Tak Luluh Lantak dalam Jadwal Ketat
Para pemain tim pemenang Piala Dunia FIFA 2018 harus bertarung tujuh kali dalam empat pekan. Padahal, mereka hadir tak lama setelah dikuras oleh puluhan partai pertandingan sepanjang musim di klub masing-masing. Namun, jangan khawatir. Pemain bola elite dunia punya kemampuan untuk tetap prima di jadwal yang teramat padat dan ketat.
Sabtu, 26 Mei 2018 nanti, akan menjadi hari teramat penting dalam hidup Toni Kroos dan Emre Can sebagai pesepak bola. Pada hari itu (Minggu dini hari, 27 Mei 2018, di Indonesia) di Stadion Olimpiyskiy, Kiev, Ukraina, salah satu dari mereka bakal mengusung trofi Liga Champions, hadiah bagi klub terhebat di Benua Eropa.
Kroos, lelaki kekar 183 sentimeter berusia 28 tahun, menjadi salah satu andalan Real Madrid, wakil kedigdayaan Liga Spanyol. Can yang tingginya setara dan empat tahun lebih muda ada di kubu seberang, berkaus merah, menjadi motor Liverpool, klub bertuah Liga Inggris.
Keduanya berperan sebagai gelandang, pengalir arus serangan ke jantung pertahanan lawan sekaligus menjadi lini pertama pertahanan kesebelasan mereka. Dalam sepak bola, gelandang adalah pekerja keras. Para pemain di posisi inilah yang paling banyak menjelajah lapangan, menempuh total jarak terjauh di lapangan.
Sekitar tiga pekan setelah final Liga Champions, kemungkinan keduanya bakal kembali harus tampil perkasa. Mereka berdua akan berada di lapangan membela tim yang sama, Jerman, dalam Piala Dunia di Rusia. Kejuaraan sepak bola antarnegara itu akan dimulai 14 Juni 2018 dan Jerman dijadwalkan menjalani partai perdananya pada 17 Juni 2018.
Dalam rentang tiga pekan tersebut, Kroos dan Can dipastikan menjalani hari-hari persiapan yang supersibuk. Mereka pamit dari klub asal tempat berkarier, pulang ke Jerman, bergabung dengan tim nasional, menjalani latihan untuk membentuk tim dengan karakter permainan yang utuh seperti diinginkan pelatih, lalu bertolak ke Rusia.
Jeda waktu pertandingan itu pula satu-satunya kesempatan mereka untuk mengistirahatkan tubuh, pikiran, dan perasaan dari tekanan semusim kompetisi.
Itu gambaran kasarnya. Dalam periode itu pula mereka harus menuntaskan segala tetek bengek kehidupan sebagai pemain bola profesional. Kroos dan Can harus menyembuhkan berbagai memar, lecet, luka, terkilir, atau apa pun yang namanya cedera. Ringan atau berat, besar ataupun kecil.
Jeda waktu pertandingan itu pula satu-satunya kesempatan mereka untuk mengistirahatkan tubuh, pikiran, dan perasaan dari tekanan semusim kompetisi. Lalu, semua komponen fisik dan mental itu harus kembali dibangunkan, dipulihkan, hingga mencapai titik kesiapan tempur terbaiknya.
Hari-hari teramat sibuk seperti itu juga akan dialami oleh banyak pemain tim nasional kontestan Piala Dunia, khususnya mereka yang berkarier di klub-klub Eropa. Lionel Messi si ujung tombak Argentina, misalnya, baru akan menuntaskan partai pertandingan terakhirnya membela Barcelona di hari terakhir La Liga Spanyol, 27 Mei 2018.
Kompetisi antarklub lokal di negara-negara Eropa pun semuanya baru berakhir di bulan ini. Maka, kesibukan menyiapkan diri menuju Piala Dunia bakal diderita banyak pemain karena klub-klub di sana dipenuhi banyak pemain terbaik dari seluruh benua.
Kabar mencekam selanjutnya adalah: Piala Dunia bukanlah kejuaraan dengan jadwal yang ramah. Kejuaraan itu ditandai dengan waktu penyelenggaraan yang relatif singkat untuk jumlah pertandingan yang tak sedikit.
Paling ringan, sebuah tim harus menjalani tiga partai pertandingan dalam kurun 15 hari sebelum kandas di putaran grup. Tiga pertandingan artinya para pemain harus datang ke satu kota, tinggal di penginapan, mencoba arena, bertanding, lalu berkemas-kemas, hijrah ke kota yang berbeda untuk masuk ke penginapan yang berbeda, mencoba gelanggang baru, dan begitu seterusnya hingga tiga kali.
Yang paling berat adalah finalis. Untuk meraih predikat negara sepak bola terbaik, para pemainnya harus terlebih dulu bertanding tujuh kali dalam kurun sekitar sebulan. Empat pekan.
