Malangnya Nasib Sidoarjo, Tiga Bupati Terjerat Korupsi
Penetapan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali sebagai tersangka membuka pintu pemberantasan korupsi di Jawa Timur.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali (33) sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi. Ia diduga terlibat dalam pemotongan dan penerimaan uang insentif pajak dan retribusi daerah di Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Kasus bermula dari penyelidikan KPK terhadap dugaan pemotongan insentif aparatur sipil negara (ASN) dinas pajak. Kejahatan itu terjadi di Badan Pelayanan Pajak Daerah Sidoarjo. Pada 25 Januari 2024, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 11 ASN di BPPD dengan barang bukti uang tunai Rp 69,9 juta.
Baca juga: Seusai Pemilu, KPK Tetapkan Bupati Sidoarjo Tersangka Kasus BPPD Pemkab
Dari OTT yang dilakukan tiga pekan sebelum Pemilu 2024 itu, terungkap dugaan manipulasi pungutan setidaknya Rp 2,7 miliar. Kepala Subbagian Umum BPPD Siska Wati menjadi tersangka pertama. Sejumlah pejabat teras menikmati uang pungutan itu. Penyelidikan KPK pun akhirnya mengarah ke Muhdlor.
Muhdlor adalah kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saat menjabat bupati, ia menjadi Wakil Ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jatim. Dalam masa kampanye capres-cawapres, sebagai kader PKB, Mudhlor sepatutnya mendukung pasangan Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar (nomor urut 1), yang diusung oleh partainya. Namun, Muhdlor malah berkampanye untuk Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (nomor urut 2), yang diusung oleh partai lain.
Anies ialah mantan Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Muhaimin, yang saat ini menjadi Ketua Umum PKB. Dukungan Muhdlor kepada Prabowo yang menjadi Ketum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapat berkonsekuensi kepada pemberhentiannya dari PKB. Dukungannya kepada Prabowo pun dapat diduga sebagai upaya mencari suaka politik dari kasus yang mengintainya.
Dua hari setelah pemungutan suara, Mudhlor terbang dari Sidoarjo ke Jakarta. Di Gedung Merah Putih KPK, putra KH Agoes Ali Masyhuri, pengasuh Sekolah Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo, itu memenuhi pemeriksaan sebagai saksi. Sepekan dari pemeriksaan itu, Kepala BPPD Ari Suryono menjadi tersangka dan ditahan.
Baca juga: Persoalkan Barang Bukti OTT, Bupati Sidoarjo Jajaki Praperadilan
Pada 19 Maret 2024, KPK menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Warkat itu untuk mendalami keterlibatan Muhdlor dalam kasus rasuah di BPPD Sidoarjo. Hampir sebulan kemudian, atau Selasa (16/4/2024), KPK mengonfirmasi status Muhdlor sebagai tersangka.
”Kami sudah tahu akan tersangka dari SPDP itu,” ujar Mustofa Abidin, penasihat hukum Muhdlor.
Tiga bupati
Muhdlor menjadi bupati ketiga hasil pemilu yang secara berurutan terlibat kasus korupsi. Dua bupati sebelumnya ialah Win Hendarso (2000-2010) dan Saiful Ilah (2010-2020). Di Jatim, Sidoarjo menjadi daerah pertama dengan tiga bupatinya berturut-turut terlibat korupsi, kejahatan luar biasa.
Di salah satu grup Whatsapp, kalangan akademisi Jatim menyindir keterlibatan tiga bupati dalam korupsi di Sidokare, nama sebelum Sidoarjo, sebagai prestasi dan rekor. Catatan tersebut mau tak mau akan menjadi bahan guyonan terhadap 2,7 juta populasi kabupaten di hilir Kali Surabaya dan muara Kali Porong, terusan Bengawan Brantas, itu.
Catatan buruk ini juga menimpa bupati lain di Jatim. Di Bangkalan dan Nganjuk, dua bupatinya secara berurutan ditangkap penegak hukum karena korupsi. Dari 38 kabupaten/kota di Jatim, semua bupati/wali kotanya ada yang pernah terlibat korupsi, baik saat menjabat maupun sesudah menjabat.
