Kawasan di Bolshaya Pokrovskaya, kota Nizhny Novgorod, Rusia, pada Minggu (24/6/2018) dini hari, lebih ramai dari biasanya. Ribuan turis yang mayoritas fans sepak bola dari berbagai penjuru dunia bernyanyi gembira dan berdansa menghabiskan malam. Sulit dipercaya, kota kecil yang menjadi salah satu arena Piala Dunia 2018 ini pernah nyaris mati dan terisolasi dari dunia luar.
Di salah satu bar di depan jalan yang berada tepat di seberang Kremlin (benteng tua) Nizhny Novgorod itu, puluhan turis asal Inggris berkumpul. Mereka kompak bernyanyi. Satu tangan menggenggam bir, tangan lain mengepal ke arah langit.
”Jangan pulangkan kami/ Tolong jangan pulangkan kami/ Kami tak ingin bekerja/ Kami ingin tetap tinggal di sini dan menghabiskan bir...,” nyanyi mereka.
Nyanyian ”Don’t Take Me Home” yang menjadi mars fans tim Inggris itu mengundang perhatian ribuan orang yang melintas. Tidak lama berselang, seratusan fans sepak bola lain yang berkostum merah balas bernyanyi. Bunyi-bunyian gendang yang ditabuhkan fans Panama itu kian meramaikan suasana di jalan yang dipenuhi bar, kafe, restoran, bank, dan pertokoan itu.
Belum usai pertunjukan itu, di depan bar yang sama giliran sekelompok warga lokal bernyanyi. ”Ro-ss-ya (Rusia!), Ro-ss-ya!” teriak mereka seolah tidak mau kalah dengan suara bising yang dibuat fans Inggris dan Panama.
Meskipun saling bersaing nyaring, tidak ada ketegangan,
apalagi baku pukul di antara mereka. Padahal, timnas Inggris dan Panama akan bertanding di stadion di kota itu, sore hari. Adapun hubungan Inggris dengan negara tuan rumah Piala Dunia 2018 itu sempat diwarnai ketegangan politik menyusul kasus keracunan agen ganda Rusia dan embargo dagang oleh Uni Eropa.
Kekhawatiran akan bentrokan suporter kedua negara kian menjadi-jadi menyusul keributan yang melibatkan hooligan Inggris dan ”ultras” Rusia di Piala Eropa Perancis 2016. Suporter tim Inggris dan Rusia memang dikenal sulit akur. Tak heran, otoritas Inggris sempat mengeluarkan maklumat kepada fans tim ”Tiga Singa” agar tidak bepergian ke Rusia selama Piala Dunia.
Namun, nyatanya itu tidak menghalangi sekitar 5.000 warga Inggris untuk datang ke Nizhny Novgorod. Ketegangan hubungan politik kedua negara semakin dicairkan oleh tarian dan dansa yang melibatkan sejumlah fans Inggris dan perempuan lokal Rusia di Pokrovskaya, kemarin malam. Warga Inggris dan Rusia itu saling menggenggam tangan. Pipi warga Inggris itu bahkan dicium seorang perempuan Rusia. Tawa pun meledak seketika.
”Anda lihat sendiri, tidak ada masalah dengan kami. Itu (ketegangan) adalah masalah politik, sedangkan kami di sini ingin menikmati sepak bola dan bersenang-senang,” ujar Baz, salah seorang fans sepak bola asal London, Inggris, yang ditemui di Pokrovskaya, malam itu.
Steve, fans Inggris, bahkan mengatakan, Nizhny adalah kota di Rusia yang sangat ramah. ”Orang-orangnya luar biasa (ramah), makanannya enak, dan banyak hal menarik di sini. Ini semua sama sekali tidak kami bayangkan sebelumnya,” ujar pria muda yang sempat sedikit cemas saat hendak berangkat ke Rusia, khususnya kota Nizhny itu.
Masa lalu kelam
Kekhawatiran Steve itu dapat dimaklumi. Selain ketegangan politik Inggris dan Rusia, Nizhny memiliki masa lalu yang sangat kelam. Kota indah berbukit-bukit yang dilintasi dua sungai, yaitu Oka dan Volga, itu sempat terisolasi pada era Uni Soviet. Di era Perang Dingin, kota ini terlarang untuk warga asing, khususnya dari negara-negara Barat seperti Inggris.
Saat itu, Nizhny menjadi salah satu markas KGB, badan intelijen Uni Soviet, serta ”dapur” militer negara itu. Kapal selam, tank, dan berbagai senjata rahasia Uni Soviet diproduksi di kawasan ini. Warisan industri militer itu masih terlihat hingga saat ini dengan berdirinya pabrik pesawat tempur ternama Rusia, Sukhoi.
Nizhny, yang dari 1932 hingga 1990 dinamai Gorky (diambil dari nama sastrawan Soviet, Maxim Gorky) juga pernah menjadi kota pengasingan dari ilmuwan ternama Soviet, Andrei Sakharov. Sejumlah literatur menyebutkan, ilmuwan yang dikenal sebagai ”bapak bom hidrogen” ini diasingkan karena ”membelot” negaranya. Ia menolak bekerja untuk Uni Soviet karena menyadari dampak mengerikan dari senjata bom hidrogen atau nuklir.
Setelah Uni Soviet runtuh, nama kota itu diubah kembali menjadi Nizhny Novgorod yang artinya ”kota baru di tepi sungai”. Mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, saat berkunjung pada 1993, mengagumi transformasi cepat di kota itu. Transformasi menuju kota modern dan terbuka itu kian terasa selama Piala Dunia ini. Tanda penunjuk arah berbahasa Inggris kian banyak dipasang di pusat keramaian dan stasiun metro atau kereta bawah tanah.
Tempat-tempat kursus bahasa Inggris pun menjamur. Warga kota ini semakin berani terbuka dengan turis. Itu salah satunya diperlihatkan oleh tulisan ”Welcome, England fans!” di salah satu bar di pusat kota itu.
”Datangnya Piala Dunia menjadi kesempatan bagi kota ini untuk menghilangkan selamanya kenangan buruk di masa lalu (era Uni Soviet). Setelah Piala Dunia berakhir, kami berharap turis-turis tetap datang ke kota ini,” ujar Elena, warga Nizhny, yang bekerja sebagai pemandu di Pusat Media Nizhny Novgorod.
Tidak heran, berkat keterbukaan dan keramahan itu, fans Inggris berulang-ulang kali menyanyikan mars ”Don’t Take Me Home”. Mereka betah tinggal di Rusia, negara yang saat ini menjadi musuh politik terbesar negara itu.