Nizhny Novgorod, Kompas Uruguay beruntung memiliki Pelatih Oscar Tabarez. Sosok berusia 71 tahun ini menjadi pemimpin yang mengajarkan bagaimana pemain untuk ”becermin”, melihat realita dan menyelaraskan dengan ekspektasi hingga akhirnya bisa pulang dari Rusia dengan kepala tegak.
”El Maestro”, julukan Tabarez, seperti biasa selalu berbicara pelan dan panjang lebar ketika konferensi pers, seusai timnya dikalahkan Perancis, 0-2, pada laga perempat final di Stadion Nizhny Novgorod, Jumat (6/7/2018). ”Kami pernah kalah sebelumnya, jadi kami tidak belajar sesuatu yang baru hari ini,” kata Tabarez yang mengasuh Uruguay sejak 2006.
Perancis, diakui Tabarez, bermain jauh lebih baik daripada timnya. Setelah bermain dalam empat laga dan baru kebobolan satu gol, benteng pertahanan Uruguay akhirnya bisa jebol ketika bertemu skuad ”Les Bleus”. Jose Gimenez, bek yang menjadi pilar di lini belakang Uruguay bersama Diego Godin, sampai menangis di akhir laga.
Kiper Fernando Muslera juga melakukan kesalahan fatal saat tidak mampu menahan tendangan Antoine Griezmann dari jarak jauh. Bola itu terpental dan masuk ke gawang setelah mengenai tangannya.
Ketika lini belakang goyah, lini depan tim berjuluk ”La Celeste” ini juga timpang karena striker Edinson Cavani absen akibat cedera. Luiz Suarez pun kehilangan partner idealnya saat menyerang. Cristhian Stuani yang menjadi partner Suarez pada laga itu, belum bisa bermain setajam Cavani.
Namun, Tabarez menegaskan, kegagalan ini bukan kesalahan individu, melainkan kesalahan tim. ”Saya juga tidak mau cuci tangan dan menyalahkan para pemain,” katanya.
Tabarez lalu bercerita, Uruguay hanyalah negara kecil yang bertarung melawan negara-negara besar dan kuat. Uruguay tidak memiliki fasilitas pengembangan pemain sebaik yang dimiliki tim-tim Eropa. Inilah salah satu yang menyebabkan tim-tim Amerika Latin kian sulit bersaing dengan tim Eropa.
Selain Uruguay, Argentina dan Brasil juga sudah tersingkir sebelum babak semifinal Piala Dunia 2018. Dengan demikian, babak semifinal nanti hanya akan diisi tim-tim Eropa.
Inilah cara Tabarez mengajak timnya melihat ke ”cermin”. Ia mengingatkan akan kekurangan timnya dan di sisi lain menunjukkan kemampuan yang sudah mereka perlihatkan. Keberhasilan melaju hingga perempat final Piala Dunia, ketika tim-tim favorit lainnya sudah berguguran, juga patut diperhitungkan.
”Saya sangat menghormati Uruguay mereka tim yang sangat kuat,” kata Griezmann yang tidak melakukan selebrasi saat mencetak gol. Gaya permainan Uruguay, bagi Griezmann, mengingatkannya pada Atletico Madrid, klub yang dibelanya dan baru saja meraih gelar juara Liga Europa.
Era baru
Sayangnya, skuad ”La Celeste” masih diperkuat beberapa pemain yang sedang menatap masa senja. Cavani, Suarez, Godin, Muslera, dan beberapa pemain kunci lainnya berusia di atas 30 tahun. Artinya, kemungkinan mereka tidak tampil lagi di Piala Dunia 2020.
Meski demikian, para pemain gaek itu masih bisa memberi kebanggaan untuk negaranya pada Copa America 2019 di Brasil. Jika melihat penampilan di Rusia, mereka punya kans besar meraih sukses di Brasil nanti.
Namun, untuk ajang sebesar Piala Dunia, Uruguay perlu melahirkan generasi baru agar bisa mengulang kesuksesan meraih gelar seperti tahun 1930 dan 1950. Proses panjang Tabarez untuk membangun skuad sejak 2006 harus dilakukan lagi.
”Piala Dunia akan selalu ada setiap empat tahun. Saya pun yakin Uruguay akan tetap menjadi negara yang kuat karena kami bisa terus berkembang,” kata Tabarez.