Menanti ”Drama Berseri” Di Rusia
Setelah rehat sejenak, Jumat (29/6/2018), Piala Dunia Rusia 2018 kembali bergulir Sabtu (30/6) ini. Duel babak 16 besar bakal menjanjikan lebih banyak drama mengalir, baik tawa maupun air mata. Faktor mental dan psikis bakal menentukan pada babak ”hidup-mati” ini.
KAZAN, KOMPAS Piala Dunia Rusia telah menghadirkan kejutan dengan pulangnya juara bertahan, Jerman, setelah dikalahkan Korea Selatan, 0-2, di Kazan Arena, 27 Juni lalu. Stadion di Republik Tatarstan, Federasi Rusia, itu bakal kembali menjadi saksi pulangnya satu ”raksasa” lainnya, yaitu Argentina atau Perancis, Sabtu (30/6) malam ini.
Argentina lolos dramatis berkat gol Marcos Rojo di pengujung laga kontra Nigeria, Selasa lalu. Drama serupa, tetapi menyakitkan, dialami Jerman yang kebobolan dua gol pada menit injury time babak kedua.
Dua laga ini seolah mewakili karakter Piala Dunia Rusia yang bak film thriller Hollywood, yaitu menegangkan, dramatis, dan penuh efek ”wow” hingga di akhir pertunjukan.
Dari 122 gol yang tercipta pada 48 laga babak penyisihan grup, 25 gol atau seperlima di antaranya dicetak pada menit-menit akhir atau setelah menit ke-85. Ini merupakan rekor baru di Piala Dunia sejak turnamen itu mengadopsi format 32 tim peserta pada 1998 silam.
Pada babak 16 besar, gol-gol dramatis di akhir laga, bahkan hingga adu penalti, bakal lebih sering terjadi mengingat setiap laga menjadi duel hidup atau mati. Untuk itu, para raksasa yang kini diunggulkan, seperti Brasil, tidak bisa jemawa. Satu saja kesalahan kecil, apalagi di kotak penalti, bisa menjadi petaka.
Selain para wasit di medan ”tempur”, setiap laga juga ikut diawasi empat wasit VAR (asistensi video) dengan memanfaatkan puluhan kamera video dari berbagai sudut di dalam stadion. Jadi, nyaris mustahil pelanggaran serius di kotak penalti bisa lolos pada Piala Dunia kali ini.
VAR telah berdampak besar pada Piala Dunia 2018. Tujuh penalti, dari total 24 penalti di penyisihan grup, tercipta menyusul ”intervensi” VAR. Lagi-lagi, ini menjadi rekor baru di Piala Dunia.
Sebagai perbandingan, pada Piala Dunia 2014, hanya tercipta 13 penalti di Brasil, mulai dari penyisihan grup hingga ke final. VAR juga berandil besar meninjau insiden penting, salah satunya mengesahkan gol pertama Korsel yang membuat Jerman ”hancur”.
Tak ayal, meskipun tengah percaya diri tinggi menyusul grafik permainan menanjak seiring berakhirnya penyisihan grup, Brasil enggan besar kepala jelang menghadapi Meksiko.
Banyak orang menilai, ini merupakan kesempatan besar mereka untuk membayar kegagalan di rumah sendiri tahun 2014 lalu sekaligus ”menjajah” tanah Eropa, seperti halnya dilakukan sang legenda, Pele, pada Piala Dunia 1958 di Swedia.
Jalan mereka bakal sangat terbuka mengingat tidak ada lagi tim-tim besar seperti Jerman dan Italia, dua tim pengoleksi total delapan trofi Piala Dunia. Perancis, favorit juara lainnya, belum tampil meyakinkan sejauh ini.
Adapun Argentina dan Spanyol tengah dilanda ”turbulensi”. Namun, Pelatih Brasil Tite meminta timnya, yang belum terkalahkan dan hanya sekali kebobolan, tetap membumi.
