Nama Vietnam hanya sayup-sayup terdengar di kancah persenaman Asia Tenggara saat supremasi senam Indonesia pada 1981-1989. Namun, pada SEA Games Singapura 2015, Vietnam menjadi juara umum, sedangkan Indonesia berada di posisi tiga terbawah tanpa satu emas pun.
”Padahal, dulu Vietnam sering belajar dengan kami di pelatnas. Kualitas mereka itu seperti atlet daerah. Jauh dari kami yang tingkat nasional,” kata pesenam artistik era 1990-2003, Lulu Manurung, yang masih sempat merasakan era kejayaan senam Indonesia, Sabtu (14/7/2018), di Jakarta.
Vietnam memang jauh berkembang. Pada SEA Games 2015, mereka juara umum dengan 9 emas, 4 perak, dan 4 perunggu. Sementara Indonesia melalui periode terburuk dengan hanya mendapatkan satu perak. ”Merah Putih” pun berada di posisi keenam dari delapan peserta. Di SEA Games Kuala Lumpur 2017, Indonesia membaik dengan 1 emas, 2 perunggu, dan 6 perak, tetapi masih jauh tertinggal dari Vietnam (5 emas dan 4 perak).
Kondisi ini seperti berbalik. Pada era 1979-1989, Indonesia merupakan penguasa senam Asia. Bahkan, dalam artistik putri, medali emas tidak pernah lepas di setiap pergelaran. Puncaknya, Eva Novalina Butar Butar dan rekannya menyapu bersih enam emas artistik putri pada SEA Games 1989.
Eva bertutur, dulu senam Indonesia berprestasi karena pembinaan jangka panjang. Dalam pembinaan itu, atlet dibina dengan pelatihan rutin dan uji coba ke luar negeri.
Seperti pada tahun 1983, pelatih senam artistik TJ Purba membuat pelatnas jangka panjang untuk persiapan Asian Games 1986. Persiapan itu dilakukan selama tiga tahun penuh. Dalam pelatnas jangka panjang itu, pesenam juga dikirim ke Romania—negara kiblat senam dunia kala itu—hingga empat bulan.
Pesenam yang diambil pun merupakan bibit muda. Salah satunya Eva yang saat itu masih berusia 10 tahun. Hasil pelatnas itu berbuah manis. Meski belum bisa berprestasi di Asian Games, generasi Eva dengan mudah menaklukkan SEA Games.
”Itu efek pembinaan jangka panjang. Meski tidak mendapatkan target utama, target di bawahnya bisa diambil semua. Kalau sekarang, kan, yang jadi target justru SEA Games. Kalau seperti itu, sudah pasti tidak bisa menjangkau Asian Games,” katanya.
Pelatnas terkendala
Pembinaan yang terstrukur itu sangat kontras dengan pelatnas saat ini. Pelatnas senam untuk Asian Games 2018 hanya berlangsung kurang dari satu tahun, dari November 2017 hingga Agustus 2018. Setelah SEA Games 2017 bulan Agustus, pelatnas berhenti sementara. Kondisi itu membuat fisik atlet menurun. Dampaknya, atlet perlu memulai lagi periodisasi latihan fisik, hingga membuang 50 persen waktu keseluruhan program latihan.
Sementara itu, pelatihan di luar negeri hanya berlangsung 45 hari dari rencana 90 hari. Semua itu karena keterbatasan dana. Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) hanya diberi Rp 7,5 miliar dari Rp 29 miliar yang diminta ke Kemenpora. Dana itu bahkan lebih kecil dari sejumlah cabang yang baru pertama kali diikuti Indonesia di Asian Games. Dengan jumlah itu, PB Persani harus membiayai 10 atlet artistik dan 2 atlet ritmik. Belum ada dana bagi dua atlet pelatnas trampolin.
Manajer tim senam Dian Arifin mengaku sudah berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan dana yang ada untuk program Asian Games. ”Kami harus memikirkan agar mereka mendapatkan pelatihan di luar negeri. Juga, bisa ikut try out. Bahkan, saat semua program sudah dikurangi, pelatnas hanya bisa bertahan sampai Oktober karena dana habis,” kata Dian.
Dengan kondisi pelatnas yang compang-camping seperti itu, jangan heran jika penantian akan supremasi senam nasional bakal lebih lama lagi. (KEL)