”Burung Kenari” Terbang Tinggi
Selama 16 tahun terakhir, Brasil gagal menaklukkan dunia. Kini, dalam racikan Tite, sang pelatih, ”tarian samba” mereka bisa saja mengguncang panggung utama di Rusia.
Empat tahun lalu, Brasil kehilangan identitasnya sebagai negara yang memperkenalkan sepak bola indah dan peraih lima gelar juara Piala Sunia. Di rumah sendiri, tepatnya di Stadion Mineirao, Belo Horizonte, tim ”Samba” dipermalukan Jerman, 1-7, pada babak semifinal Piala Dunia 2014.
Warga Brasil menyambut kegagalan itu tidak hanya dengan tangisan, tetapi juga amarah. Di Sao Paulo, suporter Brasil menjarah toko-toko dan membakar sejumlah bus. Kemarahan warga Brasil memuncak karena sebelumnya mereka sudah memprotes penyelenggaraan Piala Dunia 2014 yang dianggap sebagai pemborosan. Empat hari setelah dikalahkan Jerman, Brasil bahkan gagal merebut juara ketiga karena dikalahkan Belanda, 0-3. Sudah boros, kalah lagi.
Begitulah, Piala Dunia 2014 akan terus menjadi sejarah terkelam Brasil setelah tragedi Maracanazo tahun 1950. Waktu itu Brasil yang menjadi tuan rumah kalah 1-2 dari Uruguay dalam laga penentuan di Stadion Maracana, maka tragedi itu disebut Maracanazo atau ”tamparan Maracana”.
Tidak seperti Piala Dunia modern yang memakai format babak final, juara Piala Dunia 1950 ditentukan dengan format penyisihan grup yang terdiri atas empat tim. Uruguay keluar sebagai juara dengan 5 poin, sedangkan Brasil di peringkat kedua dengan 4 poin.
Namun, tragedi ”Mineirazo” lebih pahit, lebih segar di ingatan, dan membuat para pemain Brasil sensitif. Dante yang menjadi bek di skuad Brasil tahun 2014 itu, misalnya, sampai mengancam rekan satu klubnya di Bayern Muenchen, Thomas Mueller, pada awal Januari 2015.
”Jika kamu tak berhenti mengolok-olok, saya akan memukulmu di setiap sesi latihan,” kata Dante kepada Mueller, seperti dikutip laman The Guardian. Wajar jika Mueller, pencetak gol pembuka Jerman di Mineirao, selalu ingin mengingat momen itu dan kerap membungkusnya dalam sebuah lelucon yang membuat Dante kesal.
Luka sudah kering
Namun, Brasil tetaplah negeri tempat lahirnya para seniman sepak bola. Di setiap generasi selalu saja ada pemain-pemain brilian yang muncul dari negeri terbesar di Amerika Selatan itu. Setelah ada Pele dan Garrincha, muncul Jairzinho dan Carlos Alberto, lalu Romario dan Bebeto, era Ronaldo dan Ronaldinho, serta kini ada Neymar.
Jadi, tidak ada gunanya Brasil terus meratapi momen pahit empat tahun lalu itu. Mereka, toh, bisa bangkit kembali dalam waktu singkat, seperti yang terjadi saat Olimpiade Rio 2016 dan kualifikasi Piala Dunia Rusia 2018.
Melalui barisan para pemain U-23 yang diasuh Pelatih Rogerio Micale, Brasil membalas dendamnya terhadap Jerman pada Olimpiade 2016. Tim Brasil yang juga diperkuat Neymar dan Gabriel Jesus ini melaju ke final melawan Jerman dan menang 1-1 (5-4). Di rumah sendiri, mereka untuk pertama kali mendapatkan medali emas Olimpiade di cabang sepak bola.
Kebangkitan tim Samba dilanjutkan oleh tim senior pada kualifikasi Piala Dunia 2018 meskipun tidak mulus di awal. Namun, Brasil beruntung mendapatkan sosok penting yang mampu mengubah keadaan, yaitu Tite sebagai pelatih yang menggantikan Dunga, Juni 2016.
Dunga boleh saja menjadi salah satu pemain Brasil yang menonjol era tahun 90-an, tetapi kiprahnya sebagai pelatih tidak begitu baik. Ia hanya mampu mengantar Brasil sampai di fase grup Piala Copa America Centenario 2016. Sialnya, pada laga perdana kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Amerika Selatan, Brasil versi Dunga langsung ditundukkan Chile, sang juara Copa America itu, dengan skor 0-2.
Di bawah asuhan Dunga, Brasil kebobolan delapan gol dan mencetak 11 gol dalam enam laga kualifikasi. Begitu Tite memegang kendali, Brasil mampu mencetak 30 gol dan hanya kebobolan tiga gol dalam 12 laga. Mereka pun menjadi tim pertama yang lolos ke Rusia dari babak kualifikasi pada Maret 2017.
Tidak hanya itu, Tite kembali menjaga harga diri Brasil dalam laga uji coba kontra Jerman pada akhir Maret lalu dengan meraih kemenangan 1-0. ”Tite datang dan melakukan perubahan. Pemain tidak berbeda, tetapi cara kami bermainlah yang berbeda,” kata Neymar, seperti dikutip laman The Independent pada Maret 2017 setelah Brasil lolos dari babak kualifikasi.
Berbeda dengan cara Dunga yang cenderung bertahan, Tite lebih suka meminta pemainnya maju ke depan dan menguasai area pertahanan lawan. Mantan pelatih klub Corinthians itu ingin Brasil kembali bermain dengan penuh kegembiraan. Saatnya maju menyerang, bukannya tertunduk dan merasa inferior dengan berdiam di belakang.
Bekal Tite ke Rusia pun sudah cukup. Di lini depan, selain Neymar, ada Gabriel Jesus yang turut membawa Manchester City menjadi tim yang menakutkan saat ini. Sementara kreativitas di lini tengah dihidupkan oleh Philippe Coutinho dan Renato Augusto.
Sebagai konsekuensi permainan menyerang, lini belakang Brasil bisa sangat rentan. Namun, Tite punya solusi, yakni memainkan pemain bertahan yang punya kecepatan, seperti Thiago Silva dan Marcelo, serta mengandalkan Casemiro sebagai jangkar.
Dengan para pemain yang bertalenta dan penuh percaya diri ini, Brasil semakin siap menatap Rusia. Brasil pernah terjatuh, tetapi kini sudah mulai mengepakkan sayap dan kembali terbang tinggi dan gesit, seperti layaknya ”canarinho” atau burung kenari, julukan lain mereka.
Meski demikian, Pele tetap memberi petuah penting agar si burung kenari tidak lupa daratan. ”Anda harus selalu menghormati Jerman dan bahkan Rusia yang punya tim kuat dan diuntungkan karena bermain di rumah. Dari Amerika Latin ada Argentina yang punya segalanya untuk melangkah jauh,” kata Pele, seperti dikutip laman FIFA.
Sebelum bisa melangkah jauh, Brasil harus menghadapi tim-tim yang tidak bisa diremehkan di Grup E, seperti Swiss, Kosta Rika, dan Serbia. ”Tentu kami harus selalu menyusun taktik berbeda untuk setiap laga (di grup). Kami harus terus belajar,” kata Tite.
Skuad Brasil pun mulai menjalankan pemusatan latihan, Senin (21/5/2018), di Granja Comary, Teresopolis, sebuah daerah pertanian yang indah di Brasil. Pemandangan semakin indah karena Neymar yang sudah pulih dari cedera retak telapak kaki, terlihat ikut berlatih.
(HERPIN DEWANTO)