ROMA, SELASA - AS Roma ingin menghidupkan semangat gladiator saat menjamu Liverpool di pertemuan kedua semifinal Liga Champions, Kamis (3/5/2018) dini hari WIB di Stadion Olimpico. Laga itu menjadi kesempatan ”Serigala Roma” menuntaskan dendam 34 tahun yang sulit terlupa.
Olimpico, yang terletak di kawasan Viale dei Gladiatori di jantung kota Roma, akan membuat Liverpool bergidik. Warga Roma, yang rindu final kompetisi Eropa, akan melakukan segala cara, termasuk meneror lawan, agar mereka dapat membuat remontada alias keajaiban untuk kedua kali.
Roma butuh menang 3-0, seperti halnya saat menyingkirkan Barcelona di perempat final lalu. ”Dukungan penuh para suporter bakal menjadi insentif bagi kami. Kami harus bermain dengan tekad dan keyakinan tinggi untuk menciptakan keajaiban kembali,” tutur Pelatih AS Roma Eusebio di Francesco menjelang laga itu.
Radja Nainggolan, gelandang energik Roma, menjamin timnya tampil mengotot bak petarung di duel itu. ”Kami harus betul-betul fokus selama 95 menit (laga) dan memberikan segalanya. Hanya dengan cara ini kami bisa membalikkan situasi (kekalahan 2-5),” kata pemain berdarah Indonesia itu penuh fokus.
Aroma permusuhan mulai terasa sepekan jelang duel ini. Polisi Italia bahkan bersiaga penuh untuk mencegah gesekan berdarah antarsuporter kedua tim. Pekan lalu, sejumlah fans ”The Reds” bersimbah darah akibat ditusuk pendukung Roma di Inggris. Salah satu dari korban kini masih dalam kondisi kritis.
Ada alasan mengapa fans Roma bertindak senekat itu. Mereka belum bisa melupakan luka yang dibuat The Reds 34 tahun silam, yaitu di final Liga Champions 1984. Saat itu, pertama kalinya, AS Roma mencapai laga puncak kompetisi yang dulu disebut Piala Champions Eropa itu. Mereka bahkan telah membayangkan timnya juara mengingat laga final itu digelar di Olimpico.
Dramatis
Namun, di akhir laga itu, justru fans Liverpool yang berpesta. Mereka meraih trofi Liga Champions yang keempat kalinya lewat cara dramatis, yaitu adu penalti. Bagi Roma, trofi mereka dirampas tamunya itu akibat cara licik Bruce Grobbelaar, kiper Liverpool saat itu, yang sengaja menggoyang-goyangkan kedua kakinya untuk memecah konsentrasi para penendang penalti Roma.
Alan Hansen, mantan bek The Reds, masih merinding saat mengenang laga itu. Ia seolah berada di Colosseum Roma, arena gladiator di masa kerajaan Romawi, saat menjejak rumput Olimpico.
”Sungguh menyeramkan melihat kuatnya keinginan para fans yang ingin Roma memenangi laga itu. Itu sungguh membuat saya takut,” ungkap Hansen.
Tak ayal, Nainggolan dan rekan-rekannya akan tampil mati-matian untuk menyembuhkan luka fans Roma dari Liverpool. Di Francesco akan menjadikan Roma ”makhluk” berbeda dari duel sebelumnya di Stadion Anfield.
Koran Italia, La Gazzetta Dello Sport, meyakini Di Francesco akan kembali ke pakem lama, 4-3-3, yang disukainya. Pakem itu berbeda dari taktik yang dipakai Roma ketika mengalahkan Barca 3-0 di perempat final lalu.
Pola 3-5-2 yang dipakai Roma di duel kedua kontra Barca tidak mempan atas Liverpool. Tiga bek mereka tidak bisa mengimbangi kecepatan dan tekanan dari trio penyerang The Reds, yaitu Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane.
Untuk itu, Di Francesco akan kembali ke taktik lama yang disukainya, yaitu menekan dengan garis pertahanan tinggi serta umpan-umpan lambung. Taktik itu jitu ketika melumat Chelsea, tim Inggris yang dipukul 3-0 di babak penyisihan grup.
Namun, The Reds bukan Barca ataupun Chelsea yang dapat dikalahkan 0-3 tanpa balas. Gaya bermain Liverpool, yang disebut analis Simon Kuper ibarat ”angin ribut”, sulit dikompromikan oleh tim mana pun, termasuk Roma.
Juara Liga Inggris, Manchester City, membuktikannya. Nekat menyerang, City kembali dipukul The Reds, 1-2, saat bermain di markasnya. Mereka juga melumat Porto 5-0 di laga tandang.
”Saya yakin Liverpool datang ke Roma tidak untuk mencari hasil imbang, melainkan menang,” tulis John Aldridge, mantan striker Liverpool, di kolom Liverpool Echoe. (AFP/JON)