunia 2011 tersebut sempat memuncaki perolehan angka selama enam putaran dari delapan putaran yang dipertandingkan. Namun, kemudian mesin jetskinya mati sehingga tak bisa menyelesaikan laga.
Pada nomor endurance runabout open, Aqsa memang sudah ngotot sejak awal. Di babak pertama, ia memastikan perolehan nilai penuh, yaitu 400 poin.
Meski demikian, bukan berarti jalan yang ia lalui mulus. Pada babak kedua dan ketiga, ia bersusah payah mengalahkan pesaing dari 13 negara. Aqsa tak bisa meraih poin penuh lagi karena tidak pernah finis di posisi pertama.
Pada babak kedua, ia finis di posisi ketiga dengan perolehan nilai 365. Ia kalah dari Allanjawi di posisi pertama dan Kim Jin-won dari Korea Selatan di posisi kedua.
Begitu juga di laga final, dari 10 putaran yang dipertandingkan selama 35 menit, ia selalu berada di posisi dua, di belakang Allanjawi.
“Pada putaran terakhir mesin jetski saya sempat bermasalah lagi karena air laut sudah masuk ke sana,” ujar Aqsa. Saat itu pula mesinnya mulai tersendat. Namun, keberuntungan masih menyertainya, mesin tidak mati setelah digas lebih kencang.
Bahu membahu
Kemenangan Aqsa tidak lepas dari upaya keras kakaknya, Aero. Di nomor yang sama, penampilan Aero memang tidak segemilang Aqsa. Sebab, di babak pertama dan kedua, mesin jetskinya mati sehingga tak bisa digunakan.
Namun, pada laga final, juara dunia 2014 dan 2016 itu, menunjukkan performa maksimal. Selama 10 putaran, posisinya tidak pernah berubah, yaitu di urutan ketiga. Ia berada sekitar 20 meter di belakang Aqsa, tidak jarang pula mereka melaju berdampingan.
“Sebenarnya kalau saya mau membalap Aqsa bisa saja, tetapi itu tidak dilakukan karena tugas saya mengamankan posisi Aqsa,” kata Aero. Ia harus memastikan adiknya berada di posisi tiga besar agar akumulasi nilainya tetap tertinggi.
Menurut Aero, selama belasan tahun mereka berlatih dan bertanding bersama di luar negeri. Saat itu, tidak ada kerja sama di antara keduanya. Satu sama lain akan bersaing demi namanya masing-masing.
“Tetapi kali ini tidak, kami berjuang untuk Indonesia,” kata Aero. Hingga akhir pertandingan, Aero mengoleksi angka 1.024. Dengan perolehan tersebut, ia menduduki peringkat kedelapan dari 10 peserta yang bertahan.
Ketika laga usai dan Aqsa tengah melakukan selebrasi di dekat garis finis, Aero mengarahkan jetskinya ke lokasi sang adik. Kemudian mereka berdua menjatuhkan diri ke laut seraya berpelukan.
Setelah itu, Aqsa berkeliling laut menggunakan jetski nomor 19, milik Aero, sambil mengibarkan bendera Merah Putih. Sementara Aero, menepi ke pantai kemudian berlari membawa bendera Indonesia.
“Saya sangat senang dengan keberhasilan Aqsa,” kata Aero.
Bagi keduanya, emas dari satu nomor itu dipersembahkan untuk kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, ini merupakan pertama kalinya mereka tampil mewakili nama bangsa Indonesia di ajang multicabang tingkat Asia. Cabang jetski pun baru pertama kali dipertandingkan pada Asian Games 2018.
Meski demikian, capaian tersebut masih di bawah target, yaitu dua emas. Pelatih sekaligus ayah Aqsa dan Aero, Fully Sutan Aswar mengatakan, evaluasi akan dilakukan, terutama terkait dengan manajemen persiapan kendaraan.
Sebab, jetski terlambat datang, sehingga waktu modifikasinya tidak optimal. Hal itu berdampak pada performa mesin yang kurang mendukung.
“Dari segi atlet, saya pikir mereka hanya tinggal meneruskan dan konsisten dengan performa yang ada sekarang,” kata Fully.