Merintis Kembali Jalan Tradisi yang Terlupakan 83 Tahun Silam
Grebeg Syawal tahun ini digelar berbeda dari biasanya. Rumah calon raja turut dipilih sebagai tempat berbagi sedekah.
Ndalem Mangkubumen adalah ikon yang menjadi pembeda Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta pada Lebaran tahun ini yang digelar Kamis (11/4/2024). Tempat yang dahulu menjadi tempat tinggal para calon raja tersebut kini turut dipilih sebagai lokasi tempat berbagi sedekah dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ikon pembeda ini pun memancing rasa penasaran sebagian orang. Di halaman Ndalem Mangkubumen yang sekarang menjadi kompleks Universitas Widya Mataram, Kamis siang, sejumlah warga, termasuk keluarga abdi dalem yang menghuni rumah di sekitarnya, berdebar menunggu.
Mujiyo (72), salah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang tinggal di tanah magersari di sekitar Ndalem Mangkubumen, terkejut karena melihat yang dibawa utusan raja bukanlah sedekah dalam bentuk pareden atau gunungan utuh yang berisi beragam hasil bumi. Yang dibawa adalah rangkaian 50 rengginang berwarna-warni, yang kemudian dibagikan kepada 50 abdi dalem yang duduk di kursi tamu.
Mujiyo awalnya bersemangat datang karena untuk pertama kali dirinya melihat Ndalem Mangkubumen menjadi tempat pembagian sedekah raja. Namun, ia justru kecewa karena yang dilihat tidak sama dengan yang terjadi di Masjid Gedhe, yakni pareden yang bisa diperebutkan warga.
”Kami semula mengira ada hasil bumi yang bisa ramai-ramai dirayah (direbut) di sini,” katanya.
Mujiyo datang bersama dua cucunya. Sebelumnya, kedua cucunya itu berulang kali bertanya, kapan gunungan hasil bumi tiba dan bisa diperebutkan.
Pada Grebeg Syawal di Ndalem Mangkubumen, rombongan utusan raja diterima putri sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi. Setelah saling bertukar kata, sang utusan memberikan sedekah raja kepada GKR Mangkubumi. Acara itu pun rampung hanya dalam waktu sekitar 15 menit.
Ndalem Mangkubumen yang menjadi salah satu lokasi Greget Syawal tahun ini sebelumnya disebut sebagai Ndalem Kadipaten. Rumah ini sebelumnya ditinggali Pangeran Hangabehi yang kemudian menjadi Sultan HB VII. Oleh karena terakhir kali rumah itu ditinggali adik Sultan HB VII, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi, rumah itu pun disebut sebagai Ndalem Mangkubumen. Setelah itu, rumah tersebut selama puluhan tahun dibiarkan kosong karena tidak ada putra mahkota.
Baik warga maupun abdi dalem yang hadir dalam acara ini menyatakan, ini untuk pertama kalinya Ndalem Mangkubumen menjadi salah satu tempat pembagian sedekah raja. Nyi Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hamong Tedjonegoro Pengageng II (81), sebagai kepala bagian rumah tangga tertinggi di keraton, juga mengatakan bahwa tahun ini adalah untuk pertama kalinya Ndalem Mangkubumen digunakan sebagai lokasi pemberian sedekah dalam Grebeg Syawal.
Merunut sejarah
Merunut sejarah, grebeg merupakan acara budaya yang diselenggarakan Keraton Yogyakarta atas keinginan Sultan HB atau kerabat keraton. Acara yang sering disebut sebagai Hajad Dalem itu diadakan tiga kali dalam setahun.
