Zverev atau Thiem, Siapa Bisa Hentikan Nadal?
Musim kompetisi tenis profesional di lapangan tanah liat memasuki puncaknya manakala Paris menjadi tuan rumah Grand Slam Perancis Terbuka yang dimulai awal pekan ini. Tanpa dua petenis putra top dunia, Roger Federer dan Andy Murray, Grand Slam satu-satunya di lapangan berdebu merah ini sekali lagi praktis hanya punya satu favorit, siapa lagi kalau bukan Rafael Nadal, pemegang 10 gelar, la decima di lapangan termashyur Roland Garros.
Federer, rival abadi Nadal dan pemegang rekor 20 gelar Grand Slam, memang telah lama memberi sinyal dia tidak akan tampil di Roland Garros. Usianya yang menginjak 37 tahun pada Agustus mendatang tidak memungkinkan dia tampil di lapangan tanah liat yang membutuhkan energi ekstra. Lagi pula, lapangan ini bukanlah favorit, atau boleh dibilang paling tidak disukai maestro tenis asal Swiss itu dan hanya mendapatkan satu gelar (2009) sepanjang kariernya.
Absen di Perancis Terbuka kini bukanlah masalah besar bagi Federer, bahkan menjadi strategi untuk tetap mempertahankan kondisi kompetitifnya di ranah elite dunia. Sejak 2015, Federer absen di Paris tetapi terus bisa menambah koleksi Grand Slam. Setelah hampir separuh musim 2016 dia absen akibat cedera, Federer kembali dengan perkasa, merebut Grand Slam ke-18 di Melbourne, kemudian Grand Slam ke-19 di Wimbledon setelah absen di Paris.
Lewat pemilihan turnamen yang sangat selektif, Federer juga mengawali musim 2018 dengan brilian dan kembali menjadi kampiun di Melbourne untuk koleksi gelar Grand Slam ke-20. Tahun ini pula, dia memilih absen di Paris untuk mengejar mimpinya, gelar ke-9 di Wimbledon sekaligus ke-21 secara total.
Melihat statistiknya di lapangan rumput All England Club, ambisi Federer sepertinya cukup realistis meskipun musim ini pasca-Melbourne penampilannya agak kendor. Februari lalu, dia mengambil alih posisi petenis nomor satu dunia dari tangan Nadal.
Namun, kekalahan beruntun dari Juan Martin del Potro di final Indian Wells, disusul tumbang mengejutkan di tangan petenis Australia, Thanasi Kokkinakis, membuat pengumumannya absen di Paris menjadi lebih cepat. Meski demikian, dia akan kembali ke Wimbledon sebagai favorit terkuat dan mendapat tantangan hebat dari Murray yang diperkirakan juga pulih menjelang Grand Slam paling mashyur tersebut.
Rekor terhenti
Tanpa Federer dan Murray serta belum kembalinya Novak Djokovic ke puncak kinerja, status favorit Nadal semakin kuat meski sejumlah petenis muda dari angkatan terbaik NexGen siap menghadang perjalanannya di Paris kali ini. Nadal sendiri terbilang penuh percaya diri meski rekor kemenangannya 50 kali beruntun di lapangan tanah liat dihentikan oleh Dominic Thiem (Austria) di Madrid. Inilah kekalahan pertama Nadal di clay setelah 12 bulan sebelumnya tumbang juga oleh Thiem di Roma.
Petenis 31 tahun kelahiran Manacor, Spanyol, itu memulai musim 2018 dengan cukup meyakinkan tetapi harus mundur di perempat final Australia Terbuka akibat cedera. Dia kembali tampil dalam kondisi terbaik di musim tanah liat dengan menjuarai Monte Carlo dan Barcelona Open. Meski gagal di Madrid, pemegang 16 gelar Grand Slam ini tidak tertahankan untuk menggapai gelar ke-8 di Roma dengan mengalahkan petenis penuh bakat, Alexander Zverev, di laga final.
Zverev, juara bertahan turnamen ini, sempat membuat Nadal kesulitan, tetapi akhirnya harus mengakui kehebatan ”Raja Tanah Liat” itu dalam pertarungan tiga set yang ketat.
Dengan tiga gelar, Nadal datang ke Paris berbekal kepercayaan diri sangat tinggi untuk ke-11 kali mengangkat Coupe des Mousquetaires, sekaligus koleksi Grand Slam ke-17.
Federer dan Murray absen, Stan Wawrinka (Swiss) sudah gugur di babak pertama, tetapi sejumlah nama siap menghadang. Mereka antara lain Zverev (Jerman/unggulan ke-2), Thiem (Austria/ke-7), Marin Cilic (Kroasia/ke-3), Grigor Dimitrov (Bulgaria/ke-4), dan tentu saja Djokovic (Serbia/ke-20) si pemegang 12 gelar Grand Slam.
