Sehelai Rambut Harimau Jawa Jangan Sekadar Euforia
Sampel rambut harimau jawa menunjukkan potensi keberadaannya. Perlu perhatian relasi harimau dan warga di sekitarnya.
Sehelai rambut loreng oranye hitam diduga milik harimau jawa yang ditemukan warga di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bikin heboh. Banyak pihak berharap ini tidak jadi euforia saat kehidupan satwa liar di Indonesia masih jauh dari sejahtera.
Sampel rambut yang diduga berasal dari harimau jawa (Panthera tigris sondaica) itu ditemukan di Surade, selatan Sukabumi, 19 Agustus 2019. Bersama itu, ada juga bekas cakaran dan jejak kaki yang diduga kucing besar.
Akan tetapi, baru lima tahun kemudian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan temuan itu memiliki jejak genetik harimau jawa. Hasil penelitian berdasarkan analisis DNA harimau ini diterbitkan di Cambridge University Press, 21 Maret 2024.
Jurnal bertajuk ”Is the Javan Tiger Panthera Tigris Sondaica Extant? DNA Analysis of Recent Hair Sample” itu ditulis Wirdateti, Yulianto, Kalih Raksasewu, dan Bambang Adriyanto. Di sana disebut sampel rambut dari Sukabumi ini mendekati kesesuaian dengan spesimen harimau jawa yang telah disimpan sejak tahun 1930.
Baca juga: Penemuan Bulu Harimau Jawa Perlu Konfirmasi Studi Genetik dan Lapangan
Temuan ini menyentak publik. Peluang keberadaan harimau jawa semakin jelas dari jejak genetik yang terlihat. Padahal, predator puncak endemik Jawa ini sudah dinyatakan punah dari permukaan bumi.
Dalam daftar merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN Red List), harimau jawa dinyatakan punah pada tahun 2008. Saudara dekatnya, harimau bali (Panthera tigris balica) sudah tidak ditemukan di alam sekitar tahun 1940-an.
Kepunahan dua satwa ini meninggalkan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) sebagai satu-satunya jenis harimau yang masih eksis di Tanah Air. Meski masih bernapas panjang, harimau sumatera masuk kategori terancam punah (critically endangered) dalam IUCN Red List. Populasi di alam liar hanya tinggal 441-679 ekor.
Jadi dahaga
Meski masih butuh dikonfirmasi dengan penelitian genetik dan lapangan lebih lanjut, temuan itu setidaknya jadi setetes air melepas dahaga panjang.
Direktur Peduli Karnivor Jawa Didik Raharyono merasakan itu. Dalam 25 tahun terakhir, ia bertualang mencari keberadaan harimau jawa.
”Yang sangat mengganggu adalah opini punah itu membuat pergerakan kami terbatas. Kami sulit mencari dukungan untuk melakukan validasi di lapangan,” ujarnya dalam diskusi bersama Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi), Rabu (3/4/2024).
Didik bersama rekan-rekan telah mengumpulkan banyak rekam jejak keberadaan harimau jawa. Ada rumor hingga sejumlah peninggalannya di alam. Ada juga cakaran di hutan hingga sekelebat foto yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Berbagai tempat juga telah dijelajahi, mulai dari titik terakhir ditemukannya harimau jawa di Meru Betiri, Jawa Timur, hingga Ujung Kulon, Banten.
”(Jurnal) ini adalah hadiah yang luar biasa di tahun ini. Kami meyakini DNA tidak bisa bohong. Ada perjalanan panjang yang dilakukan untuk mengangkat informasi serta validasi yang ada di lapangan saat harimau jawa dinyatakan punah,” tuturnya.
Kearifan lokal
Didik membenarkan, temuan ini tidak langsung membuat harimau jawa bangkit dari kepunahan. Namun, dia berharap semua pihak tidak hanya terus berkutat mencari sosok predator tersebut. Di samping itu, perlu pengamatan dalam relasi antara harimau jawa dan warga yang berada di sekitar jejak harimau ini ditemukan.
”Kita bisa masuk ke langkah berikutnya dengan memotret peradaban di tempat temuan. Kebudayaan masyarakat di sana perlu diteliti karena kearifan lokal dan etika lingkungan saat menghadapi satwa besar, ini yang mendukung harimau itu kemungkinan tetap ada,” ujarnya.
Sejumlah daerah, lanjut Didik, bahkan memiliki sebutan yang berbeda saat merujuk pada deskripsi hingga penghormatan terhadap predator itu.
Nilai-nilai luhur yang terkadang berbalut mistis menjadi strategi leluhur dalam menyelamatkan harimau, seperti sebutan maung bahkan karuhun (leluhur) atau sosok yang dihormati bagi masyarakat tradisional Sunda.
”Di kawasan Surade (selatan Sukabumi), stok pakan karnivora pasti tidak sebanyak taman satwa yang dilindungi. Namun, kenapa ada temuan (harimau jawa) di sana? Ini menurut saya menjadi momen penting untuk melihat etika dan pengetahuan lokal di sana,” ujarnya.
Pada abad ke-19, misalnya, disebutkan ada wabah harimau ( tijger-plague) di hampir semua wilayah Pulau Jawa. Wabah ini dimulai dari Keresidenan Priangan pada tahun 1855 dengan korban jiwa mencapai 147 orang. Sebanyak 58 orang di wilayah tatar Sunda meninggal karena diterkam harimau pada 1896.
