Janji Putin dan Krisis Kepercayaan Barat
Lebih kurang satu bulan lagi, Rusia akan menjadi pusat perhatian dunia manakala pesta besar Piala Dunia digelar di negara itu, 14 Juni-15 Juli mendatang. Sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, tentu kesiapan Rusia tidak perlu diragukan.
Namun, faktor eksternal, terutama badai krisis politik, utamanya dengan negara-negara Barat, tampaknya akan menjadi ”gangguan” yang cukup serius bahkan mengancam keberlangsungan pesta bola dunia itu jika ekskalasinya tidak menurun menjelang kick off pembukaan di Stadion Luzhniki, Moskwa.
Setelah usainya periode Perang Dingin yang konyol, krisis politik antara Rusia dan negara-negara Barat kembali mencuat saat Kremlin menganeksasi Semenanjung Crimea, wilayah kedaulatan Ukraina, pada 2014. Ribuan korban jatuh, terbanyak di pihak Ukraina yang mencoba bertahan dari invasi Kremlin melalui milisi pemberontak yang dipersenjatai Moskwa di wilayah timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia.
Puncak ketegangan antara Kremlin dan Barat terjadi saat pesawat sipil komersial milik Malaysia Airlines nomor penerbangan MH17 ditembak jatuh oleh rudal yang ditembakkan milisi pro-Rusia di atas Donetsk, Ukraina, 17 Juli 2014. Pesawat yang terbang dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur itu terempas berkeping-keping dan menewaskan 283 penumpangnya, termasuk 80 anak-anak dan 15 awak pesawat.
Setelah 15 bulan penyelidikan, pihak Badan Keselamatan Transportasi Belanda mengumumkan, pesawat naas MH17 jatuh akibat tembakan rudal Buk buatan Rusia. Pada September 2016, penyelidikan internasional juga mengungkapkan, rudal Buk tersebut dibawa masuk dari teritorial Rusia dan ditembakkan dari wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak dan milisi pro-Moskwa.
Seperti biasa, Kremlim membantah keras hasil penyelidikan tersebut dan menuduh Barat membuat kampanye hitam untuk mendiskreditkan Rusia. Sampai hari ini, Kremlin tetap membantah keterlibatannya dalam pembantaian MH17 tersebut.
Reda isu Ukraina—negara bekas Uni Soviet yang ingin bergabung dengan blok ekonomi Barat—ketegangan antara Rusia dan Barat kembali memanas pada masalah politik dan keamanan Suriah. Ketegangan ini jauh lebih kompleks dengan lingkup yang lebih luas.
Meski demikian, isu Suriah ini tidak secara frontal mengancam keberlangsungan Piala Dunia, sejalan dengan kekalahan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Meski ratusan ribu nyawa rakyat Suriah melayang dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi, tragedi Irak yang juga melibatkan perseteruan Rusia dan Barat, terutama Amerika Serikat, tidak serta-merta mengancam penyelenggaraan Piala Dunia. Justru kasus percobaan pembunuhan mantan agen ganda Rusia, Sergei Skripal, dan putrinya, Yulia, beberapa bulan lalu di Inggris, yang memicu ancaman boikot sejumlah negara Eropa Barat.
London secara resmi menuduh Kremlin berada di balik upaya pembunuhan itu dengan menggunakan racun mematikan—hal yang biasa dilakukan oleh rezim Kremlin di masa lalu untuk menyingkirkan para pembangkangnya—untuk membunuh Sergei dan Yulia yang sampai saat ini kondisinya belum pulih. Seperti biasanya, Moskwa membantah tuduhan ini.
Di New York, Duta Besar Rusia untuk PBB Vasily Nabenzya meminta sidang darurat Dewan Keamanan untuk menanggapi tuduhan serius Inggris tersebut. Sejauh ini, perseteruan Rusia dengan Inggris dan sekutu Baratnya masih terus berlangsung dengan sengit di berbagai forum diplomasi.
Kontroversi yang mengiringi Piala Dunia Rusia memang bukan berlangsung satu dua tahun terakhir. Rekam jejaknya terurai panjang sejak pertama kali penunjukan ”Negara Beruang Merah” itu sebagai tuan rumah pada Kongres FIFA 2010 yang penuh dengan skandal suap.
