1 Kilometer, Jarak Hidup dengan Mati dalam Kecelakaan Subang
Kecelakaan bus di Subang diakibatkan kelalaian manusia dan kendaraan yang tak layak. Para pihak harus bertanggung jawab.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
Dalam kecelakaan maut di Ciater, Subang, Jawa Barat, jarak antara hidup dan mati hanya sekitar 1 kilometer. Kelalaian manusia membuat nyawa-nyawa belia itu pergi terlalu cepat dari yang mereka kira.
Selepas makan malam, Sadira (51) berinisiatif memeriksa rem bus pariwisata Trans Putera Fajar yang ia kemudikan di halaman Rumah Makan Bang Jun, Ciater, Sabtu (11/5/2024). Pengalaman selama 28 tahun menjadi sopir bus dan beberapa kali melintasi jalur Subang-Bandung membuatnya waspada. Jalan di kawasan wisata itu tidak biasa, penuh tanjakan dan turunan curam.
”Rem anginnya sudah diisi penuh,” kata Sadira.
Merasa semuanya baik-baik saja, Sadira percaya diri melanjutkan perjalanan. Sore itu, dia membawa 64 orang rombongan siswa dan pengajar SMK Lingga Mukti Depok yang baru selesai menggelar acara perpisahan sekolah. Perjalanan dari Ciater ke Depok diperkirakan memakan waktu lebih dari 3 jam atau sekitar 160 kilometer melalui Tol Cipali.
Akan tetapi, bus keluaran tahun 2006 yang KIR-nya mati tahun lalu itu ternyata tidak sepenuhnya sehat. Baru keluar dari halaman rumah makan, rem bus ternyata tidak berfungsi. Mekanisme engine break (pengereman lewat mesin), kata Sadira, tidak bisa dilakukan. Dia kesulitan memasukkan gigi persneling bus dengan mesin di depan itu.
”Saat rem tidak berfungsi, gigi persnelingnya masih netral,” kata Sadira di Rumah Sakit Umum Daerah Subang, Minggu (12/5/2024).
Sambil sesekali memejamkan mata dan mengerutkan keningnya, Sadira menceritakan saat-saat genting itu. Tanpa rem, bus yang diduga rangkanya keropos di beberapa bagian itu meluncur cepat di jalan curam. Tidak ada jalur penyelamat di dekatnya. Sadira semakin panik dan membanting kemudi ke kanan.
Hingga akhirnya bus terguling dan terseret 80 meter. Sempat menghantam motor dan mobil yang melintas, bus berhenti setelah menabrak tiang listrik. Sadira selamat, tubuhnya terluka karena terjepit rangka bus yang dicat hijau itu.
Akan tetapi, nasib buruk dialami sembilan siswa, satu guru, dan satu pengendara motor. Mereka tewas.
Puluhan penumpang bus lain juga trauma dan terluka. Ironisnya, tempat nyawa-nyawa itu melayang hanya berjarak 1 kilometer atau tidak sampai lima menit dari lokasi Sadira terakhir memeriksa sistem pengereman bus.
Mitigasi
Kecelakaan di Subang, kata Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), memperlihatkan belum idealnya sistem mitigasi saat berlalu lintas, khususnya untuk bus dan truk.
Meski mengantongi SIM B1/B2 hingga sertifikat defensive driving training, pengemudi bus dan truk yang terlibat kecelakaan selalu saja tidak cakap melakukan deteksi dini atas kondisi kendaraannya. Saat kecelakaan terjadi di jalan menurun, misalnya, penyebabnya selalu saja rem yang blong.
Selama ini, penanganan kasus selalu berhenti di kondisi sopir bus dan kendaraan, belum pernah sampai ke pengusaha atau pemilik kendaraan.
Kasus yang dialami Sadira memperlihatkan kebobrokan itu. Meski pengalaman mengemudinya lebih lama ketimbang setengah umurnya, dia masih tidak bisa memastikan kendaraannya layak dikemudikan atau tidak. Membela diri sudah memeriksa kondisi rem, perangkat vital itu rusak tidak lama kemudian.
”Bersama dengan banyaknya bus dan truk yang sudah masuk dalam zona berbahaya dan waktu kerja sopir yang rentan kelelahan, minimnya kecakapan pengemudi ini menjadi bagian dari tiga hal besar yang rentan meningkatkan potensi kecelakaan,” tutur Djoko.
Kini, sembari menyembuhkan luka fisik dan mentalnya, Sadira terancam hukuman penjara. Apa pun alasannya, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Meski kasusnya masih diselidiki polisi, biasanya pengemudi dalam kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa ujungnya diancam Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan korban jiwa. Ancaman maksimalnya lima tahun penjara.
Akan tetapi, Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Aan Suhanan mengatakan, terbuka lebih dari satu tersangka dalam kasus ini. Selain berpotensi menjerat pengemudi, bisa saja pengusaha perusahaan bus ikut dinyatakan lalai.
Djoko menyebut sanksi bagi perusahaan bus yang lalai harus segera dilakukan. Pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi sudah seharusnya diperkarakan secara hukum. Selama ini, sopir selalu menjadi tumbal setiap kecelakaan.
”Akibatnya, kejadian serupa dengan penyebab yang sama selalu terulang. Data STNK, KIR, dan perizinan sudah seharusnya dikolaborasikan dan diintegrasikan menjadi satu kesatuan sebagai alat pengawasan administrasi,” kata Djoko.
Lebih serius
Pengamat transportasi publik Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono, berpendapat, tidak hanya pengemudi, pemilik kendaraan, serta pengusaha yang perlu diperiksa, Kementerian Perhubungan bahkan harus memberikan keterangan karena mengizinkan bus yang tidak layak itu tetap beroperasi.
”Selama ini, penanganan kasus selalu berhenti di kondisi sopir bus dan kendaraan, belum pernah sampai ke pengusaha atau pemilik kendaraan. Bahkan, Kementerian Perhubungan sebagai pemberi izin juga tidak pernah diungkit. Ke depannya, harus lebih serius, terutama pengetatan regulasi, karena ini merupakan kejadian yang berulang,” tuturnya.
Dengan perban masih membalut telinga kirinya, Sadira harus siap-siap berhadapan dengan hukum. Namun, semua pihak yang mengizinkannya mengemudikan bus tua di jalur rawan Bandung-Subang juga mesti ikut bertanggung jawab. Apabila terus dibiarkan, jarak antara hidup dan mati manusia lainnya di jalan raya bukan tidak mungkin bakal lebih dekat dari 1 km.