Dalam penggalan waktu tersebut, mereka harus mengulangi ritual berpindah kota, penginapan, mencoba arena, dan bertanding sebanyak tujuh kali. Dalam kurun itu pula, para pemain harus kembali membugarkan kondisi, menyembuhkan cedera, menyelaraskan strategi dan taktik baru.
Jadwal dan penampilan
Jadwal teramat padat di Piala Dunia—dan kesibukan di kompetisi klub sebelumnya—kerap membuat banyak orang bertanya-tanya. Apakah sesungguhnya Piala Dunia menyuguhkan pertandingan bermutu? Apakah jadwal pertandingan yang padat membuat unjuk kerja (performance) pemain melorot? Apakah penampilan mereka sesungguhnya tidaklah sebaik yang seharusnya?
Pertanyaan seperti itu pula yang menggoda empat ilmuwan, Joao Renato Silva, Michael Rumpf, Maxime Hertzog, dan George Nassis. Mereka adalah kumpulan peneliti di Program Kesehatan Olahraga Nasional Qatar yang berasal dari Portugal, Selandia Baru, dan Jerman.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, keempatnya meneliti penampilan sejumlah pemain yang berlaga di Piala Dunia Brasil 2014. Mereka memanfaatkan data penampilan pemain yang disimpan FIFA, antara lain berupa rekaman video delapan kamera yang secara simultan melacak pergerakan pemain di seluruh sektor lapangan dengan kecepatan 25 bingkai gambar per detik. Data itulah yang menjadi bahan analisis keempat peneliti.
Mereka memilih 17 pemain sebagai sampel. Kriterianya, mereka berasal dari empat tim semifinalis: Jerman, Brasil, Argentina, dan Belanda. Artinya, para subyek penelitian bermain tujuh kali (jumlah maksimal) sepanjang Piala Dunia Brasil 2014 (termasuk partai final dan play off perebutan posisi ketiga kejuaraan).
Para pemain terpilih juga haruslah yang tampil di 85 persen dari total waktu pertandingan yang menjalankan timnya. Maka, terpilihlah delapan pemain bertahan, lima gelandang, dan empat penyerang sebagai subyek penelitian. Enam pemain di antara mereka merupakan anggota tim Jerman, lima dari Argentina, empat dari Belanda, dan dua dari Brasil.
Para peneliti berfokus pada jarak tempuh dalam empat aktivitas untuk menyelisik terjadinya penurunan penampilan para pemain. Empat aktivitas tersebut berupa lari intensitas rendah (low intensity running/LIR), lari intensitas menengah (moderate intensity running/MIR), lari intensitas tinggi (high intensity running/HIR), dan sprint.
Aktivitas lari disebut berintensitas rendah jika kecepatannya kurang dari 11 kilometer (km) per jam atau sekitar dua langkah per detik. MIR punya ukuran 11-14 km per jam dan lari HIR punya kecepatan di atas 14 km per jam. Namun, jika kecepatan sudah lebih dari 25 km per jam, aktivitas lari sudah dikategorikan sebagai sprint.
Bahkan, dua di antara subyek penelitian meraih puncak penampilan mereka di partai final.
Dalam riset itu para peneliti menyimpulkan, secara umum penampilan para pemain tetap terjaga dalam jadwal yang padat di Piala Dunia. Bahkan, dua di antara subyek penelitian meraih puncak penampilan mereka di partai final atau laga ketujuh.
Puncak penampilan, peak performance, adalah titik pertemuan optimal dari garis-garis grafik kemampuan yang diukur. Pada titik itu, seorang pemain diyakini punya kemampuan untuk menyajikan aksi terbaiknya.
Meski bisa mempertahankan unjuk kerja mereka, tidak berarti para pemain mampu beraksi eksplosif dan punya daya jelajah yang hebat terus-menerus. Silva dan kawan-kawan juga menemukan grafik penurunan dalam penampilan pemain.
Misalnya, rata-rata akumulasi jarak tempuh para pemain di perdelapan dan perempat final lebih pendek dibandingkan partai pertandingan lainnya. Total jarak lari HIR mereka di perempat final juga lebih pendek dibandingkan di partai pertandingan perdana, semifinal, dan final. Sprint pemain di perempat final juga lebih sedikit dibandingkan di final.
Secara umum, skor gabungan intensitas gerak lokomotor (lari) para pemain berada di titik terendahnya pada perempat final. Namun, kemampuan gerak itu tiba-tiba melambung di semifinal dan final. Bahkan, kemampuan para pemain di dua partai terakhir itu tercatat lebih bagus dibandingkan aksi mereka di partai pertandingan pembuka.