Acara itu meliputi Grebeg Syawal untuk memperingati berakhirnya bulan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri, Grebeg Besar yang digelar saat peringatan Idul Adha, dan Grebeg Mulud yang digelar sebagai bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Baca juga: Warga Berebut Berkat di Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta
Sekalipun banyak orang menyebut Ndalem Mangkubumen merupakan tambahan lokasi baru untuk pembagian sedekah raja di Grebeg Syawal tahun ini, peristiwa yang terjadi pada Kamis lalu sebenarnya merupakan bagian dari tradisi asli grebeg. Ndalem Mangkubumen, yang semula bernama Ndalem Kadipaten, dahulu juga menjadi lokasi pembagian pareden. Ndalem Kadipaten terakhir kali digunakan sebagai lokasi pemberian sedekah raja pada Grebeg Syawal tahun 1941.
”Karena sudah demikian lama tidak digunakan sebagai lokasi pembagian pareden, banyak orang pun justru tidak tahu bahwa Ndalem Mangkubumen sebenarnya turut menjadi salah satu lokasi pembagian pareden,” ujar akademisi sekaligus Kapten Pandhega Prajurit Keraton Yogyakarta, RM Pramutomo.
Penjelasan tentang grebeg berikut rute aslinya ini ada dalam manuskrip Kitab Ngayogyakarta Pagelaran, dan dalam buku karya penulis Belanda, J Groneman, Monografi de Garebegs, yang terbit tahun 1895. Penjelasan perihal ini juga pernah dirangkum Pramutomo dalam tulisan yang kemudian dipresentasikan dalam International Symposium of Javanese Culture, Februari 2024.
Sesuai penjelasan dalam manuskrip dan dalam buku karya Groneman, rombongan akan membawa gunungan ke empat lokasi, yaitu ke Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, Ndalem Kadipaten, dan Kepatihan.
Grebeg adalah kegiatan berbagi sedekah raja, Sultan HB, dan empat tempat itu adalah empat lokasi yang wajib mendapatkan sedekah. Empat tempat itu memiliki makna masing-masing: Masjid Gedhe menjadi simbol keagamaan; Pura Pakualaman sebagai simbol persekutuan, dengan kadipaten otonom di Pulau Jawa. Ndalem Kadipaten, yang sekarang disebut Ndalem Mangkubumen, adalah simbol perlindungan Raja terhadap ahli waris takhta atau putra mahkota. Adapun Kepatihan adalah lingkup patih-patih, yang menjadi simbol perlindungan untuk roda pemerintahan. Di dalam Kepatihan terdapat birokrat pemerintahan kerajaan, yang pada masa sekarang para birokrat yang dimaksudkan adalah aparatur sipil negara (ASN) dari Pemerintah Provinsi DIY.
Kendati sudah menggunakan Ndalem Mangkubumen sebagai salah satu lokasi pembagian sedekah, menurut Pramutomo, apa yang dilakukan pada Kamis (11/4/2024) masih belum tepat sempurna sesuai tradisi asli yang pernah dijalankan. Hal ini terjadi karena kondisi yang ada memang sudah berubah.
Calon putra mahkota semestinya menyambut dan menerima rombongan pembawa gunungan di Bangsal Banjarandap, sementara bangsal tersebut kini sudah berubah menjadi Laboratorium Fakultas Hukum Widya Mataram dan dalam kondisi tertutup. Walhasil, menyesuaikan semua perubahan tersebut, rombongan pembawa gunungan akhirnya diterima di halaman di emperan bangsal.
Karena sudah demikian lama tidak digunakan sebagai lokasi pembagian pareden, banyak orang pun justru tidak tahu bahwa Ndalem Mangkubumen sebenarnya turut menjadi salah satu lokasi pembagian pareden.
Setelah keluarga dari calon putra mahkota selesai mengambil sedekah, gunungan semestinya dibawa ke Kepatihan Alit atau kepatihan tempat para patih dari calon raja berada. Di tempat itulah sisa hasil bumi dari gunungan bisa dibagikan kepada masyarakat umum.
