Hapus Stigma Identik Judi
Permainan menggunakan kartu remi kerap dianggap identik dengan judi. Padahal, banyak ragam permainan menggunakan jenis kartu ini, termasuk bridge. Sebagai olahraga otak, bridge tak pernah dijadikan sarana berjudi karena tingkat kerumitan yang tinggi dan waktu bermain yang relatif lama.
Stigma bridge sebagai kegiatan judi disadari betul atlet nasional asal Semarang, Sie Santoso (56). Sie mengenal bridge 30 tahun yang lalu dari temannya yang menjadi pengurus Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) di Semarang. Dari sang teman, ia belajar bermain bridge dan mulai menekuninya.
Di masa itu, belum banyak orang mengenal bridge. Olahraga itu hanya dimainkan kalangan tertentu, terutama yang tergabung dalam Gabsi. Hal itu karena peraturan permainan yang rumit dan perlu waktu lama memainkannya.
Karena stigma permainan kartu lekat dengan judi, Sie mengaku mendapat tanggapan sinis dari keluarga dan rekan-rekannya. ”Bahkan, saya pun ditinggal istri karena mendalami bridge,” ujar Sie saat ditemui di tengah pelatnas di Wisma PKBI, Jakarta, awal bulan ini.
Padahal, Sie menuturkan, permainan kartu yang digunakan berjudi tidak sama dengan bridge. Umumnya yang diperjudikan adalah permainan yang mudah dan cepat selesai. Sementara itu, bermain bridge memiliki sejumlah aturan baku dan perlu waktu berkisar 6-8 jam untuk menyelesaikan satu pertandingan.
”Lagi pula, kalau mau berjudi, adu suit saja bisa. Judi itu tergantung niat, bukan jenis permainannya,” ucap Sie.
Aturan tegas
Ketua Harian Pengurus Besar Gabsi Handoyo Susanto mengemukakan, bridge adalah olahraga sebagaimana catur. Hanya saja, bridge menggunakan kartu sebagai media permainan. Seperti olahraga lain, atlet bridge wajib menjunjung tinggi sportivitas dan dituntut menjalankan gaya hidup sehat. ”Butuh kebugaran prima dalam memainkan bridge mengingat olahraga itu menguras pikiran dan tenaga,” katanya.
Untuk itu, tempat latihan hingga pertandingan bridge harus steril dari unsur pertaruhan. ”Lagi pula, kalau sudah ada yang dipertaruhkan, orientasi atlet pasti tidak lagi mengejar prestasi,” ucapnya.
Gabsi membuat aturan tegas tidak mengizinkan atlet merokok, mengonsumsi minuman keras, apalagi narkoba di tempat latihan dan pertandingan bridge. Padahal, tidak dimungkiri banyak atlet bridge yang perokok. ”Ini aturan yang sudah lama kami terapkan agar atlet terbiasa menjaga sportivitas dan gaya hidup sehat,” ujar Handoyo.
Handoyo mengatakan, pihaknya terus menyosialisasikan bridge kepada masyarakat. Termasuk dengan mencanangkan program Bridge Masuk Sekolah sejak 2003. ”Seiring berjalan waktu, masyarakat lebih mengenal bridge. Dari 34 provinsi di Indonesia, 26 provinsi memiliki pengurus Gabsi. Mereka hadir mewadahi minat bermain bridge yang terus tumbuh,” ucapnya.
Untuk terus mengenalkan bridge sebagai olahraga prestasi, Gabsi rutin menggelar kejuaraan tingkat kelurahan hingga internasional. Secara nasional, bridge dipertandingkan secara rutin di Pekan Olahraga Nasional sejak PON 1969 di Surabaya, Jawa Timur.
Bridge juga dipertandingkan di SEA Games 2011 Palembang. ”Tak lama lagi bridge memasuki babak baru dengan dipertandingkan di Asian Games, 18 Agustus-2 September,” kata Handoyo.
Bagi atlet nasional asal Kendal, Monica Ayu Triana (20), prestasi yang diraih dari bridge secara tidak langsung meningkatkan pengakuan masyarakat bahwa bridge adalah wadah mendulang prestasi. Sebelumnya, ia juga mendapatkan pandangan sinis dari orang-orang terdekat.
”Mereka selalu mengira bridge itu judi. Orangtua saya bahkan meminta saya berhenti. Tetapi, saya terus tekuni dan buktikan bisa berprestasi. Kini, orangtua saya justru sangat mendukung,” kata peraih medali perak kejuaraan Federasi Bridge Asia Pasifik 2015 di Thailand dan 2017 di Korea Selatan itu. (DRI)