Agaknya ada tiga faktor besar yang membuat para pemain bola elite dunia tersebut bisa menjaga tingkat penampilan mereka dalam kompetisi ketat di jadwal yang padat.
Pertama, mereka punya fondasi kebugaran fisik yang prima. Kedua, meski sempit, ”jendela waktu istirahat” yang diberikan mencukupi bagi pemain untuk bisa memulihkan kondisi. Ketiga, karakter permainan beregu yang membuat setiap individu bisa dengan baik mengembalikan metabolisme tubuh ke tingkat normal, bahkan ketika di dalam pertandingan.
Para ilmuwan olahraga sepakat, kebugaran seorang atlet berdiri di atas kemampuan tubuhnya menyerap oksigen. Itu fondasinya. Semakin banyak paru-paru bisa menyerap udara dan mengalirkan oksigen ke sel-sel tubuh, semakin baik pula proses pemanenan energi yang bisa dilakukan.
Oksigen juga berfungsi mendaur ulang produk-produk samping pelepasan energi—seperti asam laktat—untuk kembali digunakan sebagai bahan bakar (satu bentuk recovery).
Jika oksigen mampu dipasok terus-menerus dengan baik, proses aksi dan recovery, pemulihan, berlangsung dengan cepat.
Kasarnya, jika kita kekurangan oksigen, kita tidak dapat cukup menghasilkan energi yang dibutuhkan dalam beraktivitas sedang hingga berat. Otak pun akan memerintahkan tubuh untuk stop. Dalam olahraga, itu berarti berhenti berlari, berhenti menendang, memukul, atau mengayuh. Perintah itu antara lain disampaikan lewat rasa lelah.
Jika oksigen mampu dipasok terus-menerus dengan baik, proses aksi dan recovery, pemulihan, berlangsung dengan cepat. Sedemikian singkat dan cepatnya proses pemulihan itu hingga jamak berlangsung di tengah permainan.
Sejauh ini, ukuran yang dipakai untuk menetapkan kemampuan penyerapan oksigen adalah besaran VO2 max. Disebut juga sebagai daya tahan kardiovaskular atau kapasitas optimal paru-paru, VO2 max merujuk pada banyaknya oksigen yang diserap (dalam mililiter) per berat badan per menit.
VO2 max yang tinggi juga berarti primanya kerja jantung dan lancarnya saluran-saluran pembuluh darah. Dampak kondisi ini adalah proses pengangkutan zat gizi dan material lain yang dibawa darah ke seluruh bagian tubuh berlangsung dengan mulus.
Dampaknya, jika ada bagian tubuh kita yang sakit atau cedera dapat cepat sembuh karena mulusnya pengangkutan zat-zat penyembuh atau pemulihnya.
Seberapa bagus VO2 max pemain bola elite dunia? Jika laki-laki usia fit 20-29 dikatakan punya daya tahan kardiovaskular yang sangat baik (superior) dengan besaran VO2 max 53, pemain bola elite dunia yang kebugarannya di atas rata-rata punya ukuran VO2 max minimal di angka 65.
Jika ingin membandingkan perbedaan kemampuan di antara dua kelompok tersebut, suruhlah seorang pria dewasa dari kelompok kebugaran superior itu berlari mengelilingi lintasan atletik. Harap diingat, meski bukan atlet, seseorang yang punya VO2 max 53 pastilah dia sangat rajin berolahraga, rajin mengikuti lomba lari 5K, 10K, hingga maraton. Hasil di weekend race itu pun di atas rata-rata penghobi yang lain.
Lelaki dengan VO2 max yang superior itu bakal bisa sembilan kali mengelilingi lintasan atletik (satu keliling penuh berjarak 400 meter) dalam tempo 15 menit. Adapun pemain bola yang jadi pembandingnya akan mampu menempuh jarak 1,1 kilometer lebih jauh dalam waktu yang sama.
Tingkat kebugaran para pemain bola elite dunia yang seperti itu dibantu dengan kepiawaian FIFA menata jadwal pertandingan Piala Dunia. Meski padat, FIFA bisa memberikan jeda antarpertandingan sebuah tim dengan rata-rata 111 jam. Rentang pastinya tentu bervariasi dari tim ke tim yang lain, yaitu 90 hingga 146 jam.
Jeda waktu tersebut sangat mencukupi bagi para pemain untuk memulihkan kondisi. Lewat studi literatur atas sejumlah penelitian terdahulu, Silva dan kawan-kawan menyimpulkan, seorang pemain bola elite dunia memerlukan waktu jeda antarpertandingan kurang dari 90 jam untuk bisa memulihkan kondisi fisik ke titik semula.
Karakter aksi
Faktor ketiga yang membantu pemulihan cepat pesepak bola adalah karakter aksi seorang atlet dalam permainan sepak bola itu sendiri. Secara umum, pemain elite kelas dunia memang punya statistik menakjubkan dalam sebuah pertandingan.