Catatan Kompas, sejak kelahiran KPK pada 2002, Muhdlor ialah pemimpin ke-25 di Jatim yang masih aktif menjabat dan menjadi tersangka korupsi. Jika ditarik mundur sejak 1990, Mudhlor ialah bupati atau wali kota ke-30 yang terlibat kejahatan itu.
Baca juga: Rasuah Para Adipati Brang Wetan
”Korupsi sudah menjadi budaya dan tradisi dalam politik yang merupakan kenyataan menyakitkan bagi masyarakat,” kata Satria Unggul Wicaksana Prakasa, peneliti senior Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Penetapan Muhdlor, menurut Satria, menjadi pintu masuk sekaligus tantangan bagi KPK untuk melanjutkan pengusutan kasus-kasus dugaan korupsi di Jatim. Misalnya, kelanjutan penyelidikan dari penggeledahan ruang kerja gubernur, wakil gubernur, dan sekretaris provinsi Jatim pada 21 Desember 2022. Penggeledahan itu kelanjutan dari penangkapan terhadap Sahat Tua Simanjuntak, mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, dalam kasus suap bantuan sosial Pemprov Jatim. Sahat divonis 9 tahun penjara dan pencabutan hak politik 4 tahun setelah menjalani hukuman.
Saat penggeledahan itu, Sahat masih wakil ketua DPRD, gubernur dijabat Khofifah Indar Parawansa, wakil gubernur dijabat Emil Elestianto Dardak, dan sekretaris ialah Adhy Karyono yang kini Penjabat Gubernur Jatim. ”Setahun lebih belum ada perkembangan dari penggeledahan itu seolah ada kekuatan politik yang melindungi,” ujar Satria.
Politik biaya tinggi
Namun, secara umum, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat utama eksekutif dan legislatif di daerah terjadi akibat politik biaya tinggi. Dari penelitian Pusad, di Jatim, seorang calon bupati/wali kota bisa sampai menghabiskan dana Rp 100 miliar untuk meraih posisi nomor satu. Saat menjabat, mereka terpaksa menempuh kejahatan alias korupsi untuk mengembalikan pengeluaran besar tersebut.
Risiko korupsi karena biaya politik yang tinggi disadari oleh kalangan calon pemimpin. Penyelewengan uang rakyat terjadi melalui banyak cara. Yang konservatif ialah penggelembungan nilai proyek dengan mencatut alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Lainnya, menerima atau memberi suap atau gratifikasi, memeras, memungut secara ilegal, menerima ”upeti” dari bawahan atau staf, dan uang bermotif perjanjian kerja sama. Rasuah telah meracuni sistem kerja dan pertemuan antarpihak dalam pemerintahan hingga rapat-rapat pembahasan APBD atau program di DPRD.
Baca juga: Jadi Tersangka Korupsi, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali Hormati Proses Hukum
Dari situasi itulah, pernyataan tertulis John Emerich Edward Dalberg-Acton, sejarawan dan politikus di Inggris, masih relevan. Terjemahan dari bahasa Inggris suatu kalimat Lord Acton kepada Uskup Anglikan pada 1887 ialah ”kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup”.
Baca juga: Politik Biaya Tinggi, Korupsi, dan Sistem Integritas Parpol
Satria melanjutkan, dari kasus Muhdlor, tantangan pemberantasan korupsi di Jatim dan Indonesia kian besar. Padahal, tercium bau upaya pelemahan KPK dalam isu meleburkannya dalam Ombudsman Republik Indonesia. Fungsi utama KPK, yakni pemberantasan korupsi, berubah menjadi sekadar pencegahan korupsi. Jika ini terjadi, bahaya bagi penanganan korupsi di masa depan.
Indonesia dalam pergaulan dunia turut berkomitmen memberantas korupsi. Ini diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi 2003).
Sayangnya, terus muncul pelemahan terhadap KPK melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 sebagai Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, Rancangan Undang-Undangan Perampasan Aset yang belum diteken menjadi tanda lemahnya integritas bangsa dalam komitmen pemberantasan korupsi.