Konflik manusia
Kentalnya harimau jawa dalam kebudayaan Sunda ini juga ditulis dalam jurnal bertajuk ”Antara Mitos dan Realitas: Historis Maung di Tatar Sunda”. Artikel dari jurnal Metahumaniora edisi April 2019 yang diterbitkan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dan ditulis oleh Budi Gustaman dan Hilman Fauzia Khoeruman.
Artikel ini menyebutkan, maung (harimau) menjadi simbol kultural yang tidak lepas dari masyarakat Sunda. Kedekatan ini diterjemahkan sebagai faktor ekologis, saat dulu harimau banyak mendiami hutan-hutan di tatar Sunda.
Nilai sakral ini membuat harimau jawa menjadi sosok yang dihormati, terutama dari sikap pemberani, tetapi memiliki rasa sayang terhadap keluarga dan sesamanya. Bahkan, di Surade, terdapat tradisi lisan yang dikenal dengan Carita Maung Pajajaran.
Ada tiga jenis cerita yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Semuanya merujuk kepada sosok Prabu Siliwangi, tokoh legenda yang dihormati masyarakat tradisional Sunda. Tokoh ini juga identik dengan harimau jawa yang kerap menyertai kisah-kisahnya.
Akan tetapi, seiring dengan waktu dan saat kehidupan semakin modern, harimau menjadi sosok yang ditakuti. Tidak lagi jadi rekan, tapi musuh meresahkan.
Kondisi ini terlihat dalam perburuan harimau karena predator ini kerap menyerang masyarakat. Diduga perambahan hutan untuk kebun dan permukiman mulai masif. Batas sakral antara manusia dan harimau pun kian renggang.
Pada abad ke-19, misalnya, disebutkan ada wabah harimau (tijger-plague) di hampir semua wilayah Pulau Jawa. Wabah ini dimulai dari Keresidenan Priangan pada tahun 1855 dengan korban jiwa mencapai 147 orang. Dalam jurnal ini juga disebutkan, 58 orang di wilayah tatar Sunda meninggal karena diterkam harimau pada 1896.
Akhirnya perburuan harimau menjadi hal yang lazim oleh penduduk. Bahkan, pemerintah kolonial masa itu memberikan hadiah untuk setiap harimau yang dibunuh.
Perburuan itu menembus hutan dan ngarai yang menjadi habitat harimau. Anggapan harimau adalah leluhur warga luntur. Ada yang berburu dipicu takut jadi korban, tapi tak sedikit berburu karena imbalan.
Baca juga: Harimau Jawa Terancam sejak Era Tanam Paksa
Kondisi ini juga yang kurang lebih dialami raja hutan yang tersisa, harimau sumatera. Mitos sebagai tetua manusia hingga pelindung manusia tidak lantas membuat habitatnya terjaga. Tidak hanya rentan punah di alam. Harimau di area konservasi pun merana.
Konflik antara harimau sumatera dan manusia ini terekam dalam sejumlah pemberitaan Kompas. Salah satunya, kerusakan habitat harimau di Sumatera Selatan karena alih fungsi lahan. Hal itu terjadi di Taman Nasional Sembilang, Hutan Harapan, dan Suaka Margasatwa Dangku (Kompas, 20/3/2014).
Kematian harimau karena jerat warga juga terjadi beberapa kali, seperti yang terjadi di Muara Lembu, Kuantan Singingi, Riau, Rabu (26/9/2018). Jebakan yang dipasang warga ini ternyata menjerat harimau betina yang tengah mengandung dua calon bayi berkelamin jantan dan betina (Kompas, 28/9/2018).
Ironisnya, sejumlah harimau sumatera di kebun binatang juga mengalami nasib tragis. Lima harimau mati di Kebun Binatang Medan pada pergantian tahun 2023-2024. Terakhir, harimau sumatera jantan bernama Bintang Sorik Marapi mati pada Selasa (13/2/2024) karena sakit yang sulit disembuhkan (Kompas.id, 15/2/2024).
Berbagi ruang
Di tengah ancaman punahnya harimau sumatera, temuan harimau jawa ini dianggap sebagai pengingat. Meskipun masih misterius, potensi keberadaan hewan yang dianggap punah ini menunjukkan manusia agar tetap berbagi ruang dengan satwa lain di alam.
”Ada sistematika kepedulian berkawan dengan harimau di alam. Semua harus belajar kembali dari harimau yang menjadi simbol karuhun. Semua data dari masyarakat ini bisa dirumuskan menjadi rancangan konservasi harimau,” ucaap Didik.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum Sadtata Noor Adirahmanta yang ikut dalam diskusi menyebutkan, manusia dan satwa harus diberi ruang untuk hidup berdampingan. Relasi antara harimau dan manusia seharusnya tidak menjadi konflik, tapi hidup dalam harmoni di alam.
Oleh karena itu, Sadtata mewanti-wanti temuan jejak genetik dari harimau jawa ini tidak ditafsirkan sebagai potensi konflik. Bahkan, keberadaannya diharapkan menjadi pelajaran agar satwa langka yang tersisa di Indonesia bisa semakin dilestarikan.
”Adanya satwa yang bersinggungan dengan manusia jangan langsung disebut sebagai konflik. Berikan ruang untuk saling belajar dan menyesuaikan. Memang spesies yang punah itu ada standarnya, tetapi alam semesta ini terlalu kompleks. Apalagi, masyarakat tentu bisa membedakan harimau dengan hewan lain,” tuturnya.
Temuan sehelai rambut yang diduga harimau jawa jangan menjadi euforia saja. Pengalaman hidup harimau sumatera yang merana jangan dilupa. Semua harus jadi pelajaran pentingnya harmoni bersama alam.
Baca juga: Harimau Jawa Diyakini Belum Punah