Tangis Kecewa Tutup Perjuangan Tim Bola Voli Putri
SHAH ALAM, KOMPAS –Hari terakhir ASEAN School Games Malaysia 2018, Rabu (25/7/2018), menyisakan duka bagi tim bola voli putri dan putra Indonesia. Keduanya kalah di partai puncak dan urung membawa medali emas.
Tim putri harus mengakui keunggulan Thailand 2-3 (25-19, 18-25, 25-22, 17-25, 11-15), sedangkan tim putra takluk dari Malaysia 1-3 (25-22, 21-25, 30-32, 21-25).
Tangis tak terbendung dari 12 atlet putri pada akhir laga. Tangis para atlet voli yunior itu sekaligus mewakili duka kontingen Indonesia. Tim ”Merah Putih” gagal memenuhi target menjadi juara umum ASEAN School Games ke-10 dan harus puas berada di posisi kedua setelah tuan rumah Malaysia.
Dalam laga final di Arena Voli MBSA, Shah Alam, itu tim voli putri Indonesia bermain percaya diri pada set pertama. Namun, memasuki set kedua, Thailand mulai menemukan bentuk permainannya. Indonesia bisa membalas di set ketiga, tetapi di dua set penentuan, para pemain Indonesia gagal memperlihatkan penampilan terbaik.
Seusai laga, para pemain berpelukan sambil menangis tersedu-sedu. Bahkan, Aniesya Nurmasitoh terus menangis sampai keluar arena. Pelatih dan manajer berupaya menenangkannya.
Pelatih tim bola voli putri, Eko Waluyo, mengatakan, hasil itu memang mengecewakan. Sejak awal, tim Indonesia percaya diri bisa mengalahkan
Thailand. Karena itu, para pemain bermain habis-habisan di tiga set pertama.
Keyakinan muncul karena para pemain Indonesia cukup berpengalaman ditempa dalam kompetisi Proliga. Setidaknya sembilan dari 12 anggota tim putri pernah bermain di Proliga, sebagian telah bermain dua musim terakhir. Padahal, usia mereka rata-rata 17-18 tahun.
”Namun, ternyata Thailand bermain sangat solid dan kompak. Pertahanan mereka sangat rapat, sulit ditembus oleh spiker Indonesia, seperti Tamara Dwi Nadia, Tasya Nur Rochmani, dan Alya Annastasya,” ujarnya.
Hal itu membuat para pemain Indonesia frustrasi. Stamina mereka juga terkuras karena mereka tidak menyangka harus bermain lima set.
Manajer voli Indonesia di ASEAN School Games 2018, Wenny Pangerapan, menuturkan, hasil tim bola voli mengecewakan karena tak bisa memenuhi target satu emas. ”Tim putri frustrasi karena gagal menembus pertahanan Thailand. Adapun tim putra kalah karena Malaysia main penuh semangat di hadapan pendukung sendiri,” katanya.
Perlu persiapan lebih baik
Dengan hasil ini, Indonesia tak mencapai target yang ditetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi saat pelepasan kontingen, yakni merebut kembali juara umum. Kendati demikian, Indonesia berhasil memenuhi target minimal meraih 26 emas.
Hingga ajang tersebut berakhir, Malaysia berhasil juara umum dengan total perolehan 37 emas, 24 perak, dan 32 perunggu. Indonesia berada di peringkat kedua dengan 31 emas, 36 perak, dan 30 perunggu. Adapun juara bertahan Thailand berada di tempat ketiga dengan total 19 emas, 21 perak, dan 31 perunggu.
Sumbangan medali Indonesia sebagian besar dari cabang renang dan atletik. Adapun cabang pada cabang beregu, seperti basket dan voli, gagal meraih hasil terbaik. Apabila cabang beregu bisa menyumbangkan emas, hasilnya bisa membantu mengangkat perolehan medali Indonesia juga peringkat di klasemen.
Ketua Kontingen Indonesia Bambang Siswanto mengakui, Indonesia bergantung dengan cabang indivual, seperti renang dan atletik. Adapun cabang beregu belum bisa jadi tumpuan. Salah satu penyebabnya, persiapan untuk cabang beregu sangat minim. Bahkan, tidak ada seleksi khusus dalam perekrutan pemain. Semua pemain dipilih langsung pengurus cabang induk masing-masing. Saat terpilih, tidak ada pula pelatnas yang cukup untuk para atlet terpilih. Rata-rata waktu pelatnas cabang beregu antara 7-10 hari saja.
Padahal, menurut para manajer maupun pelatih di cabang beregu, pelatnas yang panjang dengan waktu minimal tiga bulan sangat diperlukan. Hal itu penting untuk membangun kekompakan di antara pemain saat bergabung dalam satu tim. Apalagi sebagian besar pemain tidak pernah bermain bersama sebelumnya.
”Ini adalah bahan evaluasi utama kita dari ajang kali ini. Kita harus melakukan seleksi dan pelatnas lebih baik untuk cabang-cabang beregu ketika akan dikirim ke ajang multi cabang, seperti ASEAN School Games ini,” tuturnya.
Renang bekerja keras
Dari tiga cabang individu, atletik dan senam tampil cukup baik. Atletik bisa meraih delapan emas dari hanya lima emas tahun lalu. Hasil atletik ditambah dengan pemecahan rekor nasional loncat galah putra oleh Idan Fauzan menjadi 5,30 meter.
Adapun senam lewat disiplin senam artistik berhasil mencuri empat emas, meski semula tidak diperhitungkan. Sepanjang gelaran ASEAN School Games, senam baru satu kali menyumbang medali emas, yakni pada 2017. Untuk itu, raihan empat emas di tahun ini sangat di luar dugaan.
Renang yang tadinya jadi tumpuan harapan Indonesia justru bekerja keras untuk mencapai target 15 emas. Mereka baru bisa memastikan target tersebut di dua laga sisa pada hari terakhir ini, yakni nomor 4x100 meter estafet putri dan putra.
Renang menjadi andalan karena menyediakan medali emas terbayak dari 10 cabang yang ada, yakni pada 36 nomor pertandingan, sehingga bisa menjadi lumbung medali. Pada ASEAN School Games 2017, renang menyumbangkan 20 emas sehingga kembali diandalkan. Namun, tahun ini perolehan medali menurun.
Bambang mengatakan, renang memang cukup kesulitan tahun ini. Hal itu tak lepas dari penampilan perenang Malaysia yang luar biasa. Semula, Indonesia hanya memperhitungkan Thailand dan Singapura yang akan menjadi pesaing terberat di cabang tersebut.
Namun, para perenang tuan rumah tampil luar biasa, bahkan bisa membuat rekor di beberapa nomor. ”Kami harus lebih detail lagi dalam memperhitungkan tingkat persaingan yang ada,” tegasnya.
Pelatih renang Deni Wardeni menyampaikan hal senada. Ia mengakui tim Malaysia cukup mengejutkan. Beberapa nomor yang diincar perenang Indonesia, gagal karena kejutan atlet tuan rumah. Oleh karena itu, renang Indonesia hanya puas dapat 15 emas, tidak bisa lebih seperti harapan sebelumnya.