Di percaturan olahraga internasional, Rusia juga merupakan ”anak nakal” dalam kasus doping sejumlah besar atletnya di arena Olimpiade. Sejarah doping atlet-atlet Rusia yang disponsori negara juga membentang panjang sejak dua dekade lalu, tetapi sanksi tegas dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) baru diterapkan tiga tahun belakangan.
Piala Dunia terbaik
Meski diliputi berbagai masalah, dari krisis diplomatik hingga sanksi pencabutan medali puluhan atletnya, Presiden Rusia Vladimir Putin dengan penuh percaya diri telah memimpin negerinya untuk tetap berkomitmen tinggi menggelar Piala Dunia sebaik-baiknya. Pemimpin kharismatik dan tangguh ini yakin Rusia akan menjadi salah satu tuan rumah terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia yang telah berumur hampir satu abad.
Atas perintahnya, Kremlin telah menggelontorkan sedikitnya 13 miliar dollar AS (sekitar Rp 175 triliun)—sebuah rekor dalam penggelontoran dana Piala Dunia—untuk menyiapkan 11 kota penyelenggara. Tidak hanya merevonasi stadion-stadion kusam menjadi arena kelas dunia, Rusia juga bergegas membenahi seluruh infrastrukturnya untuk menjamu sekitar 3 juta tamu warga asing yang akan serempak berkunjung selama perhelatan Piala Dunia.
Rezim Kremlin berupaya keras mengubah citra ”Negara Beruang Merah” yang tertutup, kejam, dan brutal dengan merenovasi kota-kotanya menjadi terbuka, hangat, dan ramah bagi pengunjung. Kota Saransk, misalnya, yang di era Uni Soviet terkenal sebagai penjara mematikan bagi para pembangkang, kini menjadi kota cantik dengan bandar udara baru yang dipugar indah dan harum.
Kota Sochi, yang pada 2014 menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin, telah bebenah lebih dulu. Jauh sebelum ini, Putin telah mencairkan 50 miliar dollar AS untuk memastikan pesta olahraga itu berlangsung sukses dan hasilnya masih terasa hingga kini.
Kota di pinggir Laut Hitam itu setidaknya telah berubah total menjadi tempat dengan kenyamanan khas negara-negara Eropa Barat dengan jalanan yang mulus dan pemandangan pegunungan yang menawan.
Di Sochi pula, Presiden FIFA Gianni Infantino menyatakan bahwa Rusia telah sangat siap menggelar Piala Dunia 2018 saat dia memenuhi undangan Presiden Putin untuk memeriksa kesiapan 11 kota penyelenggara.
”Rusia telah sepenuhnya siap untuk menggelar festival musim panas ini, di negeri yang sangat indah ini,” ujar Infantino di hadapan para petinggi Rusia. ”Memang belum sepenuhnya siap, tetapi sudah 99 persen,” kata Infantino.
Rasisme dan holiganisme
Jika Infantino dan Putin yakin dengan kemampuan dan kesiapan Rusia, demikian pula dengan ratusan ribu fans dan wisatawan yang akan berkunjung. Bagi pendukung sepak bola, mereka sama sekali tidak peduli dengan urusan politik dan perseteruan Moskwa vs Barat.
Bagi mereka, menjadi saksi laga sepak bola kelas dunia adalah tujuan utama. Meski begitu, tetap ada sejumlah kekhawatiran bagi fans terutama terkait dengan keamanan akibat isu rasisme dan holiganisme.
Soal rasisme, korban terakhir dialami bintang Perancis, Ousmane Dembele dan Paul Pogba, yang mendapatkan teriakan-teriakan rasis saat ”Les Bleus” mengalahkan Rusia dalam laga persahabatan di St Petersburg, Maret lalu. Juru foto kantor berita AFP menjadi saksi melengkingnya teriakan rasis terhadap Dembele dan Pogba.
Kasus rasisme yang menimpa bintang Barcelona dan Manchester United itu kontan meletupkan amarah Perancis, salah satu negara yang menjadi favorit di Rusia 2018. Menteri Olahraga Perancis Laura Flessel langsung meminta aksi nyata dari masyarakat internasional, sementara FIFA berjanji melakukan penyelidikan lengkap terkait kasus ini.