Alex Zverev
Dari sejumlah nama yang diharapkan mampu menghadang Nadal, Zverev mencuat sebagai favorit terkuat. Mantan petenis yunior nomor satu ini tidak hanya konsisten sepanjang musim, tetapi juga menjadi satu dari sedikit pemain muda yang mampu mengalahkan Nadal di lapangan tanah liat.
Indian Wells, Maret 2016, adalah momen yang sulit dilupakan pemain Jerman berdarah Rusia tersebut. Kala itu, masih berumur 18 tahun, Zverev menggusur Nadal di perempat final. ”Saat match point, saya benar-benar kepayahan,” ujar Zverev seperti dikutip laman BBC.
Kemenangan di Indian Wells itu adalah yang pertama bagi Zverev atas Nadal, dan meski kemudian kalah dalam empat pertemuan berikutnya, Zverev selalu memberikan perlawanan keras, termasuk lima set di Melbourne dan tiga set di lapangan clay Roma, pekan lalu. Nadal sempat tertinggal 1-3 di set penentuan sebelum diselamatkan oleh penundaan akibat hujan. Zverev kehilangan momentum dan 13 kemenangan beruntunnya terhenti.
Gelar Juara Perancis Terbuka (Era Terbuka sejak 1968) | |
Rafael Nadal: | 10 |
Bjorn Borg: | 6 |
Mats Wilander: | 3 |
Ivan Lendl: | 3 |
Gustavo Kuerten: | 3 |
Jan Kodes: | 2 |
Jim Courier: | 2 |
Sergi Bruguera: | 2 |
Meski gagal mempertahankan gelar di Roma, di antara petenis masa depan NexGen, Zverev paling banyak mencatat kemajuan dalam dua tahun terakhir. Petenis 21 tahun yang akrab disapa ”Sascha” ini telah mengoleksi lima gelar, tiga di antaranya di seri Masters, dan mencapai final pada setidaknya lima turnamen.
Dengan tinggi 198 cm, olah kaki (foot work) Sascha termasuk gesit. Tinggi tubuhnya sangat membantu dalam permainan di lapangan tanah liat yang rata-rata pantulannya lebih tinggi dibandingkan permukaan lain. Berbekal bakatnya yang sangat besar, Sascha juga punya senjata pukulan-pukulan groundstroke yang komplet dengan backhand dua tangan yang solid. Backhand Zverev terbilang cukup efektif menahan gempuran serangan Nadal yang terkenal dengan forehand menyilangnya.
Meski paling pesat perkembangannya di antara petenis-petenis muda NexGen, Sascha punya kelemahan di panggung paling elite Grand Slam. Petenis kelahiran Hamburg, Jerman, ini tidak pernah menembus perempat final Grand Slam dan terakhir dia tumbang di babak keempat Wimbledon di tangan big server asal Kanada, Milos Raonic. Tahun lalu di Roland Garros, Sascha malah harus angkat koper di babak awal setelah kalah dari petenis kawakan Spanyol, Fernando Verdasco.
Problem mental tampaknya menjadi kendala utama Zverev saat ini di panggung Grand Slam meski sepanjang kariernya dia mampu merebut delapan gelar ATP Tour. Di Roland Garros tahun ini, Zverev menempati unggulan kedua, dengan prediksi awal akan jumpa Nadal di laga puncak. Namun, di babak pertama, Zverev terlihat belum mampu mengendalikan ketegangannya dan harus bermain lima set melawan petenis non-unggulan asal Lithuania, Ricardas Berankis.
Seperti halnya Zverev, Dominic Thiem punya potensi menghentikan laju Nadal. Meraih delapan gelar sepanjang kariernya, Thiem tidak saja mengalahkan Nadal di Madrid, tetapi juga membuat pontang-panting petenis Spanyol itu di final Madrid tahun lalu. Meski kalah, Thiem tetap menjadi ancaman serius bagi siapa pun, termasuk Nadal. Gaya bermainnya yang agresif sangat cocok dengan karakteristik lapangan tanah liat meski dia meraih dua gelar di lapangan keras Acapulco dan lapangan rumput Stuttgart pada 2017.
Di Roland Garros tahun ini, Thiem berada dalam paruh perempat yang sama dengan Zverev sehingga berpotensi bertemu di babak keempat. Lawan terberat Thiem di kelompok ini kemungkinan besar petenis Jepang, Key Nishikori, yang menempati unggulan ke-19. Jika Thiem mampu menembus babak keempat, peluangnya maju ke perempat final terbuka lebar mengingat catatan buruk Zverev di ajang Grand Slam.
Kamis pagi, Nadal bertanding melawan petenis non-unggulan asal Argentina, Guido Pela, di babak kedua. Meski sempat alot di gim pertama set pertama, petenis bergaya heavy topspin ini menang dengan skor telak 6-2, 6-1, 6-1.