Memaknai Ritus Keseharian melalui Pameran Seni Rupa Urban di Surabaya
Pameran seni rupa urban di Kampung Plampitan, Surabaya, mengajak warga tak mengabaikan ritus keseharian.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Ibu-ibu membatik sebagai persiapan pameran seni rupa urban Ritus Liyan/Mundane Rites di Kampung Plampitan, RW 002, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/5/2024).
SURABAYA, KOMPAS — Universitas Airlangga menginisiasi pameran seni rupa urban bertajuk ”Ritus Liyan/Mundane Rites” di Kampung Plampitan, RW 002, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur. Pameran yang digelar pada 24-31 Mei 2024 itu mendorong masyarakat melestarikan momen keseharian yang sepele, tetapi bermakna dalam kehidupan.
Direktur Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIIOC) Lina Puryanti mengatakan, pameran itu digelar untuk memeriahkan Dies Natalis ke-70 atau Lustrum XIV Universitas Airlangga (Unair). Pameran itu juga untuk menyambut International Convention of Asian Scholars (ICAS) ke-13 di Surabaya pada 28 Juli-1 Agustus 2024.
”Unair menginisiasi pameran seni rupa urban ini dengan melibatkan sebelas perupa yang dua di antaranya ialah warga Kampung Plampitan,” kata Lina yang merupakan produser pameran ”Ritus Liyan” dalam jumpa pers di Balai RW 002 Peneleh, Jumat (24/5/2024).
Dalam pameran tersebut, para perupa menampilkan karya fotografi, videografi, pertunjukan, sketsa, lukisan, instalasi, serta batik buatan sendiri atau hasil kolaborasi dengan warga Kampung Plampitan.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Sketsa dan tulisan untuk pameran seni rupa urban Ritus Liyan atau Mundane Rites di Kampung Plampitan, RW 002, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/5/2024).
Kurator pameran ”Ritus Liyan”, Bintang Putra, mengatakan, karya-karya dalam pameran itu merespons ritus atau momen sehari-hari yang menjadi bagian dari pengetahuan dan kearifan lokal warga Kampung Plampitan. Karya-karya itu merupakan hasil pembacaan terhadap ritus atau laku keseharian warga yang terkesan sepele, tetapi amat bermakna dalam kehidupan.
”Ritus sering dipahami sebagai upacara meriah untuk menandai momen-momen penting dalam kehidupan, seperti selamatan, mitoni, kelulusan, dan pernikahan,” ujar Bintang.
Padahal, menurut Bintang, ada banyak ritus keseharian, seperti nongkrong, menyapu, dan menyiram tanaman, yang juga memiliki makna mendalam.
”Ritus keseharian, seperti cangkruk (nongkrong), nonggo (berbincang dengan tetangga), siram-siram, dan menyapu jalan, dilakukan tanpa kesadaran penuh karena sepele yang jika diabaikan menjauhkan kita dari makna mendalam tentang kehidupan,” katanya.
Meski berada di metropolitan berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa, Plampitan merupakan satu di antara kampung-kampung tua Surabaya yang diyakini masih melestarikan momen keseharian yang sederhana, tetapi bermakna dalam. Kampung itu berada di tepi Kalimas, terusan Kali Surabaya sebagai percabangan Bengawan Brantas.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Sketsa-sketsa untuk pameran seni rupa urban Ritus Liyan/Mundane Rites di Kampung Plampitan, RW 002, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/5/2024).
Salah satu ritus keseharian yang masih kerap dilakukan warga Plampitan adalah rujakan atau membuat dan menikmati rujak bersama-sama. Kegiatan itu merupakan salah satu momen yang menandakan kebersamaan, toleransi, dan gotong royong. Kebersamaan itu juga tecermin dalam kegiatan pembuatan batik dengan motif khas Peneleh oleh ibu-ibu di kampung tersebut.
Pameran ”Ritus Liyan” dibuka dengan pementasan Tari Remo dan pentas seni Kelompok Batik Peneleh, serta selamatan atau makan bersama. Hari kedua atau Sabtu (25/5/2024) akan diisi tur kuratorial, diskusi publik tentang merawat makam, dan pementasan sastra.
Ritus keseharian, seperti ’cangkruk’ (nongkrong), ’nonggo’(berbincang dengan tetangga), siram-siram, dan menyapu jalan, dilakukan tanpa kesadaran penuh karena sepele.
Hari ketiga akan kembali diisi tur kuratorial, diskusi bersama perupa, dan menikmati penyetan atau makanan tradisional di Balai RT 007 di Jalan Plampitan I. Pada Selasa (28/5/2024) atau hari kelima, akan digelar rujakan di Balai RT 007, tur kuratorial, dan diskusi bersama perupa.
Pada hari keenam, bakal digelar makan sate bersama di Gapura Gang X, tur kuratorial, mblakrak atau menyusuri Kalimas, serta lokakarya studio desain plang.
Kompas
Seorang warga duduk di pelataran Masjid Plampitan, Kota Surabaya, Jawa Timur, (13/10/2016). Masjid tersebut menjadi tempat pertemuan sejumlah tokoh nasional, seperti HOS Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, dan Soekarno, untuk membicarakan situasi sosial-politik nasional pada dekade 1910-an hingga 1920-an. Di depan masjid itu adalah rumah masa kecil mantan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani.
Di hari ketujuh, dilaksanakan doa canting di rumah batik tulis Peneleh dan tur kuratorial. Di hari terakhir, bakal ada pementasan Mberot Rea Reo dari Kampung Pecinan Tambak Bayan, serta pertunjukan seni Karang Taruna Plampitan dan musisi setempat.
Kenny Hartanto, perupa asal Surabaya dengan latar belakang desain produk, mengatakan, dalam pameran tersebut, dirinya akan memamerkan sketsa-sketsa monokromatik dari gerobak sate yang ada di Kampung Plampitan.
Menurut Kenny, berdasar pengamatannya, gerobak sate di Kampung Plampitan ternyata dibuat dari kayu-kayu bekas bongkaran rumah lama. Hal itu menunjukkan adanya praktik daur ulang di kampung tersebut.
Praktik daur ulang itu pula yang terus digemakan sejumlah pihak, termasuk di kalangan desainer produk, sebagai gerakan pelestarian lingkungan.