”Ekspektasi memang tinggi. Namun, kami masih dalam proses untuk berevolusi dan berkonsolidasi. Bursa taruhan sangat acak (soal pilihan favorit). Bagi kami, yang terpenting adalah tim terus bertumbuh dan semakin kuat. Kami tidak hidup dalam ekspektasi, tetapi realitas,” ujar Tite mengenai ekspektasi publik akan timnya dalam jumpa pers di Moskwa, Rabu lalu.
Meski memiliki pertahanan labil dan dianggap lolos ke 16 besar karena beruntung, Meksiko memiliki ”senjata mematikan” yang bisa memulangkan tim ”Samba”. Senjata itu melekat pada ”trisula” serangan yang berbahaya, yaitu Javier Hernandez, Hirving Lozano, dan Carlos Vela. Mereka telah mengemas tiga gol dan membuat Jerman tersingkir.
Selain itu, Meksiko ingin keluar dari stigma negatif, yaitu tim ”sekadar” langganan babak 16 besar. Sejak edisi 1994, Meksiko selalu lolos ke Piala Dunia dan selalu tembus ke 16 besar, tetapi langkah mereka selalu terhenti di babak itu.
Langkah cerdik
Namun, jalan Brasil dan Meksiko ke final, jika menang di 16 besar, bakal sangat terjal. Lawan-lawan, seperti Argentina, Perancis, Uruguay, Portugal, dan Belgia, siap menanti di babak perempat final hingga semifinal.
Tak ayal, ini disebut ”jalur neraka”. Terkait hal itu, muncul anomali dari pers dan publik Inggris. Mereka tidak lagi galak ataupun sinis ketika skuad ”Tiga Singa” dibekap Belgia, 0-1, Jumat dini hari WIB.
Sebaliknya, kekalahan itu dianggap sebagai ”langkah cerdik” untuk menghindari jalur neraka tadi. Kekalahan itu membuat Inggris turun menjadi runner-up Grup G dan akan bertemu Kolombia di babak 16 besar.
Di jalur ini hanya terdapat dua nama besar, yaitu Spanyol dan Kroasia. Skenario potensi bertemu kedua tim kuat itu pun baru akan terwujud di semifinal jika Inggris bisa terus melaju. Jika Inggris bisa mengatasi perlawanan Kolombia, pasukan Tiga Singa akan menghadapi pemenang laga Swedia-Swiss pada perempat final.
Kondisi Inggris juga bakal lebih segar ketika menghadapi Kolombia, juara Grup H, karena Pelatih Inggris Gareth Southgate menyimpan sejumlah pemain intinya, seperti Harry Kane, Jesse Lingard, Jordan Henderson, dan Raheem Sterling saat melawan Belgia.
”Kami tidak mau kalah (dari Belgia). Namun, semua orang harus memahami bahwa fase gugur lebih penting,” kata Southgate dalam jumpa pers seusai laga kontra Belgia di Kaliningrad.
Inggris terakhir kali menembus perempat final Piala Dunia adalah pada 2006. Sejak saat itu, penampilan mereka terus menurun, yaitu terhenti di babak 16 besar pada 2010 dan di fase grup pada 2014.
Terkait penampilan Inggris kontra Belgia yang dinilai sejumlah pihak untuk menghindari jalur neraka tadi, bek Garry Cahill membantahnya. ”Orang boleh berdebat mengenai hal itu, tetapi kami tidak mengikuti turnamen ini dengan cara seperti itu. Kami berusaha selalu menang dan kami sangat kecewa atas kekalahan ini (dari Belgia).” katanya ketika ditemui di area mixed zone seusai laga.
Menurut pemain Chelsea itu, jalur yang mereka tempuh sebagai peringkat kedua Grup G juga tidak enteng. Ia, jika dimainkan pada laga 16 besar, bakal berduel dengan pemain sayap Kolombia Juan Cuadrado, eks pemain Chelsea yang kini tampil garang bersama Juventus.
