Setelah kegagalan pada Piala Dunia 2018, tim Jerman dihujani kritik pedas. Seusai kekalahan dari Korea Selatan, Jerman langsung pulang dengan sambutan pendukung yang datar. Sungguh kontras dibandingkan saat ”Die Mannschaft” pulang seusai menjuarai Piala Dunia Brasil 2014.
Perayaan setelah Jerman menjadi tim Eropa pertama yang berjaya di Amerika Selatan itu diselenggarakan besar-besaran. Tim Jerman berparade menumpang truk besar dengan bak terbuka lebar. Masyarakat yang menyemut di jalan-jalan ibu kota Jerman, Berlin, mengelu-elukan mereka.
Kali ini, mereka terkena kutukan juara bertahan. Peraih empat kali juara dunia itu harus mengepak koper lebih awal setelah dihantam 0-2 oleh Korea Selatan di Kazan Arena, Kazan, Rusia, Rabu (27/6/2018) malam WIB. Mesut Oezil dan kawan-kawan pulang kampung. Mereka tiba di Frankfurt, Kamis sekitar pukul 15.00 waktu setempat.
Sejumlah pendukung Jerman memang datang ke Bandara Frankfurt, tetapi dengan sambutan yang hambar. Itulah nasib tim Piala Dunia, menang disanjung-sanjung, saat kalah dicibir. Tanggapan terhadap tim yang kalah bermacam-macam, mulai cacian, dilempari sampah, hingga ada yang kehilangan nyawa.
Para pendukung dan media massa Jerman, misalnya, kompak menyikapi kekalahan terburuk sejak Piala Dunia 1938 itu dengan sinis. Saat itu, Jerman juga gagal masuk ke perdelapan final. Seorang suporter, Guenther Kuemmel (67), membawa poster bertuliskan ”Permainan yang Memalukan” ke Frankfurt.
Bild, surat kabar di Jerman, menulis di halaman depan dengan judul ”Tanpa Kata” dengan latar belakang wajah gelandang Jerman, Toni Kroos, yang muram. Judul tersebut menggambarkan permainan Jerman yang begitu mengecewakan hingga membuat publik terdiam seribu bahasa.
Pada Piala Dunia 2014, judul itu juga digunakan setelah Jerman menggilas tuan rumah Brasil dengan skor 7-1. Bedanya, empat tahun lalu permainan Kroos dan kawan-kawan begitu memukau hingga membuat khalayak tak bisa berkata-kata.
Kebisuan itu pecah oleh kegagalan Jerman di Rusia. Kritik pedas berhamburan. Portal berita olahraga Jerman, Kicker, memuat artikel dengan judul ”Kegagalan Kolektif” dengan kalimat, ”Tidak ada tim sejati di Rusia”.
Pembuat undang-undang Jerman dari partai sayap kanan anti-imigran, Alternatif untuk Jerman (AfD), Jens Maier, secara keras mengecam Oezil. ”Tanpa Oezil, Jerman pasti menang,” ujar Maier menanggapi pemain keturunan Turki yang memicu kemarahan publik karena pertemuannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebelum Piala Dunia 2018 bergulir.
Mengenaskan
Setali tiga uang, respons masyarakat Mesir terhadap kekalahan tim nasionalnya tak kalah keras. Tanggapan itu mengemuka di tengah kesulitan politik dan ekonomi Mesir. Analis politik Mesir, Abdullah el-Sennawy, mengatakan, aksi Mesir di Piala Dunia 2018 seharusnya bisa menimbulkan harapan di tengah krisis. ”Kekecewaan karena olahraga yang buruk biasanya tidak berdampak terhadap bidang lain, kecuali jika publik sudah tak punya harapan,” katanya.
Nasib Jerman dan Mesir itu sebenarnya jauh lebih beruntung dibandingkan tim-tim yang gagal di Piala Dunia berpuluh tahun silam. Tim Argentina, misalnya, disambut lemparan sampah dari para pendukungnya yang murka setelah kembali dari Piala Dunia Swedia 1958.
Berdasarkan buku Tim-tim Juara Piala Dunia Sepanjang Masa yang disusun Aditya Nugroho bersama tiga penulis lain dan diterbitkan Sadean Laris Publisher tahun 2014, para pemain Argentina dilempari berbagai benda, mulai koin hingga sayuran, lantaran baru babak penyisihan sudah tumbang.
Nasib bek tengah Kolombia, Andres Escobar, lebih mengenaskan. Escobar mencetak gol ke gawang sendiri pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Setelah pulang, Escobar ditembak hingga tewas. Pada Piala Dunia yang sama, rumah kiper Joseph-Antoine Bell dibakar oleh suporter setelah Kamerun tersingkir di fase grup. Dia dianggap sebagai penyebab kegagalan Kamerun. (AFP/AP/BAY)