Hari Kartini, Sejumlah Perempuan di Mataram Berlari Mengenakan Kebaya
Sejumlah perempuan di Kota Mataram, NTB, berlari mengenakan kebaya untuk memperingati Hari Kartini.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Sekitar 1.000 pelari mengikuti ajang lari Lebarun di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (21/4/2024) pagi. Momen tersebut dimanfaatkan sejumlah perempuan pelari untuk memperingati Hari Kartini dengan berlari mengenakan kebaya.
Berdasarkan pantauan Kompas, para pelari yang berasal dari beberapa wilayah NTB itu telah tiba di lokasi kegiatan di kawasan Pantai Loang Baloq, Kota Mataram, sejak pukul 06.00 Wita. Sejumlah perempuan pelari tampak datang mengenakan kebaya.
Setelah semua pelari berkumpul, mereka bersama-sama menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Sekitar pukul 06.40 Wita, para pelari dilepas dengan ditandai pengibaran bendera oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Mataram Cahya Samudra.
Para pelari barisan terdepan langsung melesat diikuti barisan berikutnya sampai semuanya melewati garis start. Dalam ajang yang diselenggarakan Bank NTB Syariah bersama sejumlah pihak itu, peserta harus menyelesaikan lari sejauh 6 kilometer dengan batas waktu 100 menit.
Para pelari terlihat menikmati berlari di jalan raya yang berada di kawasan pesisir Kota Mataram itu. Sejumlah perempuan yang berlari dengan kebaya pun terlihat menikmati ajang tersebut.
Mereka tampak memakai kebaya dengan beragam corak dan warna sebagai atasan. Pakaian tradisional itu dipadukan dengan celana legging warna hitam serta sepatu lari. Dengan penampilan itu, mereka terlihat mencolok di antara pelari-pelari lain yang mengenakan kaus lari biasa atau kaus acara Lebarun.
Meski mengenakan kebaya, para perempuan itu tidak terlihat kesulitan saat berlari. Bahkan, mereka mampu menyelesaikan lari dan mencapai finis jauh lebih cepat dari batas waktu yang ditentukan panitia.
Seusai tiba di garis finis dan mengambil medali, para perempuan pelari yang mengenakan kebaya itu tampak berfoto bersama. Suasana gembira terlihat saat mereka mengabadikan momen itu.
”Kami biasanya mengadakan Kartinirun setiap 21 April. Cuma kebetulan kali ini bertepatan dengan penyelenggaraan Lebarun. Jadi kami memanfaatkannya untuk merayakan Hari Kartini dengan berlari memakai kebaya,” kata Yung Intan Mheutia (38) atau Tia dari Runjani, komunitas lari di Lombok.
Berlari dengan kebaya, kata Tia, tidak begitu menyulitkan. Namun, perlu sedikit penyesuaian karena kebaya tidak terbuat dari bahan dry fit yang menyerap keringat.
”Kalau pakai kaus lari atau jersei, kan, sudah dry fit, jadi lebih nyaman. Tapi, untuk jarak 6 kilometer seperti hari ini, pakai kebaya masih aman,” kata Tia.
Dewi Ekawati (46), anggota lain komunitas Runjani, mengaku senang bisa kembali berlari dengan kebaya. ”Saya selalu bangga bisa berlari dalam rangka Kartinirun. Momen ini selalu saya tunggu karena jarang-jarang berlari pakai kebaya. Beda sekali (rasanya) dengan lari lainnya,” katanya.
Pelari lainnya, Yasti Yapang (31), mengaku sudah tiga tahun berturut-turut mengikuti KartiniRun dan berlari dengan kebaya. Menurut Yasti, memakai kaus lari memang lebih nyaman. Namun, demi Kartinirun, ia tetap berusaha menikmati lari dengan kebaya.
”Aman (memakai kebaya). Apalagi saya ingin menunjukan bahwa wanita juga kuat, tangguh, dan mampu bersaing. Mau menunjukkan kalau kami (perempuan) bisa lari dalam kondisi apa pun, mau pakai jersei atau kebaya,” kata Yasti.
Emansipasi
Melalui momen peringatan Hari Kartini, Tia berharap semakin banyak perempuan di Tanah Air bisa menyalurkan hobinya, termasuk berlari di mana saja.
”Biasanya kalau Kartini, kaitannya dengan emansipasi perempuan. Kalau kaitannya dengan lari, bukan berarti lari perempuan lebih cepat atau lembat, melainkan mereka bisa menyalurkan hobi dengan bebas. Tanpa ada diskriminasi harus tetap di rumah. Mereka bisa (belari) di luar rumah, jalan raya, atau gunung,” kata Tia.
Dewi menambahkan, kesetaraan perempuan dengan laki-laki bisa terjadi dalam berbagai hal, termasuk dalam berolahraga. ”Ke depan, saya ingin semakin banyak perempuan menyadari bahwa lari adalah cara untuk menjaga kesehatan. Lari adalah cara bisa hidup lebih panjang dan lebih layak,” ujarnya.
Dian Ekayanti (29), juara pertama kategori perempuan dalam ajang Lebarun, menambahkan, Hari Kartini bisa dimaknai sebagai hari perjuangan. ”Perjuangan untuk perempuan karena perempuan sangat bisa dibilang sepadan dengan laki-laki. Apa yang dilakukan laki-laki, perempuan juga bisa,” ungkapnya.
Mau menunjukkan bahwa kami (perempuan) bisa lari dalam kondisi apa pun, mau pakai jersei atau kebaya.
Dian mengatakan, para perempuan harus tetap bersemangat dan mencintai apa pun yang mereka kerjakan. ”Saya berharap, pada momen Hari Kartini ini, para perempuan Indonesia tetap mencintai diri sendiri. Juga tetap fokus dengan apa yang dicita-citakan. Apa pun bidangnya,” katanya.
Dian merupakan peraih medali emas lari 3.000 meter halang rintang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 di Papua. Saat itu, dia memperoleh catatan waktu 10 menit 38,04 detik. Pada PON 2024 di Aceh dan Sumatera Utara, September mendatang, dia ingin kembali meraih medali emas dan memecahkan rekornya.