Salah satu suporter Inggris, Darren Henman, mengatakan, Inggris tidak boleh lagi menganggap remeh lawan, apalagi sengaja mengalah agar menjadi peringkat kedua grup. ”Ingat Piala Eropa 2016? Inggris menghadapi Eslandia di babak 16 besar, tetapi juga kalah (1-2). Jadi sama saja,” katanya.
Sementara itu, Pelatih Belgia Roberto Martinez mengatakan, dirinya tidak mau pusing memikirkan jalur termudah di fase gugur karena itu sama saja. Sama seperti Inggris, Belgia juga memiliki kenangan pahit pada Piala Eropa 2016.
Saat itu, Belgia menjadi peringkat kedua dan bisa menghindari Jerman dan Italia di fase gugur. Namun, ketika bertemu dengan Wales di perempat final, mereka kalah 1-3. ”Saya rasa Anda tidak bisa merencanakan skenario terbaik,” ujarnya.
”Ketika bermain di Piala Dunia, Anda tidak bisa berpikir terlalu jauh mengenai siapa saja lawan yang bisa Anda hadapi. Anda harus fokus di setiap laga yang dimainkan,” kata bek Belgia, Thomas Vermaelen. Karena itu, penting bagi Belgia untuk bisa menjaga momentum dengan memenangi tiga laga di fase grup.
Meski demikian, Martinez juga menyimpan beberapa pemain terbaiknya, seperti Eden Hazard, Romelu Lukaku, dan Kevin de Bruyne, saat melawan Inggris kemarin. Belgia akan berjumpa peringkat kedua Grup H, Jepang, di perdelapan final.
Bedanya, Belgia masih berani mengganti Januzaj dengan Dries Mertens untuk tetap mempertajam serangan. Sementara Inggris mengerahkan Danny Welbeck, bukan Kane, Lingard, atau Sterling ketika sudah tertinggal 0-1.
Harapan Rusia
Babak 16 besar juga akan menjadi pembuktian untuk tim tuan rumah Rusia. Skuad berjuluk ”Sbornaya” itu bersiap menghadapi tim raksasa Spanyol. Rusia tampil meyakinkan pada dua partai awal penyisihan grup saat membantai Arab Saudi dan Mesir, tetapi keok telak pada laga akhir saat melawan tim kuat Uruguay.
Pendukung tuan rumah pun menaruh harapan besar di pundak skuad asuhan Stanislav Cherchesov itu untuk membawa Rusia melaju sejauh mungkin di tanah sendiri. Apalagi, terakhir kali Rusia lolos ke babak 16 besar adalah saat negara itu masih berbentuk Uni Soviet, yakni pada edisi 1986 di Meksiko.
Materi pemain dan performa tim pada penyisihan grup boleh membuat optimisme pendukung Rusia sedikit terkembang. Kiper kawakan Igor Akinfeev, gelandang Aleksandr Golovin, dan striker Artem Dzyuba tampil moncer pada dua laga awal. Tak lupa pula sang gelandang serang Denis Cheryshev, yang telah mengemas tiga gol dan bersaing di daftar pencetak gol terbanyak bersama nama-nama besar. seperti Harry Kane, Cristiano Ronaldo, dan Romelu Lukaku.
Sementara itu, sang lawan, Spanyol, tengah menghadapi gejolak. Setelah kehilangan pelatih Julen Lopetegui yang diganti Fernando Hierro jelang laga pertama Piala Dunia, skuad ”Matador” kini menghadapi kritik dari publik negeri sendiri.
Salah satunya soal pertahanan Spanyol yang dinilai sangat rapuh selama penyisihan grup, yakni kebobolan lima gol atau tiga gol lebih banyak ketimbang saat mereka menjadi juara tahun 2010. ”Saya rasa kami sudah menerima kritik yang lebih dari cukup,” kata bek Dani Carvajal yang menilai bahwa hal itu malah akan berdampak tidak baik untuk tim. (AP/ENG)