Dalam 90 menit pertarungan, seorang pemain menempuh jarak total 10-11 km. Dia juga berganti-ganti aktivitas setiap 5 detik. Selama pertarungan itu pula seorang pemain tercatat melakukan 1.300 aksi, 200 di antaranya berupa gerakan dalam intensitas tinggi.
Namun, jika dibedah lebih detail, tidak dalam keseluruhan tempo 90 menit, seorang pesepak bola elite beraksi dalam peluh di lapangan. Riset yang dilakukan oleh trio peneliti Denmark menunjukkan, seorang pemain menghabiskan separuh waktu permainan hanya dengan berdiri atau berjalan.
Riset terhadap 18 pemain kelas atas Eropa (juga terhadap 24 pesepak bola papan tengah sebagai pembanding) yang dirilis 15 tahun silam itu dilakukan oleh Magni Mohr, Peter Krustrup, dan Jens Bangsbo dari Institut Ilmu Olahraga Departemen Fisiologi Manusia Universitas Copenhagen, Denmark.
Hasilnya, rata-rata pemain elite Eropa menghabiskan 19,2 persen waktu permainan hanya dalam posisi berdiri; 41,5 persen untuk berjalan; 29,6 persen untuk berlari dalam intensitas rendah (LIR); 8,3 persen berlari HIR; dan hanya 1,3 hingga 1,4 persen untuk sprint.
Dibandingkan total jarak tempuh sepanjang permainan, akumulasi jarak yang dikumpulkan pemain untuk berlari dalam intensitas tinggi dan sprint pun relatif kecil. Seorang gelandang yang punya jarak jelajah paling banyak, misalnya, berlari dalam intensitas tinggi sejauh 2,23 km atau sekitar 20 persen dari total jarak yang dia buat. Total jarak sprint yang dikumpulkan seorang penyerang pun sekitar 690 meter atau hanya 6,5 persen dari total jarak tempuhnya.
Sepak bola memang bukan permainan adu lari. Jika bisa menendang bola dari jarak jauh—untuk membidik gawang atau mengumpan—untuk apa berlari menggiring bola. Menggiring bola dengan cepat atau berlari pesat tanpa bola untuk mencari posisi juga tidak selalu merupakan taktik terbaik.
Jika formasi lawan dalam menghadang cukup rapat dan sulit ditempuh, bisa jadi pilihan taktik yang harus ditempuh tim penyerang adalah dengan menurunkan tempo: para pemain mengatur posisi dengan berjalan atau berlari perlahan, memainkan umpan dari kaki ke kaki dengan sedikit demi sedikit mencari celah untuk maju.
Pembagian posisi penyerang, sektor tengah, dan bertahan juga membuat tidak semua dari 11 pemain di lapangan harus terus-menerus unjuk aksi. Saat bola berada di sektor pertahanan lawan, para pemain belakang dan sebagian pemain tengah relatif memperoleh waktu yang cukup untuk rileks.
Jadi, meski statistik sprint atau lari HIR seorang pemain dalam sebuah partai pertandingan terlihat kecil, jika dikumpulkan dari 20 atlet yang ada di lapangan—minus penjaga gawang, sepak bola tetap terlihat dinamis.
Singkat cerita, karakter permainan sepak bola sebagai olahraga beregu memberi banyak ruang bagi setiap pemain untuk terus-menerus ”mengisi ulang baterai” mereka sehingga saat diperlukan untuk tampil optimal dalam fragmen-fragmen pertarungan, para pemain itu hampir selalu siap menyuguhkan aksi yang menawan.
Lagi pula, di kejuaraan seperti Piala Dunia, mereka yang terlibat adalah para pesepak bola terbaik sejagat, pelatih terhebat di bumi, dan penyelenggara dengan pengalaman paling mumpuni di dunia.
Dengan kapasitas, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki, mereka mampu mengelola potensi besar sekaligus menekan kelemahan manusiawi (rasa lelah, jenuh, dan sebagainya) si atlet untuk menghasilkan pertarungan-pertarungan mengesankan di Piala Dunia yang jadwalnya ketat padat.
Referensi:
- Achmad Sofyan Hanif, Ramdan Pelana (ed), Buku Pedoman Biomekanik dan Kebugaran Jasmani, Kemenpora, 2008
- Magni Mohr, Peter Krustrup, Jens Bangsbo, ”Match performance of high-standard soccer players with special reference to development of fatigue”, Journal of Sports Sciences, 2003, dalam www.researchgate.net
- Joao Renato Silva, Michael Rumpf, Maxime Hertzog, George Nassis, ”Does the FIFA World Cup’s Congested Fixture Program Affect Players’ Performance?”, Asian Journal of Sports Medicine, Desember 2017, dalam www.asjsm.com