Yulvianus Harjono dan Herpin Dewanto dari Moskwa, Rusia
·4 menit baca
Perancis pernah memiliki pemain-pemain brilian yang menjadi roh permainan tim. Namun, kini ”Les Bleus” juara dengan merajut setiap pemain menjadi satu kesatuan yang solid dan bahu-membahu demi tim.
MOSKWA, KOMPAS Kesuksesan Perancis meraih trofi Piala Dunia 2018, Minggu (15/7/2018), di Moskwa, Rusia, akan terus dikenang sebagai salah satu era emas ”Les Bleus” hingga puluhan tahun mendatang. Era emas Perancis kali ini sangat unik, berbeda dari masa-masa sebelumnya, karena mereka tampil bersahaja dan tanpa pemain genius- kreatif seperti Michel Platini ataupun Zinedine Zidane yang melegenda.
Sebelum kesuksesan di Rusia, Perancis pernah mengalami dua era emas sebelumnya, yaitu di Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998. Saat menjuarai Piala Eropa 1984, di rumah sendiri, Les Bleus saat itu dikenang sebagai ”tim Platini”. Penyerang kreatif itu memuncaki daftar pencetak gol tersubur dengan sembilan gol. Les Bleus tampil menawan, serupa Platini yang flamboyan.
Hal serupa terjadi di Piala Dunia 1998, juga di Perancis. Ketika itu, Les Bleus lebih dikenang sebagai ”tim Zidane”, pemain yang disebut ”penyihir” terbaik sepanjang masa tim Perancis. Pesona pemborong dua gol di final Piala Dunia 1998 kontra Brasil itu melampaui barisan bintang dunia lainnya saat itu, seperti Ronaldo, Bebeto, Gabriel Batistuta, dan Davor Suker. Zidane dielukan-elukan sebagai pahlawan Les Bleus.
Hal kontras terjadi dua dekade berselang di Rusia. Tak ada satu pemain pun yang mendapat pujian lebih besar dari yang lainnya, terlepas Kylian Mbappe Lottin menghipnotis dunia dengan total empat golnya di Rusia dan menyabet penghargaan pemain muda terbaik. Paul Pogba, salah satu gelandang terbaik di generasi Les Bleus saat ini, hanya membuat satu gol, yaitu di final.
Tidak ada pula permainan teknik olah bola yang mengundang decak kagum publik, seperti dilakukan Zidane atau Platini. Permainan Les Bleus biasa-biasa saja, tidak indah, apalagi menawan, seperti diperlihatkan para pendahulunya. Sebaliknya, pujian disematkan ke Kroasia yang tampil spartan dan lebih dominan dalam penguasaan bola ataupun jumlah peluang gol pada laga final di Stadion Luzhniki.
Justru itu keistimewaan Les Bleus generasi saat ini. Tanpa gembar-gembor serangan dan banjir kekaguman, mereka mampu membawa pulang trofi Piala Dunia dari negeri orang. Prestasi ini jelas lebih istimewa daripada saat mereka menjuarai Piala Eropa di Belgia dan Belanda, 2000 silam. Mereka menjadi juara dengan pasukan belia, yaitu rata-rata 26 tahun. Sebagian bahkan masih remaja, seperti
Mbappe.
Tingkah kekanak-kanakan mereka terlihat saat jumpa pers seusai laga final. Ketika Pelatih Perancis Didier Deschamps hendak mengambil mikrofon dan berbicara di hadapan puluhan jurnalis yang menantinya, mendadak puluhan pemain Perancis yang tidak diundang merangsek masuk ruangan. Mereka berteriak-teriak dan mengguyur Deschamps dengan air, soda, dan sampanye.
Sejumlah pemain Les Bleus, seperti Florian Thauvin, Benjamin Mendy, dan Paul Pogba, bahkan lepas kendali karena larut dalam euforia. Mereka bergantian berdiri dan menari di atas meja. Suasana di ruang konferensi pers yang biasanya terasa formal itu menjadi tidak ubahnya bar.
”Allez Les Bleus, Allez Les Bleus. Ia (Deschamps) adalah juara,” teriak Pogba seraya mengguyur air ke kepala pelatihnya.
”Maafkan kelakuan para pemain. Mereka masih muda dan gila. Mereka menyelam di dalam kegembiraan. Saya sudah ganti baju tiga kali dan badan saya masih saja bau. Maaf, sampai di mana kita tadi?” kata Deschamps sambil tertawa mencoba melanjutkan jumpa pers itu dengan baju yang kuyup.
Meskipun tidak terlalu banyak diekspos, kekompakan itu menjadi ciri khas Perancis di Piala Dunia Rusia. Setiap pemain merasa dilibatkan dan menjadi bagian kesuksesan itu. Mendy, yang hanya tampil sekali dan sebagai pemain pengganti dari tujuh laga Les Bleus, turut bergembira dan menjadi bagian integral dari tim juara itu.
”Kami berkorban untuk satu sama lain. Meski berbeda-beda (latar belakang dan warna kulit), kami tetap bersatu karena mengenakan kostum dan membela negara yang sama. Ini adalah hal menakjubkan. Kami kuat karena bersatu. Anak-anak (Perancis) kini akan bangga mengenakan kostum dengan nama kami di punggungnya,” ujar Antoine Griezmann, penyerang Perancis yang banyak berkorban untuk mundur ke belakang di laga final.
Kolektivitas, ditambah kualitas teknik individu macam Pogba dan Mbappe, membuat Kroasia mati langkah. Hanya dengan satu dua sentuhan, Les Bleus mampu membuat gol dari jauh, salah satunya ditunjukkan lewat gol Mbappe.
”Hari ini kami punya (kekuatan) mental dan psikologi, dua hal yang sangat menentukan di turnamen ini. Kita lihat, banyak tim kuat di Rusia, tetapi berguguran karena faktor itu. Jika saja kami menang di Piala Eropa dua tahun lalu, barangkali kami tidak akan di sini (final dan juara). Tekad dan mental adalah segalanya,” ujar Deschamps.