Pemilihan wali kota untuk Surabaya, Jawa Timur, tanpa calon independen yang gagal memenuhi syarat minimal dukungan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemilihan wali kota dan wakil wali kota untuk Surabaya, Jawa Timur, tanpa calon jalur perseorangan. Kandidat gagal memenuhi syarat minimal dukungan 144.209 bukti dari 16 kecamatan.
”Dua pasang calon independen yang telah mendaftar tidak dapat memenuhi syarat minimal dukungan,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya Nur Syamsi, Rabu (15/5/2024).
Pendaftaran kandidat dari jalur perseorangan (independen) berakhir pada Minggu (12/5/2024) lalu. Sampai dengan tengah malam Minggu itu ada dua pasang yang mendaftar dari jalur perseorangan. Mereka adalah pasangan calon Asrilia Kurniawati-Satria Wicaksono dan Pandu Budi Rahardjono-Kusrini Purwijati.
Nur Syamsi melanjutkan, sampai dengan batas waktu tengah malam itu, Asrilia-Satria hanya menyerahkan bukti 1.106 dukungan dari 19 kecamatan. Jumlah itu amat jauh dari syarat minimal dukungan 144.209 fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) Surabaya yang menjadi pemilih.
Serupa dialami pasangan calon Pandu-Kusrini yang menyerahkan 90.007 bukti dukungan dari 21 kecamatan. ”Oleh karena itu, berkas dukungan kami kembalikan karena kandidat tidak memenuhi syarat seperti ditetapkan dalam undang-undang,” kata Nur Syamsi.
Regulasi dimaksud ialah Pasal 41 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU. Dalam regulasi disebutkan, syarat minimal dukungan ialah 6,5 persen dari daftar pemilih tetap (DPT). Selain itu, juga bukti dukungan dikumpulkan dari 50 persen plus 1 jumlah kecamatan suatu daerah.
Di ibu kota Jatim tercatat 2.218.586 jiwa masuk dalam DPT. ”Bumi Pahlawan” terdiri dari 31 kecamatan. Untuk itu, syarat minimal dukungan jalur perseorangan harus 144.209 bukti dari minimal 16 kecamatan. Asrilia-Satria dan Pandu-Kusrini hanya dapat memenuhi syarat sebaran, tetapi gagal memenuhi ambang batas.
Padahal, kedua pasangan ini mengklaim telah membentuk tim pemenangan. Namun, tim pemenangan tidak cukup bekerja maksimal untuk pengumpulan bukti dukungan. ”Waktu untuk mengumpulkan syarat minimal dukungan setidaknya setengah tahun, sedangkan kami baru mantap ketika mendekati pendaftaran (5-12 Mei 2024),” ujar Asrilia.
Komisioner KPU Kota Surabaya Soeprayitno mengatakan, syarat minimal dukungan untuk kontestasi tahun 2024 lebih berat daripada tahun 2020 yang 138.565 lembar. Namun, sebaran masih sama, yakni minimal 16 kecamatan karena Surabaya tidak mengalami penambahan jumlah wilayah administrasi tersebut.
Dalam kontestasi 9 Desember 2020 ada dua pasang calon perseorangan yang gagal memenuhi syarat minimal dukungan. Mereka adalah Muhammad Sholeh-M Taufik Hidayat dan Mohammad Yasin-Gunawan. Pemilihan wali kota akhirnya diikuti dua pasang calon dari partai politik, yakni Eri Cahyadi-Armuji dan Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno. Eri-Armuji menang dan menjabat Wali Kota Surabaya-Wakil Wali Kota Surabaya sejak 26 Februari 2021.
Waktu untuk mengumpulkan syarat minimal dukungan setidaknya setengah tahun, sedangkan kami baru mantap ketika mendekati pendaftaran.
Dengan gagalnya dua pasangan jalur independen itu, nasib kontestasi di Surabaya serupa dengan di tingkat Provinsi Jatim. Untuk perebutan kursi gubernur-wakil gubernur tidak ada kandidat yang mendaftar dari jalur perseorangan. Syaratnya berat, yakni 2.041.158 bukti dukungan dari minimal 20 kabupaten/kota. Jatim terbagi menjadi 38 kabupaten/kota.
Satria Unggul Wicaksana Prakasa, peneliti senior Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya, menilai, syarat minimal dukungan terbatas dapat dipenuhi oleh kandidat dengan modal yang besar atau amat mengakar sehingga dipercaya oleh publik.
”Inilah yang membuat kontestasi di daerah menjadi amat mahal dan memicu perilaku koruptif,” kata Satria. Perilaku koruptif bupati/wali kota di Jatim sudah terbukti mengingat sejak 1990 sudah ada lebih dari 25 adipati yang dijebloskan ke penjara karena terbukti rasuah. Era kontestasi langsung telah terjadi sejak 2004 atau dua tahun sejak kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi dengan 20 bupati/wali kota terjerat kasus rasuah.
Satria mengatakan, perilaku koruptif kepala daerah terjadi karena biaya politik yang amat mahal untuk mengantar seseorang ke kursi utama. Di sisi lain, calon yang kalah terlilit utang besar, bahkan sampai mengalami depresi dan gangguan kejiwaan.
”Karena perlu biaya yang besar, satu-satunya cara mengembalikan, ya, dengan korupsi,” ujarnya.
Dalam penelitian Pusad, untuk pemilihan kepala desa di Jatim, rata-rata modal yang dihabiskan lebih dari Rp 2 miliar. Untuk menjadi bupati/wali kota dengan populasi 2-3 juta, biaya politiknya menembus Rp 100 miliar.
Angka ini tidak akan pernah terkonfirmasi karena para pemenang kontestasi selalu berkilah tak terlibat politik uang. Namun, keterlibatan dalam kasus korupsi yang mengonfirmasi bahwa kontestasi politik menghabiskan biaya besar.