Federasi Sepak Bola Rusia (RFU) menyatakan sangat menyesal dan menyerukan gerakan nasional untuk menghentikan aksi-aksi yang sangat memalukan negara Rusia tersebut.
”Saya meminta pendukung sepak bola menghentikan ini semua!” seru Igor Lebedev, wakil juru bicara Parlemen Rusia yang juga anggota komite eksekutif RFU. ”Janganlah mempermalukan negaramu sendiri,” kata Lebedev sembari mengingatkan, tanpa sanksi yang tegas terhadap pelaku rasisme, aksi-aksi tersebut masih mungkin terjadi selama gelaran Piala Dunia.
Jika infrastruktur fisik Rusia telah siap, harus diakui infrastruktur sosial mereka masih rentan ’bom waktu’ yang bisa meledak setiap saat dan mempermalukan rezim Kremlin.
Jika infrastruktur fisik Rusia telah siap, harus diakui infrastruktur sosial mereka masih rentan ”bom waktu” yang bisa meledak setiap saat dan mempermalukan rezim Kremlin. Kekhawatiran Lebedev menjadi salah satu indikator bahwa gangguan sosial serius masih menjadi ancaman besar.
Lebedev menyadari, rasisme masih menjadi ”penyakit” dalam persepakbolaan Rusia karena olahraga ini terkait erat dengan eksistensi hooligan (perusuh) sayap-kanan dan pendukung ”ultra”.
Fenomena hooligan dan ”ultra” sebenarnya muncul di Eropa Barat, terutama Inggris dan Italia, pada dekade 1980-an dan 1990-an. Fenomena dunia Barat ini kemudian merembes ke Rusia pada dua dekade terakhir seiring dengan semakin banyaknya pemain asal Afrika dan Amerika Latin berkompetisi bersama klub-klub kuat negeri itu.
Bintang Brasil, Roberto Carlos, yang pernah memperkuat klub Rusia, Anzhi Makhachkala (2011-2012), mengungkapkan pengalamannya pernah dilempar pisang, sementara bintang Brasil lainnya, Hulk (Zenith St Petersburg, 2012-2016), juga pernah mengadukan perlakukan rasisme pada RFU tetapi tidak mendapatkan tanggapan serius.
Sementara jaringan gerakan The Football Against Rasism (Fare) di Eropa melaporkan, sepanjang musim 2016-2017 terjadi 89 aksi rasisme di kompetisi liga Rusia yang dilakukan kelompok-kelompok hooligan dan ultra sayap kanan.
Presiden Putin yang mempertaruhkan reputasinya tentu tak ingin namanya tercoreng akibat ulah perusuh. Dia pun meminta pasukan keamanan menjamin tidak terulangnya bentrok berdarah antara pendukung Inggris dan Rusia seperti terjadi di Piala Eropa 2016 di Perancis.
Upaya yang dilakukan Rusia pun terbilang keras. Kepala badan sepak bola antidiskriminasi, Alexei Smertin, dalam tiga tahun terakhir melakukan upaya ”deradikalisasi” terhadap sejumlah kelompok hooligan Rusia. ”Kami perlu memperkenalkan tanggung jawab personal kepada mereka. Pendukung yang berbuat rusuh akan ditolak masuk stadion,” ujar Smertin.
Dia tidak pernah mengecam aksi kekerasan yang dilakukan perusuh dan ultra kanan.
Meski jaminan telah diberikan Presiden Putin dan upaya keras dilakukan Smertin, kekhawatiran soal keamanan terkait hooligan dan ultra kanan masih tetap membayang. Pavel Klymenko, salah satu petinggi Fare, mengingatkan, Putin punya catatan buruk terkait kerusuhan sepak bola di Rusia. ”Dia tidak pernah mengecam aksi kekerasan yang dilakukan perusuh dan ultra kanan,” ujar Klymenko.
Infantino telah memuji Putin. Demikian pula pemimpin Rusia itu telah menjamin, tetapi Klymenko tetap mengingatkan, kultur kekerasan sepak bola Rusia yang merebak sejak runtuhnya Uni Soviet telah mengakar kuat, berbaur dengan senofobia dan rasa nasionalisme berlebihan.