Namun, hal itu tidak lagi bisa dilaksanakan. Selain karena Kepatihan Alit sudah lama tidak difungsikan, jalur dari Ndalem Mangkubumen tidak lagi bisa dilalui karena di dalamnya sudah terdapat beragam fasilitas publik. ”Dalam jalur sepanjang 200-300 meter itu kini sudah terdapat area parkir Universitas Widya Mataram, kantor polsek, dan taman kanak-kanak,” ujarnya.
Jika memang ingin mengembalikan kondisi jalur sama seperti semula, jalur yang ada perlu dibobol dan dibersihkan kembali. Namun, hal itu tentu saja membutuhkan perencanaan lebih mendalam.
Mempertimbangkan kondisi tersebut, penggunaan Ndalem Mangkubumen untuk Grebeg Syawal sebenarnya belum siap dilakukan. Namun, apa yang sudah dilakukan pada Kamis itu diharapkan setidaknya bisa memberi gambaran awal tentang tradisi asli grebeg. ”Setidaknya ini menjadi upaya rintisan awal untuk memulai kembali apa yang sudah terlupakan selama 83 tahun silam,” ujarnya.
Baca juga: Lima Gunungan Disiapkan untuk Tradisi Grebeg Syawal
Calon raja
Penggunaan Ndalem Mangkubumen sebagai tempat pembagian sedekah memang menjadi simbol perlindungan raja kepada calon putra mahkota. Ketika kemudian tempat tersebut lama tidak digunakan, diduga hal itu terjadi karena memang sejak lama Keraton Yogyakarta tidak memiliki agenda menyiapkan atau mengangkat putra mahkota.
Namun, Pramutomo menuturkan, pembagian sedekah di Ndalem Mangkubumen tidak melulu harus dilakukan oleh keluarga calon raja. Gunungan pernah diterima KGPH Mangkubumi, adik dari Sultan HB VII. Rombongan pembawa gunungan juga pernah hanya datang melintas, sekadar simbolisasi bahwa pembagian sedekah juga harus dilakukan di Ndalem Mangkubumen.
Mengacu pada tradisi asli dalam grebeg, sebenarnya juga tidak dikenal istilah rayahan atau berebut hasil bumi dari gunungan. Metode berbagi diatur dalam dua tahap sehingga aksi berebut tidak dilakukan demikian masif. Di setiap tempat pemberian sedekah selalu ada kelompok yang diberi kesempatan untuk mengambil sedekah terlebih dahulu, sedangkan masyarakat umum hanya berhak mendapatkan sisanya atau biasa disebut lorotan.
Di Masjid Gedhe, misalnya, mereka yang berhak mengambil di awal adalah simbol keagamaan, yaitu abdi dalem Suronoto, Reh Pengulon. Selain itu, dahulu juga ada abdi dalem Kaji Santri Selusin yang beranggotakan 12 orang.
Di Pura Pakualaman, yang berhak mengambil lebih dahulu adalah keluarga dari Pangeran Pura Pakualaman. Di Ndalem Mangkubumen, yang berhak mengambil lebih dahulu adalah keluarga dari calon putra mahkota. Sementara di Kepatihan, yang berhak mengambil lebih dahulu adalah para birokrat pemerintahan, atau yang pada masa sekarang adalah para ASN.
Acara berbagi sedekah kepada masyarakat umum ini pun baru bisa dilakukan setelah sisa gunungan itu dibawa benar-benar keluar dari lokasi utama. Di Ndalem Mangkubumen, misalnya, lorotan baru bisa diperebutkan setelah gunungan dibawa ke Kepatihan Alit.
Sekalipun jalur atau rute asli untuk Grebeg Syawal saat ini belum sepenuhnya ideal, penggunaan kembali Ndalem Mangkubumen dalam tradisi ini patut diapresiasi. Selain dapat membuka peluang Ndalem Mangkubumen sebagai tujuan baru bagi kunjungan wisatawan, langkah ini menjadi rintisan untuk mengembalikan alur tradisi asli yang seakan terlupakan selama 83 tahun terakhir.