Performa buruk Argentina di Piala Dunia 2018 bukanlah kejutan besar. Kemunduran La Albiceleste sudah terlihat satu dekade lalu. Argentina banjir talenta di lini depan, tetapi kering di lini tengah dan belakang.
Kekalahan 0-3 Argentina dari Kroasia terasa seperti mimpi buruk bagi para suporter tim ”Tango” yang menyaksikan langsung laga itu di Nizhny Novgorod, kota kecil di Rusia. ”Saat bangun tadi pagi, saya berharap bisa melupakan itu (kekalahan 0-3). Nyatanya, tidak. Itu terus terpatri di kepala saya. Ini momen yang sangat buruk,” ujar Farguno (21), seorang fans tim Argentina di sebuah penginapan di dekat Stadion Nizhny Novgorod, Jumat (22/6/2018) pagi.
Farguno, yang menempuh perjalanan 14.528 kilometer dari Buenos Aires (Argentina), lalu transit ke Barcelona (Spanyol) sebelum singgah di Novgorod, sering terlihat melamun. Ia tidak berselera menyantap roti dan keju sebagai sarapannya pagi itu karena memikirkan soal peluang Argentina yang kian di ujung tanduk untuk lolos ke penyisihan grup.
”Bagi kami, terutama saya pribadi, sepak bola bukanlah sekadar olahraga. Itu agama. Messi adalah ’messiah’ bagi saya. Jadi, rasanya masih menyakitkan ia, semua pemain, tampil buruk,” ujar pria muda yang mengaku sempat menangis dua kali di Stadion Novgorod ketika gawang Argentina berkali-kali dibobol Kroasia.
Thomas, rekan Farguno yang memiliki tato Messi di betis kanannya, mulai pesimistis akan peluang tim Tango untuk setidaknya mengulangi penampilan di Piala Dunia Brasil 2014 lalu. Saat itu, Argentina melangkah ke final sebelum dikalahkan Jerman. ”Kami tidak akan menonton langsung laga (Argentina) berikutnya (kontra Nigeria). Kami akan menontonnya dari pub atau kafe di Amsterdam. Mungkin akan lebih baik,” tuturnya.
Alejandro, suporter Argentina yang ditemui tengah menyendiri di Stasiun Nizhny Novgorod, mengakui, Argentina tampil buruk dan tercerai berai di dua laga terakhir, termasuk kontra Eslandia, pekan lalu. Ia menilai, buruknya performa tim Tango itu tidak terlepas dari taktik Pelatih Jorge Sampaoli.
”Taktiknya membingungkan. Ia juga sering menggonta-ganti (susunan) pemain. Pada laga sebelumnya (kontra Eslandia), ia memakai sistem empat bek. Hari ini, ia memakai tiga bek. Barangkali, di laga berikutnya (kontra Nigeria), ia memakai lima bek. Perubahan-perubahan semacam ini bisa membingungkan pemain,” ujar Alejandro.
Pilihan permainan Sampaoli sebenarnya hanya satu, bermain agresif, dengan formasi apa pun. Dia berbeda dengan Alejandro Sabella yang bisa menerima permainan bertahan dan mengandalkan serangan balik, hingga mengantar Argentina ke final Piala Dunia 2014.
Kelenturan taktik Sabella itu merupakan perdamaian dengan pemain yang dimiliki Argentina. Mereka berlimpah penyerang, tetapi sudah tidak memiliki gelandang jangkar, bek tengah, dan kiper yang brilian. Pascacedera kiper Sergio Romero, pelapisnya, Caballero, di level yang terlalu jauh di bawah. Demikian juga Javier Mascherano sudah tidak segarang 2014 sebagai penyeimbang tim dan melapis pertahanan.
Situasi itu sudah dikritisi Pelatih Argentina U-20 Sergio Batista seusai meraih medali emas Olimpiade 2008. Sumur talenta Argentina mulai mengering. Suplai pemain-pemain muda brilian ke tim senior akan menurun. Juga, tidak muncul pengganti bek tangguh Roberto Ayala. Tetapi, sedikit yang memperhatikan peringatan Batista sehingga kini jadi kenyataan.
”Orang yang mengikuti (timnas) Argentina dalam beberapa waktu terakhir tidak akan terkejut oleh penampilan mereka di Piala Dunia. Mereka kacau, dan telah mengarah ke sana sejak lama,” tulis kolumnis sepak bola Amerika Latin, Tim Vickery, di ESPN.
Argentina pun menjadi mudah ditebak karena pusat gravitasi selalu pada Messi. Satu hal yang kini sulit ditebak adalah sampai di mana langkah Argentina di Rusia.
Skenario Argentina
Peluang Argentina lolos ke babak 16 besar memang pelik. Mereka bukan lagi penentu nasib mereka sendiri karena hasil laga lain juga menentukan. Dalam aturan Piala Dunia 2018, jika kedua tim memiliki poin sama, akan ditentukan melalui selisih gol, kemudian produktivitas gol. Jika kedua tim masih imbang juga, akan ditentukan melalui poin fair-play. Ini terkait dengan poin kartu kuning (-1 poin), kartu merah tidak langsung (-3), dan kartu merah langsung (-4).
Dengan mengacu pada aturan itu, ada tiga skenario yang berpotensi dijalani oleh Lionel Messi dan kawan-kawan untuk lolos ke 16 besar. Skenario ini sebelum laga Nigeria melawan Eslandia berlangsung pada Jumat malam.
Pertama, jika Eslandia mengalahkan Nigeria, Argentina harus menang besar atas Nigeria di laga terakhir, dan Eslandia kalah dari Kroasia.
Kedua, jika Eslandia imbang dengan Nigeria, peluang Argentina lolos lebih besar. Tugas Argentina adalah menang atas Nigeria dan Eslandia kalah atau imbang dengan Kroasia.
Ketiga, Eslandia kalah dari Nigeria. Ini skenario idaman Argentina. Tetapi, anak-anak asuhan Sampaoli itu masih harus mengalahkan Nigeria, dan Eslandia imbang atau kalah dari Kroasia. Apabila Eslandia mengalahkan Kroasia hingga meraih empat poin, Argentina harus melampaui selisih gol dengan Eslandia.
Bagi Argentina, tidak ada jalan yang mudah. Pertemuan dengan Nigeria tidak pernah mudah. Terakhir, 14 November 2017, Argentina kalah 2-4 dari Nigeria pada laga persahabatan. Messi tidak tampil pada laga itu.
Namun, apabila Nigeria bisa memutus aliran bola seperti yang dilakukan oleh Luca Modric, Ivan Rakitic, Marcelo Brozovic, dan Ivan Perisik, bukan tidak mungkin nestapa mengungkung La Albiceleste. Messi diisolasi dari permainan oleh gelandang-gelandang Kroasia.
Kini, Sampaoli perlu mengembalikan motivasi dan spirit para pemain untuk bangkit dan melangkah jauh di Rusia. (ANG)